Kaidah “Adab didahulukan daripada perintah” dibangun berdasarkan beberapa hadis. Di antaranya adalah:
Hadis Pertama
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَهَبَ إِلَى بَنِى عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ فَحَانَتِ الصَّلاَةُ فَجَاءَ الْمُؤَذِّنُ إِلَى أَبِى بَكْرٍ فَقَالَ أَتُصَلِّى بِالنَّاسِ فَأُقِيمُ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَصَلَّى أَبُو بَكْرٍ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَالنَّاسُ فِى الصَّلاَةِ فَتَخَلَّصَ حَتَّى وَقَفَ فِى الصَّفِّ فَصَفَّقَ النَّاسُ – وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ لاَ يَلْتَفِتُ فِى الصَّلاَةِ – فَلَمَّا أَكْثَرَ النَّاسُ التَّصْفِيقَ الْتَفَتَ فَرَأَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِ امْكُثْ مَكَانَكَ فَرَفَعَ أَبُو بَكْرٍ يَدَيْهِ فَحَمِدَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى مَا أَمَرَهُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ ذَلِكَ ثُمَّ اسْتَأْخَرَ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى اسْتَوَى فِى الصَّفِّ وَتَقَدَّمَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَصَلَّى ثُمَّ انْصَرَفَ فَقَالَ : يا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ. قَالَ أَبُو بَكْرٍ مَا كَانَ لاِبْنِ أَبِى قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّىَ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : مَا لِى رَأَيْتُكُمْ أَكْثَرْتُمُ التَّصْفِيقَ مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ .
(Muttafaq ‘alaih. Redaksi di atas adalah redaksi Muslim. Shahih Muslim, j. 1, hlm. 316)
Diceritakan oleh Sahl bin Sa’d As Sa’idiy bahwa Rasulullah –kasih sayang dan kedamaian untuknya– pergi (setelah shalat Zhuhur) ke (wilayah) Bani ‘Amr bin ‘Auf (yaitu wilayah Quba`. Di wilayah ini dulu Rasulullah membangun masjid perama dalam sejarah islam. Jarak Madinah ke wilayah ini sekitar 2 miil atau 3.7 km) untuk mendamaikan (pertikaian) di antara mereka.
Ketika tiba waktu shalat (Ashar), seorang muadzin (Bilal –semoga Allah meridhainya) mendatangi Abu Bakr –semoga Allah meridhainya– dan bertanya, “Apakah anda akan mengimami shalat (Ashar). Jika iya saya akan iqamah?”
Abu Bakr menjawab, “Iya.”
Di tengah-tengah shalat tersebut, Rasulullah –kasih sayang dan kedamaian untuknya– datang. Beliau menyelusup hingga berdiri di shaf (pertama). (Melihat atau menyadari kedatangan beliau) para shahabat bertepuk tangan (memberi isyarat kepada Abu Bakr mengenai kedatangan beliau).
Awalnya Abu Bakr tidak menoleh dalam shalatnya. Ketika para shahabat semakin ramai bertepuk tangan, dia pun menoleh. Dia melihat Rasulullah –kasih sayang dan kedamaian untuknya.
Rasulullah –kasih sayang dan kedamaian untuknya– memberi isyarat kepada Abu Bakr yang maksudnya “Tetaplah di tempatmu!“
Abu Bakr mengangkat tangannya dan memuji Allah sesuai dengan cara yang diperintahkan oleh Rasulullah –kasih sayang dan kedamaian untuknya– (sebagai bentuk syukur atas kedatangan beliau). Kemudian Abu Bakr mundur hingga sejajar dengan shaf (pertama). Sementara Nabi maju (ke posisi imam). Beliau (melanjutkan shalat) hingga selesai.
(Setelah selesai) beliau bertanya kepada Abu Bakr, “Apa yang menghalangimu untuk tetap (berada) di posisimu ketika aku perintahkan?“
Abu Bakr menjawab, “Tidak selayaknya bagi Ibnu Abi Quhafah (Abu Quhafah adalah orang tua Abu Bakr ra) shalat di depan Rasulullah.“
Lalu Rasulullah –kasih sayang dan kedamaian untuknya– berkata (kepada para shahabat yang lain sebagai penolakan terhadap tindakan berlebihan mereka saat memberi isyarat dengan tepuk tangan), “Mengapa saya lihat kalian banyak bertepuk tangan. Siapa yang terdapat sesuatu dalam shalatnya maka bertasbihlah. Jika dia membaca tasbih maka ia akan ditoleh. Tepuk tangan itu untuk (mengingatkan dalam jamaah) wanita.”
Hadis Kedua
عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ يَقُولُ كَتَبَ عَلِىُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ الصُّلْحَ بَيْنَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَبَيْنَ الْمُشْرِكِينَ يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ فَكَتَبَ : هَذَا مَا كَاتَبَ عَلَيْهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ. فَقَالُوا لاَ تَكْتُبْ رَسُولُ اللَّهِ فَلَوْ نَعْلَمُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ لَمْ نُقَاتِلْكَ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- لِعَلِىٍّ : امْحُهُ . فَقَالَ مَا أَنَا بِالَّذِى أَمْحَاهُ. فَمَحَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ …
(Muslim. Shahih Muslim, j. 3, hlm. 1409)
Abu Ishaq mengatakan, aku mendengar Al Bara` bin ‘Azib bercerita,
Ali bin Abu Thalib –semoga Allah meridhainya– menulis (surat) perjanjian antara Nabi –kasih sayang dan kedamaian untuknya– dan orang-orang musyrik (Quraisy Mekkah) di masa perang Hudaybiyyah.
(Dalam surat itu) Ali menulis, “Demikian yang diputuskan oleh Muhammad, utusan Allah.”
Namun orang-orang musyrik menolak kata “utusan Allah”. Mereka berkata, “Jangan tulis ‘utusan Allah’. Kalau saja kami meyakini engkau sebgai utusan Allah tentu kami tidak akan memerangimu.”
Rasulullah –kasih sayang dan kedamaian untuknya– memerintahkan Ali, “Hapuslah kata itu!“
Ali menjawab, “Aku bukan orang yang akan menghapusnya.“
Akhirnya Rasulullah sendiri menghapusnya dengan tangannya (setelah diberi tahu letak kata itu).
Setidak dari dua hadis tersebut di atas sebagian ulama (katanya mereka adalah dari kalangan Syafi’iyyah) telah menelurkan suatu kaidah berikut:
التزام الأدب مُقدَّم على امتِثال الأمْر
“Mempertahankan adab atau kesantunan terhadap Rasulullah lebih diutamakan daripada mematuhi perintah beliau.”
Kaidah ini –jika benar-benar eksis dalam fiqh Syafi’iyyah– lebih tepat disebut sebagai kaidah Fiqh sehingga tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian kasus (mustatsnayaat).
Sayangnya, setelah melakukan pencarian lebih jauh penulis belum berhasil menemukan referensi kaidah tersebut dalam buku-buku Syafi’iiyah. Penulis berharap ada pembaca yang dapat membantu menunjukkan referensinya. Wallahu a’lam.