I. Latar Belakang Pendirian
Cikal bakal Pesantren Al Muta’allimin muncul di tahun 1970, dimulai dengan pendidikan belajar membaca Al-Qur`an yang diasuh oleh almarhum K.H. Zanuddin Abrori, yang juga pendiri sekaligus pewakaf Pesantren Al Muta’allimin, bersama istri beliau Hj. Hidayah binti Sholeh Bin Yahya.
Pesantren Al Muta’allimin berdiri –di samping sebagai perwujudan atas permintaan sebagian individu masyarakat yang mulai mempunyai kesadaran agamis serta dukungan guru– diilhami oleh pertimbangan kondisi masyarakat sekitar pada masa itu, di mana dalam kehidupan hariannya dipenuhi oleh kebiasaan-kebiasaan tidak islami seperti meminum minuma keras, judi, menyabung ayam, perbuatan mesum dan kemaksiatan lainnya.
Pemberian nama “Al Muta’allimin” diambil dari nama sebuah pesantren di mana beliau pernah belajar dahulu, yaitu pesantren Ribath Al Muta’allimin (Pekalongan). Penamaan ini, di samping sebagai wujud penghormatan murid kepada guru, juga merupakan bentuk kesinambungan hubungan garis intelektual yang memiliki makna tersendiri dalam jiwa santri dan tradisi pesantren.
Pada bulan Mei tahun 1983, lembaga pendidikan Pesantren Al Muta’allimin resmi disahkan berdasarkan akte notaris dengan fasilitas 3 blok tanah berstatus wakaf dengna total luas sebanyak 1136 m2.
Pada tahun 1999, KH. Zainuddin Abrori, pendiri dan pengasuh Pesantren Al Muta’allimin wafat. Kepengasuhan selanjutnya diamanahkan kepada oleh putra sulungnya, al-ustadz H. Muhammad Faishol Lc., M.A.
فالفضل للمبتدئ وإن أحسن المقتدى
II. Karakteristik
Setiap pesantren memiliki ciri khas tersendiri yang biasanya sangat dipengaruhi oleh kecenderungan fakultas intelektual dan wawasan (cara pandang) pengasuhnya. Ciri khas Pesantren Al Muta’allimin –yang membedakannya dari umumnya pesantren di Jakarta– ialah kepeduliannya yang serius terhadap kajian keislaman klasik dan terkini serta usaha pengejawantahannya dalam kondisi budaya yang dinamis. Ide tersebut diwujudkan dengan memberikan pendidikan agama dasar dan mengkaji kitab-kitab kuning (kutub at-turats) yang disusun oleh pengarang-pengarang senior di bidangnya.
Pesantren Al Muta’allimin meyakini bahwa kitab-kitab klasik (kutub at-turats) sangat kaya dengan khazanah inteletual muslim dari pelbagai fakultas, bahkan -dalam konteks kekinian- digunakan sebagai referensi penting dalam pengambilan keputusan/fatwa, khususnya dalam ekonomi syariah dan wacana syariah lainnya yang sedang berkembang.
Pesantren sangat sadar bahwa berkonsentrasi dalam pendidikan sejenis ini memerlukan keberanian moral di tengah-tengah “kesibukan” masyarakat sekarang. Disebut dengan keberanian moral karena pendidikan Pesantren Al Muta’allimin tidak menawarkan pendidikan as usual yang –biasanya dianggap– dapat menjamin masa depan secara finansial.
Keberadaan Pesantren Al Muta’allimin dengan karakteristiknya ini semakin menambah keragaman sistem pendidikan yang ditawarkan oleh pesantren-pesantren di Jakarta. Keragaman ini tentu memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk menentukan pilihan pendidikan yang layak bagi diri dan putra-putrinya. Keragaman adalah fakta sunnatullah yang tidak bisa ditolak atau bahkan dihindari. Penyeragaman sistem pendidikan adalah tidak menguntungkan bagi pengembangan kreatifitas, bakat, dan pemikiran anak didik.
Dalam skala nasional, Pesantren Al Muta’allimin tidak sendirian. Di daerah-daerah lain banyak dijumpai sistem pendidikan yang serupa yang sering disebut oleh masyarakat dengan istilah pesantren tradisional.
Penggunaan kata “tradisional” ini biasanya mengacu kepada materi dan metode pendidikan keislamannya yang bersifat klasik, serta sarana fisik yang relatif sederhana. Namun, Pesantren Al Muta’allimin berusaha menjauhkan istilah “tradisional” dengan konotasi yang terakhir. Sarana fisik merupakan hal penting kaitannya dengan mengangkat citra lembaga pendidikan disiplin keislaman dalam konteks persaingan sehat dengan lembaga pendidikan nondisiplin keislaman lainnya.
