Kegagapan Fiqh
Fiqh (Mu’amalah) sedang berada dalam proses bangkit dari mati surinya yang cukup panjang setelah lama tidak aktif dalam dunia hukum positif. Seseorang yang bangkit dari tidurnya yang lama -seperti fenomena Ash-haabul Kahfi- tentu akan gagap menghadapi kondisi zaman yang baru yang dirasanya amat asing.
Fiqh berada dalam suasana hati dan logika seperti ini. Bahkan yang dihadapinya bukan sekedar keterasingan dan gagap sebagaimana yang dirasakan oleh Ash-haabul Kahfi, sebab fiqh -di samping terasingkan- juga mendapat tantangan baru melawan sistem-sistem lainnya yang lebih mapan.
Fiqh akhirnya mau tidak mau ikut berbaur, bermain menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungan barunya yang sudah diramaikan oleh pemain-pemain yang mapan.
Fiqhisasi ekonomi hanya berusaha mengislamisasi produk-produk transaksi yang sudah ada. Fiqhisasi (dalam bahasa fiqh dikenal dengan “takyiif”) dilakukan sedemikian rupa sehingga kadang terkesan “main-main”, tidak jujur dan lipsync.
Kondisi seperti ini yang membuat para ahli akhirnya melakukan rekayasa fiqh dengan harapan produk-produk keuangan ini bisa diterima dalam masyarakat yang (sudah terlanjur) tidak miqihi (baca: berfiqh).
Pertanyaannya apakah rekayasa ini sebagai suatu yang buruk? Jawabnya susah, tidak bisa hitam putih.
Ketidaksiapan mental peminat islamisasi
Ketika keserba-syariahan mulai mendapatkan tempat di hati peminatnya, kita buru-buru menyediakan dukungan hardware (hukum, lembaga, sumber daya manusia) dan software (teknologi informasi).
Namun ada satu hal yang kita (termasuk penulis di dalamnya) alpa persiapkan dalam menyongsong era serba syariah, yaitu mental. Mental untuk menerima ajaran akhlaq Islam dalam etika Mu’amalah.
Mental yang tidak dipersiapkan dan dibiarkan tetap berada dalam pengaruh masa lalu (akibat sistem dan pendidikan) menjadikan saya “berpeci” namun berhati kapitalis dan adik perempuan saya “berjilbab” tetapi berhati rentenir.
Jika akhir-akhir ini, kita bisa dengan mudah mendapatkan pengajaran ekonomi Islam, maka tidak mudah bagi kita untuk mendapatkan pendidikan mental untuk memahami dan menyikapi setiap sendi-sendi dan pokok ajaran agama. Kita memerlukan pendidikan (formal) mental yang mampu mempengaruhi kita untuk memandang mitra bisnis dengan pandangan rahmah, bukan pandangan curiga, saling cinta kepada sesama, tidak menganiaya sesama, berpihak pada yang teraniaya dan terpinggirkan secara ekonomi, tidak sekedar kasihan kepada yang tidak beruntung, menghargai pemberian Tuhan, tidak menjadikan materi sebagai segalanya, kesederhanaan hidup, dan lain-lain.
Tanpa mentalitas islamiy (baca akhlaq) yang baik kita menjadi robot-robot berhati kering yang menjadikan syaritatisasi mu’amalah sebagai hanya penetapan seonggok aturan dan business as usual. Ujung-ujungnya adalah peningkatan keuntungan atau laba saja layakanya mindset masyarakat kapitalis.
Kita alpa dengan perlunya pendidikan mental meskipun kita berpakaian fiqh. Alangkah indahnya jika dalam fakultas ekonomis syariah atau jurusan sejenisnya diberikan juga mata kuliah tashawwuf. Atau jika alergi pada kata tashawwuf, kita bisa menyebutnya sebagai mata kuliah akhlaq islamiy.
Fiqh hanya setumpuk hukum yang bisa dipermainkan secara serampangan dan berbahaya bagi mereka yang bermental bejat (baca: zhalim). Cerita berikut memberikan inspirasi kepada saya,
Dua orang cekcok di dekat pintu rumah/kamar Rasulullah SAW. Keduanya memang datang hendak menemui beliau agar beliau memutuskan sengketa (waris) di antara keduanya. Mendengar ribut-ribut, beliau keluar dan setelah mengetahui duduk perkaranya beliau bersabda,
“Aku ini cuma seorang manusia (yang tidak tahu tentang realita yang sebenarnya terjadi). Beberapa orang yang bersengketa datang kepadaku (meminta aku memutuskan). (Tentunya aku akan mendengarkan apa yang ingin disampaikan oleh kedua belah pihak). Bisa jadi salah satu pihak lebih pandai dalam menyampaikan argumentasinya daripada pihak yang satunya. Lalu aku menduga pihak (yang pandai menyampaikan argumennya) tersebut adalah pihak yang benar (berdasarkan apa yang disampaikannya). Kemudian aku membuat keputusan yang menguntungkan dia. Pihak mana saja yang aku putuskan menang dengan cara (yang ternyata aku tidak tahu) mengorbankan hak muslim yang lain maka sungguh hal itu adalah sepotong api neraka. Silakan dia ambil atau dia tinggalkan.” (Al-Bukhariy, no. 6759)
Cerita di atas -meskipun sebenarnya terkait dengan proses di pengadilan- namun juga memberikan pelajaran kepada kita bahwa Fiqh saja tidak cukup tanpa disertai mental takut kepada Allah dan kejujuran.
Sebenarnya ini masalah klise dan klasik. Namun ketidak-siapan mental ini menjadi kendala tersendiri dalam masyarakat kita (sekali lagi, termasuk saya di dalamnya) untuk bisa menerima yang serba syariah secara menyeluruh, luar dan dalam. Akibatnya yang tampak adalah mental kapitalisme berbalut fiqh