![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Umum | ![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Sabtu, 14 November 2009, 10:17
Nasionalisme Ekonomi melalui Industri Kreatif
Laelie
Dahulu untuk membuktikan rasa cinta masyarakat terhadap negaranya, diperlihatkan dengan bahu membahu mencurahkan segala kekuatan yang dimiliki untuk melawan musuh yang jelas terlihat di depan mata. Mengangkat senjata, membawa bendera merah putih, serta meneriakkan “maju! dan merdeka!” merupakan perwujudan dari rasa cinta tanah air yang begitu besar hingga akhirnya memperoleh kemenangan melawan para penjajah Belanda dan Jepang. Namun, apakah peperangan telah usai begitu saja? tentu jawabannya belum, peperangan yang kini hadir bukanlah peperangan senjata yang sebagaimana dahulu dilakukan, tapi peperangan yang ada adalah kompetisi antar negara melalui teknologi, ekonomi, pendidikan, dan competitive advantage lainnya yang dimiliki oleh masing-masing negara. Bangsa Indonesia sebagai negara yang masih berkembang kini sedang dihadapkan pada hiruk-pikuk arus global yang semakin kuat. Perdagangan bebas akan mulai dilakukan yang berarti arus barang antar negara akan mulai bebas masuk dan keluar tanpa tarif dan ini juga berarti bahwa kompetisi antar produsen bukanlah hanya dalam negeri tapi akan meluas hingga internasional, begitu juga dengan konsumen yang akan dihadapi, tidak hanya konsumen dalam negeri tapi juga dari berbagai mancanegara. Saat ini saja bangsa Indonesia sudah banyak dihampiri oleh berbagai produk dengan berbagai merek dari mancanegara, seperti Siemens, Toyota, Adidas, dan bahkan untuk produk terkecilpun seperti lem kertas yang biasa dijual di berbagai warung terdapat tulisan “made in China”. Hal ini tentunya menunjukkan bahwa kompetisi antar negara sudah semakin kuat, dan persaingan itupun tidak hanya pada unit usaha besar tapi juga pada unit usaha menengah dan kecil. Dari sisi konsumen, kini konsumen dalam negeri tentunya memiliki lebih banyak pilihan dengan diversifikasi produk yang ditawarkan dari produk luar yang semakin meningkat. Persaingan head to head ini tentunya menuntut produsen Indonesia memiliki kemampuan yang ekstra. Kesiapan untuk meningkatkan kemampuan ini tidak perlu menunggu pasar bebas seluruh dunia yang akan dilakukan pada tahun 2020, karena saat ini saja perdagangan bebas antar negara ASEAN telah dimulai pada tahun 2003 dan untuk Asia-Pasifik 2010. Bayangkan bagaimana kondisi Indonesia bila belum memiliki kesiapan untuk menghadapi globalisasi ini. Negara yang kuat akan semakin menunjukkan power-nya dengan melebarkan sayapnya dan negara yang lemah akan menjadi santapan lezat bagi negara yang kuat sebagai negara target konsumen. Bangsa Indonesia tidak mungkin menghindar dari arus globalisasi ini, karena tentunya bangsa Indonesia ingin memiliki peranan dalam pergaulan internasional. Oleh karenanya, kesiapan untuk menghadapi era globalisasi ini perlu didongkrak dengan meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat terhadap negaranya sendiri yaitu Indonesia. Tidak perlu dengan mengangkat senjata seperti yang dilakukan oleh para pejuang terdahulu, nasionalisme pada era ini lebih kepada rasa bangga dan cinta sebagai warga negara Indonesia. Jika rasa bangga dan cinta telah tumbuh, maka akan mudah bagi Indonesia untuk survive bahkan terus berkembang dan maju bersaing pada kancah persaingan internasional. Terdapat berbagai macam jenis nasionalisme, di antaranya ada nasionalisme Agama, Etnis, Kewarganegaraan, Ekonomi, dan lainnya. Di sini saya akan mengambil dari sudut pandang Ekonomi. Nasionalisme Ekonomi menurut saya adalah suatu paham yang menumbuhkan kebanggaan dan cinta terhadap bangsa Indonesia, yaitu dengan cinta terhadap segala hasil produksi dalam negeri yang menciptakan kemandirian ekonomi bagi bangsa Indonesia namun dengan tetap tidak melepaskan diri dari pergaulan