![]() |
Umi Raisha | 09-04-2012- 15:38 | ![]() |
Assalamu'alaykum --------------------- Pertama : darah yang tidak keluar di masa haidh dan masa nifas adalah darah istihaadhah atau darah penyakit. Darah atau kotoran kategori ini tidak menghalangi sama sekali kewajiban ibadah yang mensyaratkan kebersihan dari hadas kecil, seperti shalat atau tawaf. Pastinya juga tidak berpengaruh terhadap ibadah yang tidak memerlukan kebersihan dari hadas kecil, seperti ibadah puasa. Kedua : dalam kasus di mana wanita tersebut harus melakukan ibadah yang mensyaratkan kebersihan dari hadas kecil maka tahapan pembersihannya adalah sebagai berikut:
Keempat tahapan di atas dilakukan setiap kali mau melakukan ibadah wajib yang mensyaratkan kesucian dari hadas. Artinya setelah melakukan shalat Zhuhur dengan cara penyucian di atas, maka tahapan yang sama harus dilakukannya saat hendak shalat Ashar. Demikian seterusnya. Sementara untuk shalat sunnah, ia dapat melakukannya sebanyak mungkin dengan wudhu yang digunakannya untuk shalat fardhu di waktu tersebut. Maksudnya, ia tidak perlu berwudhu kembali dengan mekanisme di atas setelah melakukannya untuk kekeperluan shalat fardhu. Ketiga : Diasumsikan bahwa dia dapat membedakan antara darah flek dan darah haidh, baik melalui penanggalan (jika tidak berubah-ubah) atau perbedaan rasa sakit atau warna, maka saat darah haidh keluar, tentu tinggalkan shalat dan puasa (dibayar di hari lain). Jika setelah darah haidh berhenti sementara kondisi keluar flek masih berlangsung, ia mandi untuk keperluan membersihkan diri dari hadas besar (haidh) dan mulai shalat fardhu dengan tahapan penyucian hadas kecil di atas. Keempat : sekedar tambahan. Tidak seperti hukum yang berlaku untuk darah haidh. Darah kategori istihaadhah tidak mencegah -secara hukum- kehalalan hubungan suami istri. () Bahan bacaan :وهي (أي الاستحاضة) حدث دائم فلا تمنع شيئا مما يمتنع بالحيض، من نحو صلاة ووطئ، ولو مع جريان الدم. |
![]() |
muhibbin | 23-03-2012- 16:31 | ![]() |
Assalam 'alaykum ---------------------
maka,
Untuk itu, dalam kasus ini, maka eksekusi hukuman atas pelanggaran terhadap hak manusia didahulukan. Dengan demikian maka rajam tidak diperlukan. فَيُقَدَّمُ قَتْلُ الْقَوَدِ فِي الْحِرَابَةِ وَغَيْرِ الْحِرَابَةِ عَلَى الرَّجْمِ فِي الزِّنَا ، وَالْقَتْلِ بِالرِّدَّةِ ، سَوَاءٌ تَقَدَّمَ أَوْ تَأَخَّرَ : لِمَا تَضَمَّنَهُمَا مِنْ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ (الحاوي الكبير, أبو الحسن الماوردى, ج 13, ص 807) Berbeda dengan Syafi'iyyah adalah Ibnul 'Arabiy (468 - 543 H) dari kalangan madrasah Malikiyyah yang menilai kejahatan pemerkosaan sama dengan kejahatan hiraabah bahkan lebih dahsyat sehingga sanksi sebagaimana disebut dalam ayat hiraabah dapat diberlakukan sepenuhnya. Tidak ada sanksi rajam sama sekali. Beliau berkisah: وَلَقَدْ كُنْت أَيَّامَ تَوْلِيَةِ الْقَضَاءِ قَدْ رُفِعَ إلَيَّ قَوْمٌ خَرَجُوا مُحَارِبِينَ إلَى رُفْقَةٍ، فَأَخَذُوا مِنْهُمْ امْرَأَةً مُغَالَبَةً عَلَى نَفْسِهَا مِنْ زَوْجِهَا وَمِنْ جُمْلَةِ الْمُسْلِمِينَ مَعَهُ فِيهَا فَاحْتَمَلُوهَا ، ثُمَّ جَدَّ فِيهِمْ الطَّلَبُ فَأُخِذُوا وَجِيءَ بِهِمْ ، فَسَأَلْتُ مَنْ كَانَ ابْتَلَانِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْمُفْتِينَ ، فَقَالُوا : لَيْسُوا مُحَارِبِينَ ؛ لِأَنَّ الْحِرَابَةَ إنَّمَا تَكُونُ فِي الْأَمْوَالِ لَا فِي الْفُرُوجِ . فَقُلْت لَهُمْ : إنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ ، أَلَم تَعْلَمُوا أَنَّ الْحِرَابَةَ فِي الْفُرُوجِ أَفْحَشُ مِنْهَا فِي الْأَمْوَالِ ، وَأَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ لَيَرْضَوْنَ أَنْ تَذْهَبَ أَمْوَالُهُمْ وَتُحْرَبَ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهمْ وَلَا يُحْرَبُ الْمَرْءُ مِنْ زَوْجَتِهِ وَبِنْتِهِ ، وَلَوْ كَانَ فَوْقَ مَا قَالَ اللَّهُ عُقُوبَةٌ لَكَانَتْ لِمَنْ يَسْلُبُ الْفُرُوجَ ، وَحَسْبُكُمْ مِنْ بَلَاءٍ صُحْبَةُ الْجُهَّالِ ، وَخُصُوصًا فِي الْفُتْيَا وَالْقَضَاءِ . (أحكام القرآن لابن العربي, ج 3, ص 158) Siapapun pendapatnya, tampak bahwa sanksi yang diterapkan adalah sanksi hukuman mati hiraabah. Terakhir, jawaban di atas tentu didasarkan pada asumsi unsur-unsur atau syarat-syarat kejahatan hiraabah sudah terpenuhi. Lihat syarat-syarat muhaarib di Al Mawsu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaytiyyah (Jil. 17, hal. 155 - selesai). Wallahu a'lam. |
![]() |
Muhibbin | 21-03-2012- 17:04 | ![]() |
Assalamu'alaykum. Matta'anallah bithuuli hayatik wa syafakallah mardhaak. Ana mau bertanya. Adakah do'a yang sunnah untuk kita baca ketika kita lupa berdo'a ketika mau masuk ke toilet? Sebagaimana halnya ketika kita lupa membaca do'a makan. kita di anjurkan membaca bismillah awwalahu wa akhirahu. Syukran --------------------- Sebagai bahan rujukan وَعِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ -إلى أن قال- فَإِنْ فَاتَهُ أَنْ يَقُولَ ذَلِكَ قَبْلَ وُصُولِهِ إِلَى الْمَحَلِّ قَالَهُ بَعْدَ وُصُولِهِ إِنْ لَمْ يَكُنِ الْمَحَلُّ مُعَدًّا لِقَضَاءِ الْحَاجَةِ وَقَبْلَ جُلُوسِهِ ، لأَنَّ الصَّمْتَ مَشْرُوعٌ حَالَ الْجُلُوسِ ، أَمَّا إِنْ كَانَ الْمَحَلُّ مُعَدًّا لِقَضَاءِ الْحَاجَةِ فَلا يَقُولُ الذِّكْرَ فِيهِ وَيَفُوتُ بِالدُّخُولِ ، وَعِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ يَقُولُهُ فِي نَفْسِهِ. (الموسوعة الفقهية الكويتية, ج 34, ص 23) وَقَالُوا فِيمَنْ نَسِيَ : يَسْتَعِيذ بِقَلْبِهِ لَا بِلِسَانِهِ (فتح الباري, ج 1, ص 230) |
![]() |
muhibbin | 20-01-2012- 14:56 | ![]() |
Assalamu'alaykum, ustadzuna al fadhil. Saya mau bertanya, anak saya meninggal pada usia 8 tahun, tapi belum di-aqiqahi, apakah masih ada kesunnahan bagi saya untuk mengaqiqahkannya? Terima kasih. Jazakallah khayral jazaa`. --------------------- |
![]() |
sofia | 16-01-2012- 15:29 | ![]() |
senang rasanya kalau bisa berbagi pengalaman |
![]() |
muhammad | 20-09-2011- 15:16 | ![]() |
Assalamu'alaykum. Pak ustadz, mau tanya,bagaimana kebenaran informasi tentang keharaman faksinasi/imunisasi bagi bayi (konon mengandung enzim dari tiga hewan yg diharamkan: babi, monyet, dan anjing). Bagaimana pula ditinjau manfaat & madharatnya apabila informasi tersebut benar? --------------------- Hanya satu hal yang yang mendesak yang kita, muslimin, harus lakukan, yaitu mencari dan menghasilkan alternatif solusi faksinasi atau imunisasi dari sesuatu yang halal dan tidak najis. Saya yakin banyak muslimin yang mampu dan pandai. |
![]() |
abdulwoh | 31-08-2011- 11:48 | ![]() |
Materi kutbah Ied nya mantap Tadz..... |
![]() |
kawulo sambat | 29-08-2011- 21:06 | ![]() |
