Ibnu Salul Akhirnya Mati

Ibnu Salul Akhirnya Mati

Perang Tabuk (Rajab tahun 9 Hijriyyah) adalah ekspedisi militer terakhir yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. sebelum wafatnya beliau. Secara singkat, alur waktunya adalah:

  • Tahun 9 H: Dikenal sebagai ‘Am al-Wufud (Tahun Delegasi), karena fokus Nabi saw. beralih dari ekspedisi militer besar ke diplomasi, penerimaan baiat, dan penguatan internal umat.
  • Tahun 10 H: Rasulullah saw. melaksanakan Haji Wada’ (Haji Perpisahan).
  • Tahun 11 H: Beliau wafat.

Setelah Perang Tabuk, tidak ada lagi ghazwah (perang besar yang beliau pimpin sendiri). Namun, masih ada beberapa sariyah (ekspedisi kecil) yang beliau utus, biasanya dipimpin para sahabat, untuk:

  • Mengajak kabilah-kabilah masuk Islam.
  • Menegakkan perjanjian.
  • Menindak pelanggaran keamanan di wilayah-wilayah sekitar.

Pada bulan Dzul Qa’dah tahun ke-9 Hijriyyah, usai Perang Tabuk, tanah akhirnya menimbun jasad seorang pria yang paling sengit memusuhi Islam dan para pemeluknya. Sosok yang selama ini menjadi duri dalam daging, sumber kegelisahan, dan biang keladi keburukan bagi seluruh masyarakat Islam. Dialah dedengkot kaum munafik dan pembawa panjinya.

Tokoh ini punya “jasa” dalam melahirkan fenomena kemunafikan. Sebelum dia, manusia hanya terbagi dua: seorang mukmin yang tulus imannya, atau seorang kafir yang terang-terangan menolak kebenaran. Namun, Ibnu Salul menambahkan jalan ketiga yang jauh lebih berbahaya dari kesyirikan yang nyata: kekafiran yang tersembunyi. Tujuannya satu, menghancurkan Islam dari dalam dan merusak soliditas umatnya.

Siapa Ibnu Salul?

Ia adalah Abdullah bin Ubayy Ibnu Salul al-Khazraji, berasal dari kabilah Khazraj al-Azdiyyah, penduduk Yatsrib. Yatsrib adalah nama Madinah sebelum Rasulullah saw. hijrah ke sana.

Ubayy adalah nama ayahnya, sedangkan Salul adalah nama ibunya—ini adalah pendapat yang dinilai paling tepat oleh mayoritas ulama. Karena itu, penulisan kata ibn sebelum Salul menggunakan huruf alif (ابن). Kata Salul tidak diberi tanwin (ghair munsharif) karena alasan ‘alamiyyah (nama) dan ta`nits (makna feminin).

Al-Qadhi ‘Iyadh (476-544 H/1083-1149 M) mengatakan, “Nama Abdullah bin Ubayy Ibnu Salul harus ditulis Ibnu Salul dengan alif (I), dan i’rab-nya mengikuti i’rab Abdullah dalam kondisi i’rab apa pun, karena Ibnu Salul di sini adalah badal (pengganti) dari Abdullah, bukan sifat bagi ayahnya (Ubayy), sebab Salul adalah ibu Abdullah menurut pendapat mayoritas ulama, bukan orang tua Ubayy.”

Dengan demikian, namanya dikaitkan kepada kedua orang tuanya (pertama ayahnya, yaitu Ubayy, dan kedua ibunya, yaitu Salul).