Kata “tradisional” bagi Pesantren Al Muta’allimin dimaknai bahwa Pesantren tidak menyediakan pendidikan umum nondisiplin keislaman dalam lembaganya sendiri. Biar bagaimanapun, Pesantren Al Muta’allimin menyakini bahwa metode pengajaran, semangat belajar, dan kehandalan pendidik adalah tiga hal penting yang saling terkait untuk menggapai target mutu keilmuan santri. Karenanya, sarana fisik harus dipahami sebagai media, bukan tujuan.
III. Visi dan Misi
Visi Pesantren Al Muta’allimin adalah dakwah islamiah membentuk masyarakat islami. Sementara misinya adalah mendidik moral spiritual Islam dan mengkaji pemikiran keislaman klasik serta modern sebagai jawaban yang ashlah (lebih sesuai).
IV. Target
Terdapat dua kategori target, Umum dan Khusus.
- Target Umum : menjadikan para santri berperilaku baik dalam pengertian standar.
- Target Khusus : mencetak mereka sebagai pemikir-pemikir muslim yang handal dengan bermodalkan kemampuan pemahaman mereka terhadap khazanah keilmuan Islam klasik serta mampu memberikan solusi islami terbaik untuk masalah-masalah yang dihadapi umat yang semakin kompleks.
Setiap target di atas diwujudkan dalam bentuk tahapan-tahapan pendidikan selayaknya.
V. Hubungan dengan Masyarakat
Sejak awal berdirinya, Pesantren Al Muta’allimin tidak dapat melepaskan diri dari peranan masyarakat sekitarnya. Dukungan yang selama ini diberikan masyarakat amat ketara dan menjadi hal paling penting bagi eksistensi dan keberlanjutannya. Berdirinya beberapa bangunan Pesantren di atas tanah wakaf merupakan hasil jerih payah para santri di era awal dan masyarakat sekitar. Upaya gotong royong antara masyarakat sekitar dan para santri Pesantren berhasil menciptakan sinergi luar biasa sehingga infrastruktur Pesantren dapat terwujud.
Hubungan yang bersifat koordinatif partisipatif berjalan sejak awal pendirian hingga saat ini. Hubungan ini merupakan hubungan yang amat membanggakan dan menjadi kekuatan tersendiri bagi dakwah islamiyyah, khususnya untuk masyarakat di wilayah Kemandoran Pluis.
Hubungan yang dibangun ini menjadi hubungan simbiosis mutualisme. Di satu sisi Pesantren Al Muta’allimin memberikan pendidikan displin ilmu keislaman dan pendidikan akhlak. Sedangkan hubungan timbal balik yang diberikan oleh masyarakat kepada Pesantren Al Muta’allimin adalah pemberian dukungan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan, baik dalam bentuk material dan imaterial.
Dengan demikian, tidak berlebihan jika ditulis bahwa Pesantren Al Muta’allimin dan fasilitasnya -dengan status wakafnya- benar-benar dimiliki oleh masyarakatnya.
Pelajaran penting yang dapat dipetik dari hubungan ini adalah bahwa kepercayaan masyarakat kepada Pesantren Al Muta’allimin menjadi hal penting yang harus dijaga dan menjadi prioritas yang harus diperhatikan oleh pihak Pesantren.
VI. Tantangan
Apapun yang kita rencanakan dan kerjakan pasti menghadapi tantangan. Bagi pesantren Al Muta’allimin -dan mungkin juga bagi pesantren-pesantren lain dengan model yang sama, tantangan utama yang amat dirasakan adalah rendahnya minat masyarakat untuk menggali, mengkaji, mendiskusikan dan mengkritisi disiplin keilmuan Islam, khususnya khazanah keilmuan klasik yang kaya dengan pemikiran-pemikiran cerdas cendekia muslim dalam segala bidang.
Hal di atas berakar pada kuatnya persepsi di mana pendidikan nonkeagamaan dianggap lebih memberikan jaminan “masa depan finansial” daripada pendidikan displin ilmu keislaman. Persepsi ini tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Diperlukan suatu penjelasan komprehensif untuk mendudukkan masalah ini pada tempatnya yang benar.
Pesantren Al Muta’allimin menyadari sepenuhnya kondisi tersebut, namun kami harus menentukan pilihan untuk lebih suka meletakkan “pengetahuan (knowledge) dan hikmah” di atas segalanya. Kami meyakini Allah SWT selalu memberikan taufik sehingga spirit kami tidak menjadi luntur saat berhadapan dengan “fenomena zaman”.