I’tikaf di masjid di malam hari -akir-akhir ini- menjadi fenomena marak di Jakarta, khususnya di bulan Ramadhan. Bahkan sebagian rela bermalam di masjid mengajak anak dan istri mereka untuk ber-i’tikaf sambil berharap memperoleh keberkahan malam Qadr.
Bagi kaum lelaki masalah waktu (malam) mungkin tidak menjadi kendala. Namun tidak demikian dengan wanita dengan segala keterbatasannya secara biologis dan sosial. Dalam Islam, keberadan mereka di luar rumah di waktu malam sering menjadi bahan kekhawatiran timbulnya fitnah (keburukan).
Hal ini menjadi problem tersendiri bagi wanita yang ingin ikut beribadah i’tikaf.
Lalu adakah cara lain yang lebih aman bagi wanita untuk tetap dapat melaksanakan i’tikaf? Tulisan ini mencoba menjelaskan tentang i’tikaf secara ringkas serta beberapa pendapat ulama tentang kriteria tempat yang digunakan untuk beribadah i’tikaf.
I’tikaf secara etimologi berarti membiasakan suatu perbuatan, baik perbuatan baik ataupun buruk, baik di masjid maupun di luar masjid.
Sementara secara terminologi, i’tikaf adalah menetap atau berdiam di dalam masjid atau di tempat yang dianggap sebagai masjid dengan aturan tertentu (Fathul Qarib al Mujib, hal. 27)
Hukum melaksanakan i’tikaf adalah sunnah. I’tikaf dianjurkan di setiap waktu, baik malam ataupun siang hari, baik di bulan Ramadhan maupun bukan. Hanya saja melaksanakan i’tikaf pada sepuluh malam yang terakhir di bulan Ramadhan lebih dianjurkan daripada waktu lain mengingat eksistensi nilai malam Qadr. (Fathul Qarib al Mujib, hal.27 )
Kesunnnahan i’tikaf didasari oleh :
1. Al Qur’an, surat al Baqarah, 187:
… وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا … (البقرة: 187)
“… (Tetapi) jangan kalian campuri mereka saat kalian sedang ber-i’tikaf di dalam masjid. Itulah larangan Allah maka jangan kalian mendekatinya, … “ (QS. Al Baqarah: 187)
2. Hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Umar (w. 73 H) ra :
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال ثم كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعتكف العشر الأواخر من رمضان (صحيح البخاري ج :2 ، ص : 713)
“Diriwayatkan oleh sahabat Abdullah Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah melakukan i’tikaf pada sepuluh yang terakhir dari bulan Ramadahan.” (Shahih al Bukhari, j. 2, hal. 713)
Rukun I’tikaf
Ada dua unsur yang harus dipenuhi saat ber-i’tikaf
- Pertama, niat melaksanakan i’tikaf ;
- Kedua, berdiam di dalam masjid, selama minimal setara waktu thuma’ninah dalam shalat (Fathul Qarib al Mujib, hal : 27).
Sehubungan rukun atau unsur yang kedua, para ulama sepakat bahwa i’tikaf harus dilakukan di masjid. Meskipun demikian terdapat perbedaan pendapat mengenai kriteria masjid yang diperbolehkan untuk i’tikaf.
Syaik Muhammad Ali As Shabuni dalam Tafsir Ayat al Ahkam (j. 1, hal. 166) mengemukakan adanya 3 (tiga) perbedaan pendapat mengenai masalah ini :
- Mayoritas ulama: I’tikaf dapat dilakukan di setiap masjid. Pendapat ini didasarkan pada keumuman kata masajid yang terdapat dalam al Baqarah, 187.
- Sa’id Ibnul Musayyib ra (13-94 H) : I’tikaf hanya dapat dilakukan di tiga masjid, yaitu masjid al Haram, masjid Nabawi, dan masjid al Aqsha. Pendapat ini didasarkan pada hadis nabi yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah ra : “Tidaklah dikuatkan tali kekang (untuk melakukan wisata ibadah) kecuali ke tiga masjid, yaitu masjid al Haram, masjid Nabawi, dan masjid al Aqsha (Shahih al Bukhari, j. 1, hal. 398).
- Ibnu Mas’ud ra (w. 32 H) : I’tikaf hanya sah dilakukan di masjid yang biasa digunakan untuk berjama’ah. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Malik ra dalam salah satu riwayatnya.
Hanya saja perbedaan pendapat mengenai lokasi i’tikaf di atas berlaku untuk laki-laki. Pertanyaannya, apakah perbedaan pendapat yang sama juga berlaku untuk pelaku i’tikaf wanita?
Dalam kenyataanya, para ahli hukum Islam berbeda pendapat lagi mengenai kriteria lokasi i’tikaf bagi wanita. Imam Abu Bakar Al Jash-shash (305-370 H) dalam Ahkamul Qur`an (j.1, hal. 301-305) menuturkan dengan lengkap beberapa pendapat ulama mengenai lokasi i’tikaf wanita sebagai berikut:
- Al Imam Abu Hanifah (80-150 H) ra dan murid-muridnya seperti Abu Yusuf, Muhammad, dan Zafar : Tidak diperbolehkan bagi wanita melakukan i’tikaf kecuali di masjid yang ada di dalam rumahnya. Mereka juga berpendapat bahwa wanita tidak boleh melakukan i’tikaf di masjid Jami’ (masjid yang digunakan untuk shalat Jum’at). Maksud ‘masjid di rumah’ di sini adalah : sebuah ruangan yang ada di dalam rumah yang memang diniatkan untuk masjid, atau ruangan dalam rumah yang biasa digunakan untuk melaksanakan shalat (Hasyiyah Al Bajuri, j. 1 , hal. 305)
- Al Imam Malik (93-179 H) ra : Diijinkan bagi wanita melakukan i’tikaf di masjid jami’ dan di masjid rumahnya.
