Posisi Berdiri Makmum yang Sendirian

Posisi Berdiri Makmum yang Sendirian

I. Hadis terkait

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ بَكْرٍ ، حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ أَبِي صَغِيرَةَ أَبُو يُونُسَ ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ ، أَنَّ كُرَيْبًا ، أخْبَرَهُ ، أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ ، قَالَ : أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ ، فَصَلَّيْتُ خَلْفَهُ ، فَأَخَذَ بِيَدِي ، فَجَرَّنِي ، فَجَعَلَنِي حِذَاءَهُ ، فَلَمَّا أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى صَلاتِهِ ، خَنَسْتُ ، فَصَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لِي : مَا شَأْنِي أَجْعَلُكَ حِذَائِي فَتَخْنِسُ ؟ فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَوَيَنْبَغِي لأَحَدٍ أَنْ يُصَلِّيَ حِذَاءَكَ ، وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ الَّذِي أَعْطَاكَ اللَّهُ ؟ قَالَ : فَأَعْجَبْتُهُ ، فَدَعَا اللَّهَ لِي أَنْ يَزِيدَنِي عِلْمًا وَفَهْمًا , … ( مسند أحمد بن حنبل, ج 1, ص 330, عالم الكتب, بيروت, تحيقق  السيد أبو المعاطي النوري, الطبعة  الأولى ، 1419هـ / 1998 م. –  إسناده صحيح على شرط الشيخين)

“Ibnu Abbas bercerita, aku mendatangi Rasulullah -shalawat dan salam untuknya- di akhir malam. lalu aku shalat di belakangnya. Beliau mengambil tanganku dan menariknya dan membuatku berada di sisinya (maksudnya di sisi sebelah kanan beliau). Ketika beliau mulai masuk shalat, aku mundur. Lalu Rasulullah shalat. Usai shalat, beliau berkata kepadaku,

“Ada apa denganku. Aku posisikan kamu di sisi (setara) denganku lalu kamu mundur?”

Aku menjawab, “Wahai Rasulullah. Apakah layak bagi seseorang shalat sejajar denganmu sementara engkau adalah utusan Allah -subhanahu wa ta’alaa-, di mana Allah -subhanahu wa ta’alaa- telah memberimu (hikmah)[1]?”

Ibnu Abbas berkata, “(jawaban)ku membuatnya senang (atau kagum). Lalu beliau berdoa kepada Allah -subhanahu wa ta’alaa- agar Dia menambahkan ilmu dan kepahaman kepadaku.”  … (hadis masih ada lanjutannya namun terkait masalah lain).”[2]

Berdasarkan hadis ini, para ulama, termasuk kalangan mazhab Malikiyyah, mengatakan bahwa makmum yang sendirian dianjurkan (disunahkan, bukan diwajibkan) mundur sedikit dari posisi imam sebagai bentuk sikap santun terhadap imam (pemimpin).

Posisi mundur ini juga berfungsi untuk membedakan antara mana yang berstatus sebagai makmum dan mana yang berstatus sebagai imam.

Seseorang bisa jadi membantah dengan mengatakan bahwa yang Ibnu Abbas lakukan itu kepada Rasulullah -shalawat dan salam untuknya- karena posisinya sebagai utusan Alah, sebagai Nabi. Dengan demikian maka mundur yang dimaksud hanya terbatas kepada diri Rasulullah saja, tidak terhadap imam shalat lain selain Rasulullah -shalawat dan salam untuknya.

Namun -dalam hemat penulis- cara pandang mayoritas ulama tidak demikian. Para ulama melihat bahwa pujian Rasulullah kepada Ibnu Abbas (yang diwujudkan dalam bentuk mendoakan Ibnu Abbas) merupakan penghargaan terhadap sikap santun dan kesopanan Ibnu Abbas.

Sikap santun terhadap imam shalat inilah -lepas dari masalah apakah imamnya Rasulullah atau bukan- yang menjadi alasan utama beliau mendoakan Ibnu Abbas.

Sebuah sikap santun menghargai pemimpin (imam) shalat.

II. Pendapat Ulama

A. Kalangan Malikiyyah

Bahkan al imam Malik -semoga Allah mengasihinya- yang tidak mensyaratkan posisi makmum di belakang imam sekalipun (selama bisa mengikuti/mengetahui gerakan imam), tetap saja menganjurkan agar makmum berada sedikit di belakang imam. Mereka mengatakan adalah makruh bagi makmum berdiri sejajar dengan imam.[3]

B. Kalangan Syafi’iyyah

Dalam mazhab Syafi’i, juga terdapat anjuran agar makum yang sendirian (berdiri di sebelah kanan) dan mundur sedikit dari imam.