Sekali lagi ana ucapkan jazakallah khairal jaza'. Waffaqanallah waiyyakum waja'alana minal 'aidin wal faizin. Taqabbalallahu minna waminkum. |
![]() |
kawulo sambat | 27-08-2011- 17:55 | ![]() |
Oh ya ustadz, afwan. Yang dimaksud dengan kata "disertai sikap merendah" yang ustadz jelaskan dalam pengertian doa di atas itu dilakukan ketika melakukan doa saja atau juga dalam kehidupan sehari-hari. --------------------- Penjelasan ini tidak berarti dalam keseharian tidak diperlukan sikap merendah. Hanya saja kita sedang membicarakan definisi doa saja. Bukan sedang berbicara tentang pentingnya sifat merendah. Saya tidak menyarankan mengambil definisi suatu istilah dari buku tashawwuf karena biasanya para ahlinya tidak terlalu ngurusin definisi istilah dari segi logika. Mereka lebih konsen dengan hakikatnya dan aktualisasi. Dalam membuat definisi mereka seringkali bersikap tasaamuh. |
![]() |
kawulo sambat | 27-08-2011- 17:37 | ![]() |
Syukran atas jawabannya. Mengenai keterangan bahwa permohonan tanpa adab tidak dikabulkan itu bukan ana nukil dari kitab al Maw'izhah. tapi pemahaman ana sendiri terhadap pengertian bahwa doa adalah permohonan yang disertai dengan adab yang ditulis dalam kitab syarah al Hikam yaitu Iiqaazhul himam, halaman 19. Jadi kemarin ana hanya memahami definisi doa dari kitab tersebut. Artinya jika tidak sesuai dengan definisi maka tidak termasuk doa. Mungkin ana salah dalam memahaminya. maklum litaqshiiri 'aqlii, yang tidak mampu memahami arti yang dimaksud dalam kitab tersebut. Jazaakallah khairal jazaa'. |
![]() |
kawulo Sambat | 26-08-2011- 10:17 | ![]() |
Assalam 'alaik ya ustaadz. Athalallah 'umrak fi shihhatin wa 'aafiyah --------------------- الكلام الإنشائي الدال على الطلب مع الخضوع "Ungkapan insyaa’ (komposisi) yang mengindikasikan permohonan disertai sikap merendah." Jadi, sekedar meminta kepada Allah (pihak yang lebih tinggi) -subhanahu wa ta'alaa- maka sudah dapat disebut sebagai doa atau meminta, meskipun tidak disertai dengan adab seperti yang dimaksud dalam pertanyaan di atas. Adab doa diperlukan terkait dengan keterkabulan doa yang dipanjatkan. Singkatnya, segala permintaan kepada Allah adalah doa. Kemudian agar doa terkabul diperlukan adab. Yang sulit bukan berdoa, tetapi keterkabulan doa. Karena yang terakhir ini memerlukan adab luar dan adab dalam. Mengenai keterangan dalam Maw’izhah al Mu’miniin yang menyatakan “artinya jika ada sebuah permohonan tidak disertai dengan adab maka bukan doa namanya.” saya belum menemukannya, mohon dibantu, ditunjukkan tepatnya di mana dalam buku tersebut. |
![]() |
imam | 12-08-2011- 23:13 | ![]() |
Ikut ngangsu kaweruh |
![]() |
santi | 08-08-2011- 16:20 | ![]() |
Assalamualaikum, |
![]() |
santi | 08-08-2011- 16:08 | ![]() |
kuat, tabah dan ikhlas dalam menghadapi masalah. |
![]() |
Abdullah | 28-07-2011- 12:18 | ![]() |