- Al Imam Asy Syafi’i (150-204 H) ra dalam qawl jadid berpendapat bahwa i’tikaf harus dilakukan di masjid (bukan rumah). Aturan ini berlaku umum untuk laki-laki dan wanita. Sementara dalam qawl-nya yang lain (qadim) beliau mengijinkan wanita ber-i’tikaf dalam masjid rumahnya. Namun salah satu tokoh Syafi’iyyah, al Qadhi Abu Ath Thayyib Ath Thabariy (348-450 H) membantah adanya dua qawl Asy Syafi’i dalam hal ini. Menurut beliau yang ada hanya satu qawl, yaitu di masjid (bukan masjid rumah). (al Mawsu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaytiyyah, j. 5, hal. 202, indeks I’ftikaf)
Mereka yang mengijinkan wanita ber-i’tikaf di masjid rumahnya mendasari pendapatnya dengan :
عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا استأذنكم نساؤكم بالليل إلى المسجد فأذنوا لهن رواه الجماعة إلا ابن ماجة وفي لفظٍ لا تمنعوا النساء أن يخرجن إلى المساجد وبيوتهن خير لهن (رواه أحمد وأبو داود)
(نيل الأوطار, باب حضور النساء المساجد وفضل صلاتهن في بيوتهن, ج: 3 ص: 160 – قال الشوكاني : حديث ابن عمر هو بنحو اللفظ الآخر في الصحيحين أيضا بدون قوله وبيوتهن خير لهن وهذه الزيادة أخرجها ابن خزيمة في صحيحه)
“Janganlah kalian melarang para wanita untuk keluar pergi ke masjid, (meskipun) rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka”
Dalam hadis ini Rasulullah saw menjelaskan bahwa rumah-rumah wanita itu lebih baik bagi mereka daripada masjid, beliau juga tidak membedakan apakah itu berlaku untuk shalat ataupun i’tikaf. Ini artinya anjuran tersebut bersifat mutlak. Ketika ulama telah sepakat membolehkan wanita melakukan i’tikaf, maka berdasarkan hadis di atas tempat yang terbaik baginya adalah rumah.
Pendapat di atas diperkuat dengan hadis yang diriwayatkan Ummu Salamah (w. 59 H) ra:
وعن أم سلمة قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة المرأة في بيتها خير من صلاتها في حجرتها وصلاتها في حجرتها خير من صلاتها في دارها وصلاتها في دارها خير من صلاتها خارج (رواه الطبراني في الأوسط ورجاله رجال الصحيح)
“Ummu Salamah ra bercerita bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, shalat yang dilakukan oleh seorang wanita di dalam bayt-nya (tempat yang lebih kecil dari kamar dalam sebuah rumah) lebih baik dari pada shalat yang dilakukan di dalam hujrah-nya (kamar dalam rumah). Sementara shalatnya yang dilakukan di dalam hujrah-nya (kamar dalam rumah) lebih baik dari pada shalat yang dilakukannya di dalam daar-nya (rumah). Dan shalat yang dilakukan di dalam rumah lebih baik daripada shalat yang ia lakukan di luar (rumah).” (Majma’ az Zawa`id, j. 2, hal. 34)
Berdasarkan hadis Ummi Salamah sebagian ulama menarik kesimpulan dengan metode qiyas bahwa jika hal tersebut berlaku pada shalat maka aturan yang sama juga berlaku untuk ibadah i’tikaf, mengingat kesamaan ‘illah, yaitu kekhawatiran timbulnya fitnah.
Artinya, jika ‘illah keputusan shalat wanita di rumah lebih baik adalah kekhawatiran munculnya fitnah maka ‘illah ini juga eksis saat wanita beribadah i’tikaf di masjid (luar rumah).
Menarik untuk disimak adalah apa yang dikutip oleh Al Jash-shash tentang pendapat Asy syafi’i yang mengatakan:
وقال الشافعي : “العبد والمرأة والمسافر يعتكفون حيث شاءوا ؛ لأنه لا جمعة عليهم” (أحكام القرآن للجصاص – ج: 2, ص: 108)
“Asy Syafi’i berpendapat: budak, wanita, dan musafir dapat i’tikaf di mana saja yang mereka inginkan karena tidak ada kewajiban shalat jum’at atas mereka.” (Ahkamul Qur`an, j. 2, hal. 108)
Lepas dari dari berbagai tafsir dan gugatan Al Jash-shash sendiri atas alasan yang dikemukakan oleh al imam Asy Syafi’i, jika kutipan ini benar maka paling tidak ada qawl lain dari Asy Syafi’i ra mengenai lokasi i’tikaf bagi wanita meskipun salah satu tokoh Syafi’iyyah Abu Ath Thayyib membantahnya seperti diutarakan sebelumnya. Wallahu a’lam.