I. Metode
Metode yang digunakan secara umum adalah metode bandungan, di mana guru –di hadapan para santri- membaca kitab, santri memberi catatan makna pada kitab. Catatan tersebut umumnya berupa arti kata dan simbol-simbol tertentu yang menandakan kedudukan kata dari sudut bahasa. Cara ini merupakan cara tradisional yang masih amat sangat relevan dan bahkan dalam pengamatan kami membentuk karakter kritis pada santri terhadap aturan bahasa dan maksud redaksi.
Bisa jadi metode ini amat lamban, khususnya ketika diterapkan dalam kajian kitab Fiqh dan Tauhid klasik, mengingat sifat iijaaz (singkat padat) dalam tulisan-tulisan yang berkaitan dengan kedua bidang tersebut. Meskipun begitu cara tersebut di atas adalah yang terbaik kaitannya dengan kekritisan analisa.
II. Jenjang
Jenjang | Penekanan |
---|---|
1. Isti’dadiyyah | Doktrin & Hafalan |
2. Ibtidaiyyah | |
3. Tsanawiyyah | Analisis |
4. Aliyah |
III. Materi
Materi | Kelas | Kitab |
---|---|---|
Baca tulis arab dan kaligrafi | Isti’dadiyyah Ibtidaiyyah |
Buku Intern (Berjenjang) |
Bahasa Arab kosa kata dan penyusunan kalimat | Isti’dadiyyah Ibtidaiyyah |
Buku intern |
Tajwid | Ibtidaiyyah | Buku intern |
Nahwu | V & IV Ibtidaiyyah | Al-Ujrumiyyah |
Tsanawiyyah dan Aliyah |
Qawa’id al-Lughah al-‘Arabiyyah | |
Hukum Islam (Fiqh) | Ibtidaiyyah | Safinah an-Najaah |
Tsanawiyyah | Fath al-Qarib | |
Aliyah | Fath al-Mu’in | |
Hukum Islam (Ushul al-Fiqh) | Tsanawiyyah | Al-Mabadi’ al-Awwaliyyah |
Aliyah | Al-Bayan | |
Hukum Islam (Kaidah) | Aliyah | Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah |
Hukum Islam (Perbandingan) | Tsanawiyyah Aliyah |
Bidayah al-Mujtahid |
Hukum Islam (Ayat-ayat Hukum) | Aliyah | Tafsir Ayat al-Ahkam |
Tauhid | V & VI Ibtidaiyyah | At-Tijan ad-Durari |
Tafsir | V & VI Ibtidaiyyah | Tafsir Yaasiin |
III Tsanawiyyah Aliyah |
Tafsir al-Jalalain | |
Hadis (Riwayah) | IV Ibtidaiyyah | Buku Intern |
I Tsanawiyyah | Al-Arba’in an-Nawawiyyah | |
Tsanawiyyah Aliyah |
Riyadh ash-Shalihin | |
Hadis (Dirayah) | II Tsanawiyyah Aliyah |
Mushtalah al-Hadits |
Akhlak | Ibtidaiyyah | Ta’lim al-Muta’allim |
Sementara itu, selama bulan Ramadhan -sebagaimana layaknya pesantren tradisional lainnya- diadakan aktifitas kajian beberapa kitab kuning yang materinya ditentukan oleh para ustadz.
Di samping pelajaran formal, setiap hari setelah shubuh (kecuali Jum’at shubuh) terdapat kajian nonformal (tidak wajib) terbuka yang dapat dikuti oleh siapa saja yang berminat.
