Urgensi Doa di Tengah Takdir Allah

Urgensi Doa di Tengah Takdir Allah

Apa fungsi doa sementara keputusan Allah (qadha`) tidak bisa dihindari dan pasti terjadi? Pertanyaan ini sering terlintas di benak banyak muslim. Tulisan ini mencoba menjawab mengapa doa tetap urgen meski segalanya sudah diatur dan ditakdirkan oleh Allah subhanah.

1. Doa sebagai bagian dari takdir

Al Ghazaliy menjelaskan, penghindaran musibah atau yang hal yang tidak diinginkan dengan cara berdoa adalah bagian dari keputusan Allah (qadhaa`) itu sendiri. Al Ghazaliy bermaksud bahwa pertanyaan di atas dibangun di atas asumsi bahwa berdoa bukan bagian dari takdir. Asumsi ini tidak benar. Ketika kita berdoa maka tindakan berdoa kita juga bagian dari takdir atau keputusan Allah (qadha`).

2. Doa adalah bagian dari hukum alam sebab akibat

Berdoa adalah bagian dari fenomena hukum sebab akibat. Berdoa adalah sebab yang mengakibatkan musibah terhindar dan kasih sayang Allah subhanah turun. Fungsinya sama dengan fungsi perisai atau fungsi air yang menjadi sebab perlindungan diri dari senjata atau sebab kemunculan tumbuh-tumbuhan.

Tidak menyirami sawah setelah penyebaran bibit bukan merupakan syarat penerimaan kita tentang keberadaan takdir. Tidak mengangkat senjata untuk berjihad bukan merupakan syarat pengakuan kita terhadap eksistensi takdir. Perhatikan firman Allah subhanah berikut,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا (النساء : 71)

Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kalian, dan majulah (ke medan perang) secara berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!” (An Nisaa`: 71)
Perhatikan ayat ini yang tetap memerintahkan orang yang beriman mengangkat senjata di tengah-tengah kepercayaan mereka bahwa segalanya telah diatur oleh garis takdir.

Ketika Allah menetapkan bahwa manusia bernama X akan lahir dan eksis di muka bumi pada tahun 2008 maka dalam waktu yang bersamaan Allah juga menetapkan proses sebab akibat keberadaan si X.

3. Doa adalah bentuk penghambaan tertinggi

Berdoa adalah model penghambaan yang tertinggi. Tangan menjulur ke atas memohon kepada Allah SWT merupakan bentuk penghambaan dan pengakuan yang paling ketara bahwa manusia adalah hamba sedangkan Allah SWT adalah Dzat Maha Kaya, Kuat dan Mulia.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ (سنن الترمذي ج: 5 ,ص: 456)[1]

Jika kata “‘ibadaah” dalam hadis riwayat Anas di atas diterjemahkan “penghambaan” maka hadis ini selengkapnya berarti: “Doa adalah otak bagi (segala) bentuk penghambaan.

Berdoa dianalogikan dengan otak karena keduanya inti kesadaran. Berdoa adalah bentuk kesadaran manusia bahwa ia lemah dalam pemenuhan keinginan dan kebutuhannya, sedangkan Allah memiliki segalanya. Kesadaran tersebut terlihat ketara dalam praktek berdoa, saat tangan menengadah ke atas memohon.

– Penghambaan dan kesadaran ketidakmampuan yang diwujudkan dengan cara berdoa adalah hal yang disukai oleh Allah subhanah . Rasulullah –keagungan dan kedamaian untuknya– bersabda,

سَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ أَنْ يُسْأَلَ وَأَفْضَلُ الْعِبَادَةِ انْتِظَارُ الْفَرَجِ (سنن الترمذي ج: 5 ,ص: 565)[2]

Mintalah kepada Allah sebagian anugerahnya. Sesungguhnya Allah –’azza wa jalla– suka dimintai. Dan ibadah terbaik adalah berharap selamat dari kesulitan (al faraj).

4. Doa adalah bagian dari terapi kejiwaan

Saat berhadapan dengan kesulitan, secara psikologis manusia mencari ketenangan batin. Mengingat rasa ketuhanan adalah fithrah maka Tuhan menjadi tempat pelarian penyelesaian masalah. Itu sebabnya mengapa doa sering kali menjadi penting bagi manusia secara umum. Dengan bahasa lain, doa membangun rasa optimis di tengah-tengah kesulitan dan rintangan hidup.

وَإِذَا أَنْعَمْنَا عَلَى الْإِنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَى بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُو دُعَاءٍ عَرِيضٍ (فصلت :51)

Dan ketika Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling (tidak bersyukur) dan menjauhkan diri, namun ketika ia ditimpa malapetaka ia banyak berdoa.