ويندب للمأموم تخلفه عن إمامه قليلا عرفا فيما يظهر استعمالا للأدب وإظهارا لرتبة الإمام عليه ولا يزيد على ثلاثة أذرع (نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج, شمس الدين محمد بن أبي العباس أحمد بن حمزة ابن شهاب الدين الرملي الشهير بالشافعي الصغير, ج 2, ص 187, دار الفكر للطباعة, بيروت, سنة النشر 1404هـ / 1984م)

“Dianjurkan (disunnahkan) bagi makmum untuk mundur sedikit (sedikit dalam pengertian umumnya) berdasarkan zhahir hadis dengan alasan :

  1. mengamalkan kesantunan, dan;
  2. menampakkan posisi imam (sebagai pemimpin),

dengan syarat (mundur ini) tidak melebihi 3 (tiga) dziraa’.” [4]

C. Kalangan Hanabilah

Mazhab Hanabilah juga menganjurkan agar makmum (saat sendirian berdiri di samping kanan imam) dengan posisi agak mundur sedikit.

Berikut keterangan dari salah satu buku fiqh mereka, al-Mubda’ fi Syarh al-Muqna’.

(وَإِنْ كَانَ وَاحِدًا وَقَفَ عَنْ يَمِينِهِ) لِإِدَارَةِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ابْنَ عَبَّاسٍ وَجَابِرًا إِلَى يَمِينِهِ لَمَّا وَقَفَا عَنْ يَسَارِهِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ، وَيُنْدَبُ تَخَلُّفُهُ قَلِيلًا خَوْفًا مِنَ التَّقَدُّمِ، وَمُرَاعَاةً لِلْمَرْتَبَةِ. (المبدع في شرح المقنع, أبو إسحاق إبراهيم بن محمد بن عبد الله بن محمد ابن مفلح، ج 2, ص 91, دار الكتب العلمية، بيروت, الطبعة الأولى، 1418 هـ / 1997 م)

“Jika makmum sendiri maka ia berdiri di sebelah kanan imam karena Rasulullah -shalawat dan salam untuknya- memindahkan Ibnu Abbas dan Jabir ke posisi sebelah kanan beliau saat kedua sahabat tersebut berdiri di sebelah kiri beliau. Demikian sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim.

Dan dianjurkan (disunnahkan) bagi makmum untuk mundur sedikit karena

  1. dikhawatirkan nantinya akan mendahului posisi imam, dan;
  2. karena mempertimbangkan kapasitasnya (baca: sebagai imam atau pemimpin).”[5]

D. Kalangan Hanafiyyah

Sementara dari kalangan Mazhab Hanafi, terdapat Muhammad bin al-Hasan (131 – 189 H) yang juga menyarankan agar makmum yang sendirian berdiri di samping kanan imam (mundur sedikit) dengan meletakkan jari kakinya sejajar dengan tumit imam. Meski pendapat Muhammad ini bukan merupakan pendapat yang dipakai dalam fatwa di kalangan Hanafi. Itu sebabnya yang difatwakan di madzhab Hanafi adalah tidak menyarankan makmum mundur dari imam dalam kondisi makmum sendirian.

Berikut petikan dari buku al-Bahr Ar Ra`iq karangan Ibnu Nujaim al-Mashri (w. 970 H):

وَيَقِفُ الْوَاحِدُ عَنْ يَمِينِهِ وَالِاثْنَانِ خَلْفَهُ ) لِحَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ – أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ صَلَّى بِهِ وَأَقَامَهُ عَنْ يَمِينِهِ – وَهُوَ ظَاهِرٌ فِي مُحَاذَاةِ الْيَمِينِ وَهِيَ الْمُسَاوَاةُ وَهَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ خِلَافًا لِمَا عَنْ مُحَمَّدٍ مِنْ أَنَّهُ يَجْعَلُ أُصْبُعَهُ عِنْدَ عَقِبِ الْإِمَامِ (البحر الرائق شرح كنز الدقائق, ابن نجيم المصري, ج 1, ص 373, دار الكتاب الإسلامي)

“Makmum yang sendiri berdiri di sebelah kanan imam. Sementara dua orang makmum berdiri di belakang imam. Ini didasarkan pada hadis Ibnu Abbas bahwa Rasulullah -shalawat dan salam untuknya- mengimami Ibnu Abbas dan memposisikannya di sisi kanan beliau.

Berdasarkan apa adanya keterangan hadis di atas, ini artinya (makmum) sejajar (dengan imam) di sebelah kanan. Artinya rata. Ini adalah pendapat (yang difatwakan dalam) mazhab (Hanafi). Pendapat ini berbeda dengan riwayat dari Muhammad (bin al-Hasan) yang memposisikan ujung jari kaki makmum sejajar dengan tumit imam.”[6]

III. Standar yang dijadikan acuan dalam mengukur posisi

Lalu apa yang menjadi ukuran atau standar lebih maju dari imam atau mundur atau sejajar?