internasional. Tumbuhnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri akan menjadi tameng bagi bangsa Indonesia menghadapi arus barang yang masuk dari berbagai negara, karena diharapkan masyarakat Indonesia akan lebih memilih produk hasil karya anak bangsa ketimbang produk luar negeri. Sedangkan, kemandirian yang dimaksud di sini adalah bahwa dengan rasa bangga dan cinta tersebut akan menumbuhkan bangsa Indonesia yang mandiri, yaitu dapat bertahan dan selalu berkembang di persaingan internasional dengan ide-ide serta gagasan-gagasan kreatif dan tidak menjadi negara yang selalu berpangku tangan, yaitu negara yang selalu menunggu kucuran dana pinjaman atau bahkan hibah dari negara lain yang mengakibatkan harga diri bangsa Indonesia dipertaruhkan. Kemandirian di sini juga bukan berarti kita menutup diri dari segala pergaulan internasional. Menurut saya, selama pergaulan internasional itu mengacu kepada kepentingan rakyat dan tidak melebur rasa nasionalisme masyarakat terhadap negaranya, maka hal tersebut tetap perlu dilakukan, misalnya saja seperti yang dilakukan oleh negara Inggris, tentunya kita tahu bahwa negara Inggris tidak menutup dirinya dari pergaulan internasional dan salah satu pergaulan internasional yang dilakukannya adalah dengan ikut bergabung dalam Uni Eropa. Namun, penggabungan yang dilakukannya tidaklah sepenuhnya, mata uang poundsterling tetap dipertahankan sebagai perwujudan nasionalisme yang tidak ingin dihilangkan dan dirubah menjadi satu mata uang bersama yaitu Euro. Menurut saya, salah satu yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan Nasionalisme Ekonomi di Indonesia adalah dengan meningkatkan Industri Kreatif seperti yang telah dicanangkan oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 22 Desember 2008 yang mencanangkan tahun 2009 sebagai Tahun Industri Kreatif (TIK). TIK ini merupakan salah satu usaha pemerintah untuk mengembangkan ekonomi yang memiliki prospek yang cerah di tengah era globalisasi ini. Karena pada era ini, ide-ide serta gagasan yang kreatif akan dapat menjadi solusi bagi bangsa Indonesia untuk dapat terus bertahan dan berkembang. Kontribusi sektor ekonomi kreatif terhadap PDB Indonesia selalu mengalami peningkatan, hal ini dapat terlihat dari tahun 2002-2006, yaitu Industri kreatif memberikan kontribusi sebesar 6.3% dari PDB, sedangkan dari segi penyerapan tenaga kerjanya mencapai 5.8% dari jumlah total tenaga kerja yaitu 93.3 juta. Dari membaca grafik di atas dapat diketahui bahwa tingkat pertumbuhan dari sektor UKM lebih besar ketimbang UB. Dari tahun-ketahun terlihat tren pertumbuhan yang cukup signifikan dari UKM. Dengan demikian, Indonesia perlu terus mempertahankan dan meningkatkan sektor UKM karena kontribusinya yang besar terhadap PDB Indonesia. Pencapaian yang diperoleh oleh Industri Kreatif ini mengindikasikan bahwa industri kreatif memiliki peran yang cukup signifikan dalam menyokong keadaan ekonomi Indonesia dan menjadikan masyarakat Indonesia menjadi lebih mandiri.
Namun, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan agar Industri kreatif ini tetap menjadi salah satu alat untuk meningkatkan nasionalisme ekonomi, yaitu:
Tidak ada kata terlambat bagi bangsa Indonesia untuk selalu berusaha meningkatkan rasa Nasionalisme Ekonomi. Tidak mudah memang, namun ketidak mudahan ini bukan berarti membuat kita menjadi pesimis dan menghadapi era globalisasi ini sebagai negara target, yaitu target sebagai negara konsumen bukan negara produsen. Indonesia harus maju dan menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia memiliki bangsa yang cinta kepada negaranya, bangsa yang dapat bersaing, dan juga bangsa yang memiliki peran di pergaulan internasional. Referensi
Kembali - Cetak |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
© Hakcipta 2008-2021 - Pesantren Al Muta'allimin, Jakarta 12210 |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |