Dinamika Internal Sebuah Mazhab Fikih
Mazhab fikih dalam tradisi Islam bukanlah entitas yang statis dan beku. Sejak kelahirannya, setiap mazhab, termasuk Mazhab Syafi’i yang “didirikan” oleh imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204 H/767-820 M), mengalami proses perkembangan, pematangan, dan sistematisasi yang dinamis. Proses ini digerakkan oleh para ulama penerus sang imam pendiri dari generasi ke generasi. Untuk memahami evolusi pemikiran dan, yang terpenting, untuk menentukan mana pendapat yang paling otoritatif (al-mu’tamad) dalam mazhab, para ulama menyusun sebuah sistem klasifikasi historis dan metodologis yang dikenal sebagai Thabaqat (tingkatan atau lapisan generasi).
Klasifikasi yang paling fundamental dalam Mazhab Syafi’i adalah pembagian ulama ke dalam dua era besar: Al-Mutaqaddimun (المتقدمون) atau generasi awal, dan Al-Muta`akhkhirun (المتأخرون) atau generasi akhir. Pembagian ini bukan sekadar penanda waktu, melainkan sebuah cerminan dari perbedaan corak, fokus, dan metodologi dalam berinteraksi dengan warisan fikih imam al-Syafi’i. Tulisan ini akan mengupas secara sistematis mengenai kedua periode ini, mulai dari batasan definisinya, tokoh-tokoh kuncinya, karakteristiknya, hingga implikasinya dalam praktik fatwa dan studi fikih Syafi’i kontemporer.
1. Di Mana Batas Antara Mutaqaddimun dan Muta`akhkhirun?
Menentukan garis demarkasi yang pasti antara kedua era ini bukanlah perkara mudah, dan para ulama memiliki sedikit perbedaan pandangan. Namun, konsensus umum menempatkan titik transisi ini di sekitar penghujung akhir abad ke-4 Hijriah atau permulaan abad ke-5 Hijriah (sekitar tahun 400-an Hijriyyah).
Batas ini tidak ditentukan secara acak. Ia ditandai oleh perubahan metodologis yang signifikan dalam tubuh mazhab. Banyak sejarawan fikih (mu`arrikh) menjadikan wafatnya ulama besar sebagai penanda. Salah satu figur yang paling sering disebut sebagai “jembatan” atau penutup era Mutaqaddimun dan pembuka era Muta`akhkhirun adalah Hujjah al-Islam imam al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M).
Mengapa imam al-Ghazali? Karena beliau, bersama gurunya, imam al-Haramain al-Juwaini (419-478 H/1028-1085 M), memperkenalkan metode tahqiq (verifikasi mendalam) dan mengintegrasikan disiplin ilmu Ushul Fiqh dan Manthiq (logika) secara lebih matang ke dalam analisis fikih. Karya-karya mereka seperti Al-Basith, Al-Wasith, dan Al-Wajiz oleh al-Ghazali, menjadi fondasi bagi cara kerja ulama Muta`akhkhirun yang lebih fokus pada analisis, perbandingan, dan penyaringan pendapat yang sudah ada, ketimbang melahirkan pendapat-pendapat (wajh/wujuh) baru secara masif.
2. Era Mutaqaddimun: Peletakan Fondasi dan Pengembangan Awal (Hingga ~400 H)
Era Mutaqaddimun adalah fase formatif mazhab. Fase formatif mazhab adalah periode awal pembentukan dan kristalisasi metodologi hukum dalam mazhab-mazhab fiqh Islam. Ini adalah fase ketika para imam mujtahid merumuskan prinsip-prinsip ushul fiqh, menetapkan kaidah istinbath hukum, dan membangun kerangka epistemologis mazhab mereka.
Ciri-ciri Fase Formatif Mazhab
“Fase formatif mazhab” merujuk pada periode awal pembentukan dan kristalisasi metodologi hukum dalam mazhab-mazhab fiqh Islam. Ini adalah fase ketika para imam mujtahid merumuskan prinsip-prinsip ushul fiqh, menetapkan kaidah istinbath hukum, dan membangun kerangka epistemologis mazhab mereka.
Pada fase ini:
- Mazhab belum sepenuhnya mapan atau dibakukan.
- Masih terjadi perdebatan intens tentang sumber hukum, validitas Qiyas, Istihsan, ‘Amal ahli Madinah, dan lainnya.
- Para murid imam mazhab ikut menyumbang dalam pengembangan metodologi, bukan sekadar menyalin pendapat.
Contoh: Imam al-Syafi’i awalnya belajar pada imam Malik, lalu menyusun metodologi sendiri dalam bukunya, al-Risalah, yang menjadi fondasi Ushul Fiqh-nya.
Aspek | Penjelasan |
Periode waktu | Abad ke-2 hingga awal abad ke-4 Hijriyyah |
Aktivitas utama | Ijtihad, kodifikasi hukum, penyusunan Ushul Fiqh, dan debat antar ulama |
Tokoh sentral | Imam Abu Hanifah, imam Malik, imam al-Syafi’i, dan imam Ahmad bin Hanbal |
Konteks sosial | Perluasan wilayah Islam, interaksi lintas budaya, kebutuhan hukum baru |
Produk utama | Kitab-kitab Fiqh dan Ushul Fiqh awal seperti al-Umm, al-Muwaththa`, dan lain-lain. |
Dalam konteks mazhab Syafi’i, para ulama Syafi’iyyah di periode ini adalah murid-murid langsung dari imam al-Syafi’i atau murid dari murid-muridnya. Fokus utama mereka adalah menukil, memahami, dan menyebarkan ajaran sang imam, sekaligus menerapkan prinsip dan sistematika ijtihad (ushul) yang telah dirumuskannya untuk menjawab persoalan-persoalan baru.
Karakteristik Era Mutaqaddimun
Karakteristik | Penjelasan |
Transmisi Langsung | Banyak dari pendapat mereka didasarkan pada riwayat langsung dari imam al-Syafi’i melalui kitab-kitabnya seperti Al-Umm dan Ar-Risalah. |
Lahirnya Ash-hab al-Wujuh | Ini adalah ciri khas utama. Ash-hab al-Wujuh adalah para ulama yang melakukan takhrij, yaitu melahirkan beberapa kemungkinan pendapat atau “wajh” (wujuh) dari satu kaidah atau pernyataan imam al-Syafi’i. Akibatnya, pada era ini, mazhab menjadi sangat kaya dengan berbagai variasi pendapat. |
Fokus pada Dalil | Meskipun terikat dengan ushul imam al-Syafi’i, diskusi mereka masih sangat kental dengan argumentasi berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah secara langsung. |
Tokoh-tokoh Kunci Mutaqaddimun
Karakteristik | Penjelasan |
Generasi Pertama (Murid Langsung) | Imam al-Muzani (175-264 H/791-878 M), penyusun Mukhtashar al-Muzani yang menjadi teks inti mazhab selama berabad-abad; imam al-Rabi’ al-Muradi (174–270 H/790-884 M), perawi utama kitab Al-Umm; dan imam al-Buwaithi (w. 231 H/864 M). |
Generasi Berikutnya | imam Ibnu Suraij (249-306 H/863-908 M), yang dijuluki “al-Syafi’i kecil”; al-Qaffal as-Shaghir al-Mawarzi (±327-417 H/±939-1026 M); imam al-Mawardi (364–450 H/974-1058 M), penulis al-Hawi al-Kabir; dan imam Abu Ishaq al-Syirazi (393-476 H/1003-1083 M), penulis al-Muhadzdzab. |
Pada akhir era ini, khazanah fikih Syafi’i telah berkembang pesat, namun juga dipenuhi dengan begitu banyak wujuh dan riwayat pendapat yang terkadang saling bertentangan, sehingga membutuhkan sebuah gerakan sistematisasi.
3. Era Muta`akhkhirun: Kodifikasi, Verifikasi, dan Pematangan Mazhab (Setelah ~400 H)
Memasuki era Muta`akhkhirun, tugas para ulama bergeser. Mereka tidak lagi fokus memperbanyak wujuh, melainkan “membersihkan rumah” mazhab. Misi utama mereka adalah melakukan tanqih (penyaringan), tahqiq (verifikasi), dan tarjih (memilih pendapat terkuat) dari seluruh korpus fikih yang diwariskan oleh generasi Mutaqaddimun. Era ini adalah era kodifikasi dan stabilisasi.
Karakteristik Era Muta`akhkhirun
Karakteristik | Penjelasan |
Fokus pada Tarjih dan Tanqih | Aktivitas intelektual utama adalah membandingkan berbagai pendapat yang ada, menganalisis kekuatan dalilnya, dan menetapkan mana yang menjadi rajih (unggul), ashahh (paling sahih), atau mu’tamad (pegangan resmi). |
Lahirnya Kitab Mutn dan Syarh | Era ini melahirkan kitab-kitab ringkasan (matan atau mukhtashar) yang berisi kesimpulan hukum, yang kemudian diuraikan secara detail dalam kitab-kitab komentar (syarh) dan super-komentar (hasyiyah). |
Finalisasi Mazhab | Pendapat-pendapat yang dihasilkan pada era ini, terutama oleh figur-figur puncaknya, dianggap sebagai kata akhir dalam mazhab untuk keperluan fatwa dan peradilan. |
Padanan Istilah Syarh dan Hasyiyah
Arab | Indonesia | Inggris | Penjelasan |
الشرح |
|
| Karya yang menjelaskan teks pokok (matn) secara sistematis dan mendalam |
الحاشية |
|
| Karya yang memberi komentar atas penjelasan sebelumnya (syarh), bersifat tambahan atau kritik |
Perbedaan antara Syarh dan Hasyiyah
Aspek | Syarh (الشرح ) | Hasyiyah (الحاشية ) |
Definisi | Penjelasan langsung terhadap teks matn (naskah pokok) | Komentar terhadap kitab syarh, bukan langsung ke matn |
Objek kajian | Kitab matn (misalnya: Matn Abi Syuja’ [al-Taqrib]) | Kitab syarḥ (misalnya: Fath al-Qarib) |
Tujuan utama | Menjelaskan, merinci, mengoreksi, dan menyusun dalil hukum | Memberi catatan tambahan, kritik, atau penjelasan atas penjelasan |
Kedalaman analisis | Biasanya lebih sistematis dan menyeluruh | Lebih fragmentaris, kadang berupa catatan pinggir atau tambahan |
Contoh ulama | Ibnu Qasim al-Ghazzi (Fath al-Qarīb) | Ibrahim al-Bajuri (Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib) |
Tokoh-tokoh Kunci Muta`akhkhirun:
Puncak dari era Muta`akhkhirun berada di tangan dua imam yang karya-karyanya menjadi pilar utama mazhab Syafi’i hingga kini. Mereka dikenal dengan julukan kehormatan “al-Syaikhan” (Dua Orang Syaikh):
al-Syaikhan | Masa Hidup | Karya |
1. Imam Abu al-Qasim al-Rafi’i | 555-623 H/1160-1226 M | Dinilai sebagai muharrir (redaktor) pertama mazhab. Karyanya yang monumental, Fath al-‘Aziz Syarh al-Wajiz dan Al-Muharrar, menjadi rujukan utama dalam menyaring pendapat-pendapat sebelumnya. |
2. Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi | 631-676 H/1233-1277 M | Dinilai sebagai munaqqih (penyaring) dan muhaqqiq (verifikator) ulung mazhab Syafi’i. Karyanya, seperti Minhaj al-Thalibin (yang merupakan ringkasan dari Al-Muharrar karya al-Rafi’i), Raudhah al-Thalibin, dan al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, menjadi standar emas dalam penentuan pendapat mazhab. |