Para ulama sepakat bahwa yang menjadi standar adalah tumit. Tumit adalah istilah untuk bagian belakang dari telapak kaki.

Artinya, seorang makmum dinilai sejajar dengan imam jika tumit keduanya sejajar. Atau seorang makmum dinilai berada di belakang imam jika tumit makmum berada di belakang tumit imam.

Standar ini berlaku pada saat berdiri. Sementara sebagian ulama menambahkan juga berlaku saat rukuk. Berikut kutipan dari Wahbah az-Zuhayli [7]-semoga Allah memberikan manfaat ilmunya kepada kita :

والعبرة في ذلك التقدم بالعقب، فإن تقدمت أصابع المقتدي لكبر قدمه على قدم الإمام، ما لم يتقدم أكثر القدم، صحت صلاته. (الفِقْهُ الإسلاميُّ وأدلَّتُهُ, أ. د. وَهْبَة بن مصطفى الزُّحَيْلِيّ، ج 2و ص 1247, دار الفكر, دمشق, الطبعة الرَّابعة المنقَّحة المعدَّلة بالنِّسبة لما سبقه)

“Yang menjadi pertimbangan dalam mendahului posisi imam adalah bagian tumit. (Artinya) jika jari kaki makmum -karena telapak kakinya yang panjang- ternyata lebih maju dari telapak kaki imam (tetapi tumitnya tetap di belakang tumit imam) maka shalat makmum tetap sah selama sebagian besar telapak kaki makmum tidak lebih maju dari telapak kaki imam.” [8]

IV. Kesimpulan

Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah makmum yang sendirian berdiri di sebelah kanan imam secara sejajar atau mundur sedikit dari posisi imam.

Mayoritas ulama, kecuali kalangan Hanafiyyah, menganjurkan atau menyunahkan agar makmum yang shalat sendirian berdiri di sisi kanan imam dengan mundur sedikit. Sementara mazhab Hanafi berpendapat posisi makmum di sebelah kanan imam tepat sejajar, tidak mundur atau maju.

Meski demikian, semua ulama sepakat bahwa apapun praktek yang dilakukan oleh makmum dalam masalah ini -sejajar atau mundur- tidak berefek sama sekali dengan sah tidaknya shalat.

Mayoritas mereka juga sepakat bahwa makmum harus berada di belakang imam dan tidak boleh berada di depan imam saat ia tidak sendirian, kecuali pendapat Malikiyyah yang menyatakan bahwa makmum boleh berada di depan imam, meski tidak dalam kondisi darurat, dengan syarat dapat mengetahui gerak-geriknya

——————————————–

  1. Semua teks yang berada dalam kurung dalam tulisan ini adalah tambahan dari penulis sendiri.
  2. Musnad Ahmad, jil. 1, hlm. 330, Alam al-kutub, Beirut, cet. I, tahqiq As Sayyid Abul Mu’athi An Nuri. Status hadis : shahih berdasarkan kriteria al-Bukhari dan Muslim.
  3. Lihat kutipan pendapat imam Malik -sang pembela Sunnah- dalam buku at-Taj wa al-Iklil li Mukhtashar Khalil, Muhammad bin Yusuf, seorang ulama Maliki, wafat tahun 1491 M/897 H, jil. 2, hlm. 147. Keterangan bahwa sejajar dengan imam adalah makruh -dalam mazhab maliki- bisa dilihat di Mawahib al-Jalil, jil. 5, hlm. 21.
  4. Nihayah al-Muhtaj, Syihabuddin ar-Ramli (w. 1004 H), jil. 2, hlm. 187. Dar al-Fikr, Beirut, th. 1404 H/1984 M. Dziraa‘ adalah satuan unit panjang di masa lalu. 1 dziraa‘ lebih kurang setara dengan 46,2 cm.
  5. Al-Mubda’ fi Syarh al-Muqna’, Abu Ishaq, jil. 2, hlm. 91, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1418 H/1997 M.
  6. Al-Bahr ar-Ra`iq Syarh Kanz ad-Daqa`iq, Ibn Nujaym al-Mashri, jil. 1, hlm. 373, Dar al-Kitab al-islami.
  7. Beliau adalah seorang ahli fiqh asal Damaskus, Syria, lahir 1932 M, merupakan ulama senior yang disegani dalam disiplin fiqh di era modern saat ini.
  8. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Wahbah ibn Mushthafa az-Zuhayli, jil. 2, hlm. 1247, Dar al-Fikr, Damaskus, cet. IV dari versi revisi.

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلا خَمْسَةٍ إِلا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْثَرَ إِلا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia adalah yang keempatnya. Dan tidak ada (pembicaraan antara) lima orang, kecuali Dia adalah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang atau lebih banyak dari itu melainkan Dia pasti ada bersama mereka di mana saja mereka berada. (Q.S. Al-Mujadilah, 7)