Akar Kebencian

Akar kemunafikan sejatinya telah tertancap dalam jiwa Ibnu Salul jauh sebelum hijrah Nabi saw. Kala itu, Madinah terkoyak oleh pertikaian sengit antara suku Aus dan Khazraj. Kedua suku ini pada prinsipnya adalah saling bersaudara karena kedua kabilah ini menginduk kepada kabilah besar yang sama, yaitu kabilah al-Azd. Kabilah Khazraj dan Aus merupakan pendatang di Yatsrib. Mereka berasal dari Yaman yang hijrah ke Yatrib setelah Bendungan Ma’rib di Yaman jebol. Konflik antara keduanya sering terjadi, padam sejenak untuk kembali berkobar lebih dahsyat. Pertikaian itu akhirnya mereda dengan sebuah kesepakatan: melupakan perselisihan dan menobatkan Ibnu Salul sebagai pemimpin Yatsrib (sebelum berubah menjadi Madinah).

Namun, cita-citanya itu terkubur seketika saat Islam masuk ke bumi Yatsrib. Orang-orang berbondong-bondong menyambut syariat dan bersatu di bawah panji Rasulullah saw. Akibatnya, Ibnu Salul memandang agama baru ini sebagai perampas takhta dan kekuasaannya. Kepentingan pribadi dan ambisi inilah yang menghalanginya untuk tulus beriman dan jujur dalam keislamannya.

Sejak hari itu, didorong oleh dendam kesumat dan jiwa yang licik, Ibnu Salul menyalakan api permusuhan tersembunyi. Ia mendedikasikan hidupnya untuk meruntuhkan pilar-pilar Islam dan negaranya. Ia mulai menyemburkan racunnya untuk memecah belah kaum muslimin, piawai dalam membuat kebohongan, menyulut fitnah, melancarkan perang urat syaraf, dan menanam benih-benih perpecahan, terkadang secara terang-terangan, namun lebih sering di bawah selubung kegelapan.

Fakta Tindakan

Cukup dengan melihat sekilas sejarah Madinah, kita bisa menemukan jejak kebohongan dan konspirasi yang ia rajut selama tujuh tahun hidup dalam naungan Islam.

  1. Saat Perang Uhud (7 Syawal tahun 3 Hijriyyah), Ibnu Salul ini menarik mundur 300 orang pengikutnya tepat sebelum pertempuran dimulai. Al-Thabari dalam Tarikh-nya mencatat (Tarikh al-Thabari, jil. 2, hlm. 504, Dar al-Ma’arif):

    Ketika Rasulullah saw. keluar menemui mereka, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami telah memaksamu (untuk keluar berperang) dan itu sebenarnya bukan kehendak kami. Jika engkau mau, duduklah saja (tidak usah berangkat), semoga Allah melimpahkan shalawat kepadamu!”
    Rasulullah saw. menjawab, “Tidak selayaknya bagi seorang nabi, apabila telah mengenakan baju perangnya, untuk meletakkannya kembali sebelum ia berperang.” Lalu Rasulullah saw. berangkat bersama seribu orang sahabatnya. Ketika mereka sampai di al-Syauth, di antara Uhud dan Madinah, Abdullah bin Ubay ibnu Salul memisahkan diri dari beliau saw. bersama sepertiga pasukan. Ia berkata, “Dia (Muhammad) menuruti mereka lalu keluar untuk perang. Dia menolak saranku. Demi Allah, kami tidak tahu untuk apa kami harus membunuh diri kami di sini, wahai manusia!?”

  2. Setelah kemenangan kaum muslimin atas Yahudi Bani Qainuqa’ ( Syawal tahun 2 Hijriyyah), Ibnu Salul bergegas membela sekutunya itu agar tidak dihukum mati oleh Rasulullah saw. Al-Thabari dalam Tarikh-nya mencatat (Tarikh al-Thabari, jil. 2, hlm. 480, Dar al-Ma’arif):

