![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Keislaman | ![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Rabu, 26 September 2012, 23:28
Pendidikan Indonesia, Anda Mau Kemana?
Ibnu Az Zayn
Tanpa bermaksud mengagungkan keberadaan Pesantren dengan aktifitas pendidikan keagamaannya, fenomena tawuran antar pelajar saat ini selayaknya sepatutnya dilihat sebagai akibat dari kurangnya pendidikan akhlak keagamaan yang diberikan oleh pihak sekolah umum negeri -dan juga swasta. Fenomena ini sudah nyaris akut karena sudah mulai pada tahap kejahatan tertinggi dalam peradaban budaya manusia, yaitu membunuh. Para pemegang kebijakan pendidikan di Indonesia sepatutnya mau membuka diri dan berjiwa besar mengakui bahwa ini adalah akibat dari marginalisasi pendidikan agama atau pendidikan moral keagamaan. Betapa mahalnya harga resiko pengagungan terhadap pendidikan umum. Dalam skema pikir remaja, tidak ada istilah bahwa nyawa melayang adalah sebuah pelajaran berharga untuk berhenti tawuran dan bertaubat, kembali kepada jalan yang lurus, yaitu mengejar prestasi. Sebaliknya, balas dendam atas kematian teman adalah wujud loyalitas yang harus dijunjung tinggi. Setelah semuanya, selayaknya mendikbud mengambil keputusan berani yang didasari oleh idealisme bahwa pendidikan harus berakhir pada perbaikan karakter. Sayangnya, alih-alih menyadari ini sejak dulu, yang terjadi adalah penetapan hari sabtu sebagai hari libur sehingga jam pelajaran dipindahkan di 5 (lima) yang lain, yang akibatnya para pelajar pulang semakin siang, bahkan ada yang baru tiba di rumah pukul 19.00 malam. Aji gile! profesor aja gak belajar formal begitu lama. Runyamnya praktek pendidikan di Indonesia ini toh semakin diperkeruh dengan komersialisasi belajar. Dari sekedar guru yang cari "tambahan" dengan membuat les di sekolah, ekstra kurikuler, hingga lembaga bisnis bimbel yang masuk sekolah (kalo' emang maunya bisa lolos UN, kenapa sekolah gak dibubarkan saja , lalu diganti dengan wajib bimbel). Di satu sisi, sekolah punya ketakutan bahwa memulangkan para pelajar lebih awal akan mengakibatkan kokosongan waktu yang khawatir digunakan untuk tidak semestinya. Dulu orang tua kita, sepulang sekolah belajar di madrasah. Mereka pulang sekolah di waktu zhuhur. Tiba di rumah istirahat makan dan mandi lalu berangkat kembali ke madrasah, belajar ilmu agama (baca: belajar mendidik karakter). Kita merindukan madrasah-madrasah seperti ini. Meski mereka -para pengambil kebijakan pendidikan yang berdasi, pendidikan luar negeri dan mempunyai otak materialisme yang encer- menilai rendah eksistensi madrasah-madrasah tersebut, kenyataan seharusnya mereka layak berterimakasih karena keberadaan madrasah-madrasah itu di era dulu dan sekarang telah membantu meringankan tugas pemerintah membina anak bangsa. Sayangnya, rentang waktu belajar yang semakin panjang, apalagi setelah keluarnya kebijakan libur hari Sabtu telah membunuh dan menutup secara perlahan pendidikan tradisional madrasah di siang hari. Mari merenung bersama, mau apa sih sebenarnya kita belajar? Jika kemendikbud tidak mampu memberikan pendidikan keagamaan secara baik, maka biarkan penyelenggaraan pendidikan keagamaan itu diserahkan kepada masyarakat. Jika anda tidak mau mengurangi waktu belajar di sekolah umum, siapkan saja nyawa-nyawa adik kita sebagai cost yang harus dikorbankan untuk mencapai pendidikan -yang anda bilang- ideal tetapi berakhir pada penciptaan ketakutan pada diri anak dan menjadikan mereka sebagai robot-robot tidak berperasaan. Mau kemana sebenarnya mereka? Kembali - Cetak |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
© Hakcipta 2008-2021 - Pesantren Al Muta'allimin, Jakarta 12210 |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |