Ibadah Qurban

Ibadah Qurban

Kata kurban yang kita sebut-sebut selama ini, dalam literatur fiqh dikenal dengan istilah udh-hiyyah.
Udh-hiyyah sendiri –sebagaimana didefinisikan oleh ulama Syafi’iyyah- adalah istilah untuk hewan ternak yang disembelih pada hari Idhul Adha dan hari-hari Tasyriq sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT.

Pelaksanaan penyembelihan hewan kurban atau udh-hiyyah pertama kali dilakukan oleh Rasulullah –shalawat dan salam untuk beliau– di Madinah pada tahun 2 Hijriyyah. Dalil pelaksanaannya adalah ayat

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ( الكوثر: 2)

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.”

Yang dimaksud dengan “berkurbanlah” di sini ialah menyembelih hewan kurban dan mensyukuri nikmat Allah.

Pada saat itu beliau –shalawat dan salam untuk beliau– menyembelih dua ekor kambing kibas. Rasulullah –shalawat dan salam untuk beliau– menegur mereka yang mampu berkurban tetapi enggan berkurban. Beliau bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا (سنن ابن ماجه – ج 9 / ص 276)

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah –shalawat dan salam untuk beliau–bersabda, “Siapa yang mempunya kemampuan (sa’ah) dan tidak berkurban maka janganlah dia mendekati tempat shalat kita.” (HR. Ibnu Majah)

Hukum berkurban adalah sunnah kifayah. Artinya berkurban sunnah dilakukan oleh satu orang dalam satu keluarga.

Mengenai siapa yang disunnahkan berkurban, Imam Syafi’iy mengatakan, berkurban disunnahkan kepada mereka yang mampu atau kaya. Menurut beliau ukuran kemampuan dan kekayaan di sini adalah apabila seseorang mempunyai kelebihan uang dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya, senilai dengan harga hewan kurban pada hari raya Idul Adha dan tiga hari tasyriq .

Hewan yang disembelih tidak boleh lain selain unta, sapi atau kerbau, dan kambing dengan segala jenisnya. Ibadah kurban ini tidak dapat digantikan dengan uang sebab Allah –subhanah wa ta’ala– memang menghendakinya dalam bentuk penyembelihan sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya,

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ (الحجّ: 37)

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya agar kalian mengagungkan nama Allah karena hidayah-Nya kepada kalian. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.

Berkurban adalah aktifitas pendekatan diri kepada Allah yang terbaik yang dilakukan di hari Idul Adha. Rasulullah –shalawat dan salam untuk beliau– bersabda,

ما تَقَرَّب إلى الله تعالى يومَ النحر بشيءٍ هو أحبُّ إلى الله تعالى من إهراق الدم … الحديث
(المستدرك على الصحيحين للحاكم – ج 17 / ص 382)

Tidak ada seseorang yang mendekatkan diri kepada Allah di hari nahr (idul adha) dengan sesuatu yang lebih disukai oleh Allah daripada mengalirkan darah (berkurban). … ” (HR. Hakim)

Dalam salah satu riwayat, Zaid bin Arqam menuturkan,

قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الْأَضَاحِيُّ قَالَ سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ قَالُوا فَمَا لَنَا فِيهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ قَالُوا فَالصُّوفُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ مِنْ الصُّوفِ حَسَنَةٌ (سنن ابن ماجه – ج 9 / ص 281 , قال الحاكم : هذا حديث صحيح الإسناد ولم يخرجاه)

Para shahabat pernah bertanya, “Wahai Rasulullah. Apa maksudnya hewan-hewan kurban ini?” Beliau menjawab, “Ini adalah sunnah bapak kalian, Ibrahim.” Para shahabat bertanya lagi, “Lalu apa artinya bagi kami?” Beliau menjawab, “Dalam setiap helai rambut (hewan kurban) terdapat (satu) kebaikan atau pahala.” Mereka bertanya kembali, “Bagaimana dengan bulunya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dalam setiap helai bulu (hewan kurban) terdapat (satu) kebaikan atau pahala.” (HR Hakim)

Fenomena persembahan dalam bentuk tubuh manusia sudah dikenal oleh manusia di Mesir kuno, India, Cina, Irak dan lainnya. Kaum Yahudi juga mengenal kurban manusia hingga Masa Perpecahan. Kemudian lama-kelamaan kurban manusia diganti dengan kurban hewan atau barang berharga lainnya. Dalam injil banyak dituturkan tentang cerita kurban. Penyaliban Isa -salam untuk beliau- menurut umat Nasrani merupakan salah satu kurban teragung. Umat Katolik juga mengenal kurban hingga sekarang berupa kepingan tepung suci. Pada masa jahiliyyah Arab, kaum Arab mempersembahkan lembu dan unta kepada Ka’bah sebagai kurban untuk tuhan mereka.

Persembahan sakral dengan menyembelih manusia juga dikenal oleh bangsa Arab sebelum Islam. Disebutkan dalam sejarah bahwa Abdul Muthallib, kakek Rasulullah –shalawat dan salam untuk beliau– pernah bernadzar, jika diberi karunia 10 (sepuluh) anak laki-laki maka ia akan menyembelih salah satunya sebagai kurban. Lalu jatuhlah undian kepada Abdullah, ayah Rasulullah. Mendengar itu kaum Quraisy melarangnya agar tidak diikuti generasi setelah mereka. Akhirnya Abdul Muthallib sepakat untuk menebusnya dengan 100 ekor unta. Karena kisah ini pernah suatu hari seorang badui memanggil Rasulullah dengan panggilan “Hai anak dua orang sembelihan”. Beliau hanya tersenyum. Dua orang sembelihan yang dimaksudnya adalah adalah Ismail dan Abdullah bin Abdul Muthallib .

Perlu diingatkan di sini bahwa penyembelihan hewan kurban tidak bisa disamakan sama sekali dengan upacara-upacara keagamaan di atas yang memotong hewan demi persembahan mereka kepada para dewa.

llah –subhanah wa ta’ala– adalah Dzat yang Maha Kaya. Dia tidak memerlukan apapun dari manusia atau makhluk lainnya. Bahkan jika seluruh makhluk di alam tidak menyembahNya maka Dia tidak merasa kekurangan apapun. Untuk itu, ibadah dalam bentuk penyembelihan hewan dalam Islam, seperti yang berlaku di hari Raya Iedul Adha maupun dalam rangka aqiqah seorang bayi sama sekali tidak bertujuan memberi makan Tuhan. Tuhan tidak memerlukan persembahan daging kambing, sapi atau unta dari hambaNya.

Ibadah penyembelihan hewan adalah ujian Allah atas hambanya untuk melihat secara nyata ketakwaan mereka. Ketakwaan yang digambarkan dengan keikhlasan berkurban, keikhlasan memberikan daging kurbannya kepada orang yang tidak mampu, serta kepedulian terhadap sesama. Itu sebabnya Allah berfirman dalam surat Al Hajj ayat 37:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ (37)

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai Allah (jadi jangan kalian berpikir bahwa aku memerlukannya untuk meningkatkan power-ku atau membuatKu kenyang), tetapi ketakwaan dari kalian-lah yang dapat mencapainya. (ketakwaan yang muncul karena kalian mau memenuhi perintahKu tanpa pikir dan tanpa tanya untuk apa Aku menyuruh kalian menyembelih, dan karena keikhlasan kalian memenuhi perintah itu) Demikianlah Allah telah menundukkannya agar kalian mengagungkan nama Allah karena hidayah-Nya kepada kalian. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.


وهل أصبح الفكر الإنساني عقيمًا فلا يقدم الأدوات التي تخضع للشرع وتحقق المقصود دون مواربة أو التواء؟ والجواب على ذلك هو أن البديل موجود، ولكن ما ينقصنا هو إرادة الخلاص من الحرام، والتوجه إلى ما هو أقوم وأطهر وأسلم. (سامي حسن حمود يرحمه الله)

Apakah pemikiran manusia menjadi mandul sehingga tidak mampu menyediakan tools yang sesuai Syariah dan –dalam waktu yang sama- mampu merealisasikan keinginan mereka, tanpa harus berdalih?
Alternatif selalu ada. Yang kurang adalah goodwill untuk menghindar dari yang haram, menuju ke alternatif yang lebih lurus, lebih bersih serta lebih aman." (almarhum Sami Hasan Hamud)