Assalamu'alaykum, Ustadz Istri ane potong rambut pendek seperti laki-laki (semata-mata untuk kepraktisan) juga kewajiban menutup auratnya dijalankan & sering menggunakan celana (tetapi tidak menonjolkan lekuk-lekuk tubuh}. Apakah kedua masalah di atas dikategorikan tasyabbuh bir rijaal? Syukran. Jazzakumullah. --------------------- Saran kami, jangan biasakan menyingkat Assalamu'alaykum dengan Ass... Sejauh kami belajar, kami tidak menemukan keterangan eksplisit dari Al Qur`an atau Sunnah yang menentukan batas panjang rambut wanita. Hanya saja ada beberapa riwayat yang menyinggung tentang kondisi rambut Nabi dan para istrinya, namun tidak dalam konteks menerangkan batas ukuran yang dizinkan atau dilarang. Salah satu riwayat tersebut adalah informasi Aisyah -semoga Allah meridhainya- yang menceritakan bahwa (setelah wafatnya Rasulullah -shalawat dan salam untuknya-) para istri beliau memotong rambutnya hingga sebatas wafrah. وَكَانَ أَزْوَاجُ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَأْخُذْنَ مِنْ رُءُوسِهِنَّ حَتَّى تَكُونَ كَالْوَفْرَةِ (صحيح مسلم , ج 1 , ص 176) "Para istri Nabi memotong rambutnya hingga seukuran wafrah." (Wafrah artinya rambut yang terurai hingga mencapai daun telinga) Kami menilai masalah ini sebagai masalah tradisi atau budaya yang sifatnya longgar dan tidak mengikat secara kaku. Ini bukan bagian dari Sunnah, tetapi jibillah. Meskipun demikian kami menyarankan istri melakukannya atas izin suami. Di sini lain, terdapat larangan bagi wanita menyerupai laki-laki, sebagaimana laki-laki menyerupai wanita juga dilarang. قال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَعَنَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ ( صحيح البخاري , ج 5 , ص 2207 , عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا) "Rasulullah -shalawat dan salam untuknya- melaknat para lelaki yang menyerupai para wanita dan melaknat para wanita yang menyerupai para lelaki." Pertanyaannya, apakah wanita berambut pendek seukuran wafrah dianggap menyerupai laki-laki? Sebelum menjawabnya, kita perlu mendudukkan masalah penyerupaan (tasyabbuh) yang dilarang pada tempatnya yang tepat. Dilihat dari sudut jenis kelamin, tradisi dapat dipisahkan dalam tiga bentuk:
Sedangkan tradisi yang memang berlaku sama bagi laki-laki dan perempuan sekaligus maka penyerupaan oleh salah satunya tidak dilarang. Dalam faktanya, model ukuran rambut seukuran wafrah adalah hal yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Informasi al imam Muslim di atas -semoga Allah mengasihinya- menjelaskan bahwa ukuran rambut para istri Rasulullah seukuran wafrah. Informasi al imam Muslim berikut juga menjelaskan bahwa panjang rambut Nabi -shalawat dan salam untuknya, yang notabenenya lelaki- juga kadang-kadang hingga setengah telinga. كَانَ شَعَرُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى أَنْصَافِ أُذُنَيْهِ (صحيح مسلم , ج 7 , ص 83 , عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ) "Rambut Rasulullah -shalawat dan salam untuknya- hingga tengah telinga." Dengan demikian -dilihat dari segi panjang- maka wafrah merupakan tradisi yang berlaku umum bagi laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian, kemungkinan tasyabbuh tetap terbuka dari sisi model potongan. Untuk itu, wanita yang ingin berambut pendek harus menghindari model potongan rambut yang biasanya berlaku bagi laki-laki. Demikian juga sebaliknya. Saat menjelaskan hadis pertama di atas, al Imam An Nawawiy -semoga Allah mengasihinya menulis, وفيه دليل على جواز تخفيف الشعور للنساء (شرح النووي على مسلم , ج 2 , ص 23) "Dalam hadis ini terdapat bukti bahwa wanita diizinkan memperpendek rambut." Wallahu A'lam |