Setelah al-Syaikhan, ulama-ulama besar melanjutkan kerja mereka dengan menjadikan karya keduanya sebagai acuan. Di antara yang terpenting adalah:
Nama | Masa Hidup | Karya |
Syaikh al-Islam Zakariyya al-Anshari | 824-926 H/1421-1520 M | Gurunya para ulama besar di masanya. |
Imam Ibnu Hajar al-Haitami | 909-974 H/1503-1566 M | Penulis Tuhfah al-Muhtaj, sebuah syarh atas Minhaj al-Thalibin yang menjadi pegangan utama kalangan Syafi’iyyah di Hadhramaut, Yaman, Asia Tenggara (termasuk Indonesia), dan sebagian wilayah lainnya. |
imam Syams al-din al-Ramli (w. 1004 H) | 919-1004 H/1513-1596 M | Penulis Nihayah al-Muhtaj, syarh lain atas Minhaj al-Thalibin yang menjadi pegangan utama di Mesir, Syam, dan sekitarnya. |
4. Implikasi Klasifikasi: Penentuan Pendapat Mu’tamad
Pemahaman atas klasifikasi ini memiliki implikasi praktis yang sangat penting, yaitu dalam menentukan al-Mu’tamad (الـمُعتمد), atau pendapat yang menjadi pegangan resmi mazhab. Dalam praktik fatwa, seorang mufti atau penuntut ilmu di kalangan Syafi’iyyah memiliki aturan main dalam mengutip pendapat dari kitab mana pun. Ada hierarki otoritas yang harus diikuti:
- Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhan (imam al-Nawawi dan imam al-Rafi’i) adalah tingkatan mu’tamad tertinggi.
- Jika keduanya berbeda pendapat, maka yang didahulukan adalah pendapat imam al-Nawawi.
- Jika suatu masalah tidak dibahas tuntas oleh al-Nawawi, maka merujuk pada pendapat al-Rafi’i.
- Untuk masalah-masalah yang lebih detail atau kasus-kasus di mana terjadi perbedaan dalam menafsirkan pandangan al-Syaikhan, maka pandangan imam Ibnu Hajar al-Haitami dan imam al-Ramli menjadi rujukan akhir.
Dengan demikian, pendapat seorang ulama Mutaqaddimun, sekalipun sekaliber imam al-Muzani, akan “tergeser” statusnya sebagai pegangan fatwa jika ulama Muta`akhkhirun, khususnya imam al-Nawawi, telah melakukan tarjih dan memilih pendapat lain yang dianggapnya lebih kuat. Ini bukan berarti meremehkan ulama terdahulu, melainkan sebuah proses pematangan, penstabilan, dan menjaga “keajegan” kerangka berpikir mazhab secara ilmiah dan sistematis.
Kesimpulan
Klasifikasi ulama Syafi’iyyah menjadi Mutaqaddimun dan Muta`akhkhirun adalah kunci untuk membuka peta pemikiran dalam mazhab Syafi’i. Era Mutaqaddimun adalah era peletakan fondasi yang kaya akan ijtihad dan pengembangan awal. Sementara itu, era Muta`akhkhirun adalah era kodifikasi, di mana para ulama brilian seperti imam al-Rafi’i dan al-Nawawi menyaring dan memurnikan warisan tersebut untuk menghasilkan sebuah bangunan fikih yang kokoh, sistematis, dan jelas pegangannya. Bagi siapa pun yang ingin mendalami fikih Syafi’i secara serius, memahami peran dan kontribusi ulama dari kedua era ini adalah sebuah keniscayaan.
Artikel ini merupakan ringkasan dari banyak sumber berbahasa Arab dan Indonesia.