Ath-Thayyar, Ja’far bin Abu Thalib

Beliau adalah abang kandung (langsung) ‘Aliy bin Abu Thalib (semoga Allah ta’ala meridhai keduanya) dengan perbedaan usia 10 tahun.

Rasulullah –kasih sayang dan salamNya untuknya– memberinya gelar kunyah dengan Abul Masakin (ayah orang-orang miskin) karena kegemarannya bergaul dan simpatinya kepada mereka.

Beliau masuk dalam kelompok pemeluk Islam di era awal, tidak lama setelah keislaman adiknya (‘Aliy bin Abu Thalib).

Pada tahun ke-5 Kerasulan (bi’tsah), beliau mengawali hijrah atau migrasinya bersama istrinya Asma`, berpindah dari Mekkah (tempat kelahirannya) ke Habasyah (Ethopia sekarang) dalam gelombang hijrah kedua ke Habasyah.

Tahun ke-7 H, dari Habasyah, beliau datang ke Madinah saat penaklukan Khaybar terjadi. Ketika beliau bertemu Rasulullah, Rasulullah menyambutnya, memeluknya (mu’anaqah), menciumnya di antara dua matanya, dan berkata: “Saya tidak tahu yang mana yang lebih saya sukai, kedatangan Ja’far atau penaklukan Khaybar?” (redaksi informasinya beragam)

Selain nama kunyah Abul Masakin, beliau juga dijuluki sebagai Dzul Hijratayn, mengingat beliau pelaku histori dua hijrah, yaitu Habasyah dan Madinah.

Dalam persiapan pertempuran Mu`tah (sekarang menjadi bagian dari provinsi Karak, Yordania), Rasulullah –kasih sayang dan salamNya untuknya– menunjuknya sebagai salah satu komandan tentara Muslim yang berjumlah 3.000 orang. Pesan  Rasulullah saat itu adalah: (1) Zayd bin Haritsah, dan jika Zayd terbunuh, (2) beliau (Ja’far) memimpin, dan jika beliau terbunuh maka (3) Abdullah bin Rawahah memimpin. Saat itu lawan mereka adalah Heraclius, kaisar Romawi Timur yang membawa pasukan sekutunya berjumlah 200.000, terdiri dari tentara bangsa Romawi sendiri dan suku Arab sekutu mereka.

Ketika komandan pertama (Zayd) terbunuh, beliau mengambil panji perang dan memegangnya dengan tangan kanannya. Saat tangan kanannya tertebas, beliau memegang panjinya dengan tangan kiri, dan saat tangan kirinya tertebas, beliau memegang panji dengan kedua lengannya yang tersisa, hingga akhirnya terbunuh syahid setelah salah satu pasukan Romawi membelah badannya menjadi dua. Beliau –semoga Allah meridhainya– wafat di usia 33 tahun (Al-Bidayah wa An-Nihayah, Ibn Katsir, j.4, h.279) atau 43 tahun (Asad al-Ghabah, Ibn al-Atsir h.541).

Mengutip Ibnu al-Atsir, saat terbunuh, ditemukan 70 lebih luka akibat sayatan pedang dan tusukan tombak di tubuhnya.

Rasulullah amat sedih saat mengetahui kematiannya dan berkata, “Atas orang seperti Ja’far, menangislah orang-orang yang menangis.” Beliau juga mengatakan bahwa kedua tangannya yang tertebas telah diganti oleh Allah ta’ala dengan dua sayap yang membawanya terbang (yathir) ke lokasi manapun yang dia inginkan di surga!

Karena sabda ini, Ja’far juga diberi julukan Ath-Thayyar (Yang Terbang)

Semoga Allah ta’ala merestui dan meridhai Ja’far bin Abu Thalib. Kecintaan terhadapya adalah kecintaan kepada Rasulullah –kasih sayang dan salamNya untuknya. Bagaimana tidak? Rasulullah sendiri mengatakan, “Adapun kamu, wahai Ja’far. Fisikmu menyerupai fisikku. Akhlakmu menyerupai akhlakku. Kamu adalah bagian dariku dan pohon (keluarga)ku!”


وهل أصبح الفكر الإنساني عقيمًا فلا يقدم الأدوات التي تخضع للشرع وتحقق المقصود دون مواربة أو التواء؟ والجواب على ذلك هو أن البديل موجود، ولكن ما ينقصنا هو إرادة الخلاص من الحرام، والتوجه إلى ما هو أقوم وأطهر وأسلم. (سامي حسن حمود يرحمه الله)

Apakah pemikiran manusia menjadi mandul sehingga tidak mampu menyediakan tools yang sesuai Syariah dan –dalam waktu yang sama- mampu merealisasikan keinginan mereka, tanpa harus berdalih?
Alternatif selalu ada. Yang kurang adalah goodwill untuk menghindar dari yang haram, menuju ke alternatif yang lebih lurus, lebih bersih serta lebih aman." (almarhum Sami Hasan Hamud)