Ayat 51 Fushshilat ini tidak bertentangan dengan ayat 49 di surat yang sama yang artinya, “… dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa serta putus harapan.” (Qs. Fushshilat: 49)

Sebagaimana dijelaskan oleh An Nasafi, ayat 49 berkaitan dengan sekelompok manusia yang berbeda dengan sekelompok manusia yang disinggung oleh ayat 51.

Ayat 51 Fushshilat ini setidaknya menunjukkan bahwa ada sekelompok orang –yang meskipun tidak sensitif dan cerdas mensyukuri dan menyikapi nikmat Allah- yang saat dirundung petaka atau masalah masih mempunyai asa dan harapan yang dimanisfestasikan dalam bentuk doa.

Dari sisi pandang psikologi, berdoa kepada Allah dapat diartikan sebagai bagian dari usaha membangun rasa optimis. Rasa optimis ini yang kemudian menciptakan kesabaran untuk bertahan di tengah kesulitan. Kesabaran tidak pernah dimiliki oleh mereka yang pesimis (yauus qanuuth)

Dengan sederhana hubungan antara doa, optimis dan kesabaran dapat digambarkan sebagai berikut

Doa —membangun—> Optimis —melahirkan–> Kesabaran/kesiapan mental

 

“Optimistis” adalah ibadah terbaik

Hal yang menarik dalam masalah berdoa ini adalah apa yang disabdakan oleh Rasulullah –keagungan dan kedamaian untuknya– yang sudah ditutur di atas bahwa,

وَأَفْضَلُ الْعِبَادَةِ انْتِظَارُ الْفَرَجِ (سنن الترمذي ج: 5 ,ص: 565)

Ibadah terbaik adalah berharap selamat dari kesulitan (al faraj).”

Sabda ini mengandung pesan bahwa asa akan bebas atau selamat dari kesulitan (baca: sikap optimistis) dinilai sebagai ibadah terbaik. Sehubungan dengan sabda di atas Al Mubarkafuriy menjelaskan,

وأفضل العبادة انتظار الفرج أي ارتقاب ذهاب البلاء والحزن بترك الشكاية إلى غيره تعالى وكونه أفضل العبادة لأن الصبر في البلاء انقياد للقضاء (تحفة الأحوذي ج: 10 ,ص: 17)

Ibadah terbaik adalah menunggu dan berharap lolos dari kesulitan (al faraj).” Maksudnya, mengharapkan bencana atau kesulitan hilang dengan cara tidak mengeluh kepada selain Allah SWT. Mengenai mengapa itu dinilai sebagai ibadah terbaik karena kesabaran di tengah musibah/bencana adalah ketundukan terhadap takdir Allah.”

Dalam penungguan penuh harap akan hilangnya kesulitan ini terdapat makna optimistis.
Lalu mengapa itu dinilai sebagai ibadah terbaik? Jawabnya, karena tidak mengeluh kepada selain Allah adalah bentuk kesabaran. Kesabaran menghadapi musibah adalah bagian dari ketundukan kepada keputusan (qadha`) Allah. Ketundukan pada keputusan Allah adalah bukti penghambaan total. Itu sebabnya mengapa berharap menunggu datangnya keselamatan (dari Allah melalui anugerahNya) atau dalam bahasa lain tetap optimistis dan sabar di tengah kesulitan dengan meminta anugerah atau kasih sayangNya disebut sebagai ibadah terbaik.

Sebagian ulama menilai pada hakikatnya predikat “ibadah terbaik” diberikan bukan karena optimistisnya, tetapi karena kesabaran menghadapi kesulitan dengan cara tidak mengeluh kepada selain Allah subhanah.

Sementara itu, dalam hemat penulis, optimistis dan kesabaran adalah korelasi yang tidak dapat dipisahkan (talaazum).

Catatan kaki:

[1] At Tirmidzi menilai hadis ini ghariib karena hadis ini hanya memiliki satu sanad atau wajh, yaitu sanad Ibnu Lahi’ah.
[2] At Tirmidzi menilai hadis (riwayat Hammad bin Waqid) ini dha’if. Hadis yang sama dari jalur Abu Nu’aym “lebih shahih”. Penilaian “lebih shahih” dalam terminologi hadis tidak dapat dipahami serta merta sebagai shahih dalam arti valid.


أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلا خَمْسَةٍ إِلا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْثَرَ إِلا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia adalah yang keempatnya. Dan tidak ada (pembicaraan antara) lima orang, kecuali Dia adalah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang atau lebih banyak dari itu melainkan Dia pasti ada bersama mereka di mana saja mereka berada. (Q.S. Al-Mujadilah, 7)