Shubuh Hari | Kitab |
---|---|
Sabtu | Al-Adzkar |
Ahad | Al-Qur’an dan Tafsir |
Senin | Fath al-Qarib |
Selasa | Maw’izhah al-Mu`minin (Mukhtashar al-Ihya’) |
Rabu | Ushul al-Fiqh |
Kamis | Tanbih al-Ghafilin |
IV. Waktu Belajar
Jenjang | Pukul | Keterangan |
---|---|---|
Isti’dadiyyah dan Ibtidaiyyah | 08.00 – 10.30 | Untuk mereka yang di siang hari mengikuti pendidikan umum |
14.30 – 17.00 | Untuk mereka yang di pagi hari mengikuti pendidikan umum | |
Maghrib – Isya’ | Belajar baca Al-Qur’an, kecuali malam Jum’at | |
Tsanawiyyah dan Aliyah | 18.30 – 21.30 | kecuali malam Jum’at dan malam Ahad |
Kajian Kitab | 05.15 – 06.15 | kecuali hari Ahad dan Jum’at |
Kajian Kitab | 18.30 – 20.00 20.00 – 21.30 |
Malam Ahad |
V. Tahun Pelajaran dan Penerimaan
Berbeda dengan kebanyakan lembaga pendidikan pesantren di Jakarta, Pesantren Al Muta’allimin memulai tahun akademiknya pada pertengahan bulan Syawal dan berakhir pada akhir bulan Sya’ban. Meskipun demikian penerimaan santri baru tidak terikat oleh waktu. Calon santri dapat mendaftarkan dirinya kapan saja dan ditempatkan pada jenjang yang sesuai dengan kemampuan keilmuan yang telah dimilikinya, tanpa memandang usia.
VI. Evaluasi
Untuk santri Ibtidaiyyah
- Ulangan mingguan
- Ujian tulis : 2 kali dalam setahun
- Ujian lisan (Imtihan) : sekali dalam setahun
Untuk santri Tsanawiyyah dan Aliyah
- Sebelum proses belajar dimulai, beberapa santri yang ditunjuk secara acak diminta membaca kitab pelajaran sebelumnya.
- Ujian lisan baca kitab tahunan dengan beberapa pertanyaan yang terdiri dari kategori tata bahasa arab dan pemahaman.
VII. Ijazah
Ijazah yang diberikan kepada para santri yang telah menamatkan salah satu jenjang pendidikan bersifat intern. Saat ini ijazah tersebut tidak berlaku bagi lembaga pendidikan lain di luar Pesantren Al Muta’allimin. Sejauh ini kami tidak memiliki keterikatan dengan Kementerian Agama RI -kecuali dalam hal catatan statistik. Ini sama sekali tidak berarti kami tertutup atau bersifat “eksklusif”. Para santri Al Muta’allimin rata-rata mengikuti pendidikan umum (nondisiplin keislaman) di sekolah atau universitas yang berada di Jakarta dan sekitarnya. Kelanjutan pendidikan mereka, khususnya ke perguruan tinggi dapat menggunakan ijazah atau sertifikat yang mereka peroleh dari lembaga lain.
VIII. Fasilitas
Bangunan Pesantren Al Muta’allimin terdiri dari 3 (tiga) gedung dengan luas total 1136 m2, masing-masing gedung A (3 lantai), B (4 lantai) dan C (3 lantai). Sebagai catatan, Pesantren Al Muta’allimin adalah Pesantren tanpa menginap (nonboarding).
IX. Biaya
Sejak awal pendiriannya, pendiri yang juga pewakaf Pesantren Al Muta’allimin telah menegaskan sikapnya bahwa Pesantren Al Muta’alimin bukan lembaga pendidikan yang berorientasi profit. Disiplin dan keseriusan belajar adalah “biaya modal” yang harus dibawa oleh para santri yang datang hendak belajar, baik yang ingin sekedar mampu membaca Al-Qur’an maupun ingin mengkaji kitab klasik. Hingga saat ini, kami tetap berkomitmen Pesantren Al Muta’allimin -layaknya pesantren tradisional- sebagai lembaga pendidikan yang murah sebagaimana yang tercatat dalam sejarah pesantren-pesantren di Indonesia. Biaya yang dipungut tidak lebih hanya dimaksudkan untuk menggerakkan roda operasional Pesantren, termasuk perawatan infrastruktur secara wajar dan tidak berlebihan.
Detail biaya belajar untuk tahun berjalan saat ini dapat diunduh di sini.