    Ia mendatangi Nabi dan berkata, “Wahai Muhammad, berbuat baiklah kepada sekutu-sekutuku” — mereka adalah sekutu kaum Khazraj. Nabi saw. menunda jawabannya. Dia mengulangi, “Wahai Muhammad, berbuat baiklah kepada sekutu-sekutuku.”
    Nabi saw. berpaling darinya. Lalu ia memasukkan tangannya ke dalam baju Rasulullah saw., Rasulullah saw. bersabda, “Lepaskan aku!” Beliau marah hingga para sahabat melihat perubahan pada wajah beliau (yakni berubah warna karena marah). Kemudian beliau bersabda, “Celaka engkau, lepaskan aku!” Ibnu Salul menjawab, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan melepaskanmu sampai engkau berbuat baik kepada sekutu-sekutuku — empat ratus orang tanpa baju besi dan tiga ratus orang berbaju besi — mereka telah melindungiku dari yang hitam dan yang merah (yakni dari berbagai musuh), lalu engkau hendak membinasakan mereka dalam satu pagi saja! Demi Allah, aku tidak merasa aman dan aku khawatir akan terjadi bencana.” Rasulullah saw. bersabda, “Mereka milikmu (aku serahkan mereka kepadamu).”

  3. Dalam Perang Bani Nadhir (Rabi’ul Awwal tahun 4 Hijriyyah), Abdullah bin Ubayy menghasut sekutunya dari kaum Yahudi untuk melawan Rasulullah saw. dan tidak menyerah. Ia menjanjikan bala bantuan dan pertolongan. Al-Thabari mencatat (Tarikh al-Thabari, jil. 2, hlm. 554, Dar al-Ma’arif):

    Ada sekelompok orang dari Bani ‘Auf bin al-Khazraj (subkabilah dari al-Khazraj)— di antara mereka Abdullah bin Ubay bin Salul, Wadi’ah, Malik bin Abi Qawqal, Suwaid, dan Da’is — yang mengirim pesan kepada Bani Nadhir, “Bertahanlah dan perkuatlah pertahanan kalian. Kami tidak akan menyerahkan kalian. Jika kalian diperangi, kami akan berperang bersama kalian. Jika kalian diusir, kami akan keluar bersama kalian. Maka tunggulah.” Namun ketika saatnya tiba, mereka tidak menepati janji itu; mereka berdusta.

    Kepada Bani Nadhir, dia menjanjikan bantuan dari Bani Quraizhah dan Bani Ghathafan, sehingga Bani Nadhir memilih bertahan. Bantuan itu tidak pernah datang. Peristiwa ini diabadikan dalam surah al-Hasyr, ayat 2–17. Pada ayat 11, Allah Swt. menyingkap kebohongan kaum munafik yang berjanji akan membantu Bani Nadhir.

  4. Puncak kedengkiannya terjadi pada Perang Bani Muraysi’ (atau Bani Mushthaliq, 2 Sya’ban 6 H). Dengan kelicikan yang luar biasa, Ibnu Salul merancang konspirasi keji untuk menodai kehormatan istri terbaik Nabi saw., ‘A`isyah ra. Kaum muslimin terbakar oleh api fitnah ini (dikenal dengan peristiwa Hadits al-`Ifk/Berita Palsu) selama sebulan penuh, hingga turun ayat-ayat mulia dari Surat An-Nur, ayat 11–20, yang mengklarifikasi duduk perkaranya dan membersihkan nama baik ‘A`isyah ra.
  5. Saat menjelang Perang Tabuk, Ibnu Salul menjadi otak di balik pembangunan “Masjid Dhirar”. Sebuah masjid konspirasi yang didirikan oleh kalangan munafik sebagai markas rahasia mereka, tempat di mana fitnah dirancang dan kebohongan diproduksi untuk menciptakan kekacauan di tengah umat. Mereka mengundang Nabi saw. untuk shalat di sana agar masjid itu mendapat legitimasi, namun Allah menurunkan wahyu melarang beliau shalat di dalamnya (QS. al-Taubah: 107–110)

Fakta Verbal

Meskipun ia berusaha keras menyembunyikan kebenciannya, lidahnya sering kali terpeleset dan menunjukkan isi hatinya yang busuk. Seperti ucapannya kepada Rasulullah saw. yang tercatat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim:

