Kata “emas” dalam hadis Ubadah (yaitu hadis yang menjadi acuan utama terkait riba jualbeli) mencakup emas dalam kapasitas/bentuknya sebagai uang (dinar) dan emas sebagai barang sekaligus. Artinya apapun bentuk dan ujud serta fungsi emas maka ia adalah item ribawi.
Alasannya?
1. ‘Illah (alasan efektif) emas dianggap sebagai item ribawi oleh Rasulullah –shalawat dan salam untuknya– bukan karena statusnya sebagai mata uang, tetapi karena potensialitas yang dominan sebagai materi (pembuatan) uang.
Jika kita memahami ‘illah emas dianggap sebagai item ribawi karena statusnya sebagai uang maka akibatnya adalah kemunculan fatwa no 77 DSN-MUI.
Sementara jika kita menilai ‘illah emas dianggap sebagai item ribawi karena potensinya yang dominan sebagai materi/bahan (pembuatan) uang maka apapun bentuk emasnya maka ia adalah item ribawi. Ini yang dipahami oleh mayoritas ulama –Syafi’iyyah khususnya– yang berbeda pendapat dengan Ibnu Taymiyyah dan Ibnul Qayyim. Itu sebabnya, para ahli hukum Islam yang mengaitkan ‘illah keribawian emas dan perak dengan tsamaniyyah– mengungkapkan bahwa ‘illahnya adalah jawhariyyah ats-tsaman (kekuatannya sebagai tsaman), atau jins al-atsmaan (kategori tsaman), bukan tsaman saja.
2. Meskipun zakat & riba adalah dua bab yang berbeda, namun keduanya dalam diskusi ini sering dikaitkan. Dalam zakat, emas yang dikenakan zakat tidak terbatas pada emas yang berupa uang/dinar. Tetapi juga mencakup emas dengan segala bentuknya yang lain. Dengan menggunakan logika “asal sama”, maka selayaknya emas yang merupakan item ribawi adalah emas dalam segala bentuknya juga. Toh emas yang dijadikan zakat adalah emas dalam segala bentuknya.
3. Apa yang membedakan emas mata uang dengan emas bukan mata uang? Apa yang menjadi pertimbangan penting saat bertransaksi emas? Jawabnya adalah substansi emas dan beratnya, tanpa memperhitungkan apakah ia emas sebagai uang atau emas sebagai barang. Bedanya cuma pada emas yang dicetak sebagai uang terdapat keterangan jelas mengenai beratnya, sedangkan emas sebagai barang tidak pasti ada keterangan beratnya. Dengan demikian tidak ada perbedaan emas sebagai uang dan emas sebagai barang. Semua manusia pada intinya terkonsentrasi pada materi emas dan beratnya. Jika disuruh memilih antara pakah mau dinar 50 gram atau mau batangan 1 kg maka saya akan pilih yang 1 kg karena konsentrasi saya bukan pada emas dalam bentuknya, tetapi beratnya. Dinar dibuat hanya untuk mempermudah transaksi pertukaran dengan adanya tulisan angka beratnya. Artinya, emas sebagai uang sama dengan emas sebagai barang. Lebih jauh, emas sebagai uang dan emas sebagai barang itu hanya masalah “ada aturan keterangan beratnya atau tidak”. Yang diharapkan dari keduanya sama saja, yaitu beratnya. Lalu mengapa kita harus membedakan keduanya dari sisi hukum? Wa maa adh-dharb illaa dhabthan lil wazn li taysiir at ta’aamul wa li ta`miinih.
4. Hadis riwayat Ubadah versi lain –semoga Allah meridhainya– yang juga shahih secara eksplisit menyamakan status keribawian emas dalam bentuknya yang tidak dicetak sebagai uang dan dalam bentuknya yang dicetak sebagai uang. Tibruhaa wa ‘aynuhaa. (Lihat Sunan Abi Dawud, jilid 2, hlm. 268)
Pendapat ulama mayoritas menyatakan emas adalah item ribawi dengan segala bentuk. Bila menengok statistik ini, maksudnya jumlah ulama yang menolak “pembatasan emas sebagai item ribawi hanya berlaku untuk emas sebagai uang” jauh lebih banyak dari pada yang membatasinya
“Tetapi kebenaran khan tidak didasarkan pada jumlah?” ketus teman saya yang sewot karena saya dinilai mengacaukan rencananya untuk ngutang emas dan berkebun emas di bank X.
“Benar. Kebenaran tidak mengikuti jumlah. Namun masak sih ulama sebanyak itu salah mikir semua?”
Biar bagaimanapun, fatwa 77 DSN-MUI sudah muncul. Sebagai pendapat tentu itu harus dihargai. Tulisan ini hanya bermaksud menjelaskan sisi lain dari pendapat mayoritas pakar hukum Islam.