  1. Rasulullah saw. pernah datang menemui Ibnu Salul dengan mengendarai keledai, setibanya di sana, Ibnu Salul berkata:

    إِلَيْكَ عَنِّي وَاللَّهِ لَقَدْ آذَانِي نَتْنُ حِمَارِكَ

    “Menjauhlah dariku! Demi Allah, bau keledaimu ini menggangguku.” (HR. al-Bukhari dari Anas)

  2. Suatu hari dalam peperangan dan saat itu perbekalan menipis:

    لَا تُنْفِقُوا عَلَى مَنْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ حَتَّى يَنْفَضُّوا مِنْ حَوْلِهِ

    “Janganlah kalian memberikan nafkah kepada orang-orang yang bersama Rasulullah agar mereka bubar dari sekelilingnya.” (HR. Muslim dari Zaid bin Arqam)

    Lihat juga surah al-Munafiqun, ayat 7.

  3. Keinginannya mengusir kaum Muhajirin (termasuk Nabi saw.) dari Madinah:

    وَلَئِنْ رَجَعْنَا إلى المدينة لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ

    “Sungguh, jika kita kembali ke Madinah, pastilah orang yang lebih mulia (maksudnya, Ibnu Salul) akan mengusir orang yang lebih hina (Muhammad saw.) darinya.” (HR. al-Bukhari dari Zaid bin Arqam)

Fakta Penegas dari Al-Qur`an

Setiap kali ia menyulut fitnah, ayat-ayat al-Qur`an turun silih berganti untuk membongkar perilakunya dan menyingkap jati dirinya. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:

  1. QS. Ali ‘Imran: 186

    لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا

    “Kalian pasti akan diuji dalam (urusan) harta kalian dan diri kalian. Kalian pun pasti akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kalian dan dari orang-orang musyrik …”

    Al-Bukhari (hadis nomor 4566) mengaitkan ayat ini dengan perilaku Ibnu Salul. Beliau mencatat:

    Rasulullah saw. pernah menunggang seekor keledai yang beralaskan kain pelana dari Fadak, dan beliau memboncengkan aku (Usamah bin Zaid) di belakangnya. Saat itu beliau hendak menjenguk Sa’d bin ‘Ubadah di perkampungan Bani al-Harits bin al-Khazraj, sebelum terjadinya Perang Badar. Ketika beliau melewati sebuah majelis yang di dalamnya ada Abdullah bin Ubay bin Salul—pada waktu itu ia belum masuk Islam—tampak di majelis itu bercampur orang-orang Muslim, orang-orang musyrik penyembah berhala, dan orang-orang Yahudi. Di majelis itu juga hadir Abdullah bin Rawahah.

    Ketika debu tunggangan Nabi saw. sampai ke majelis itu, Abdullah bin Ubay menutup hidungnya dengan kain selendangnya, lalu berkata, “Jangan membuat kami berdebu!”

    Rasulullah saw. memberi salam kepada mereka, kemudian berhenti, turun dari tunggangannya, lalu mengajak mereka kepada Allah dan membacakan Al-Qur`an kepada mereka. Abdullah bin Ubay bin Salul berkata, “Wahai orang ini, tidak ada yang lebih baik dari apa yang engkau katakan jika itu benar. Tetapi jangan ganggu kami dengannya di majelis kami. Pulanglah ke tempatmu, dan siapa yang datang kepadamu, sampaikanlah kepadanya.”

  2. QS. al-Ma’idah: 52

    فَتَرَى ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ يُسَٰرِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَىٰٓ أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةٌ ۚ فَعَسَى ٱللَّهُ أَن يَأْتِىَ بِٱلْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِّنْ عِندِهِۦ فَيُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَآ أَسَرُّوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمْ نَٰدِمِينَ

    “Maka kamu akan melihat orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, “Kami takut akan mendapat bencana.’ Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya) atau keputusan dari sisi-Nya, sehingga mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.”

    Sebagian ahl al-ta’wil menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit” adalah Ibnu Salul (Tafsir al-Thabari, jil. 8, hal. 510, Dar Hajr, Mesir, cet. ke-1, 1422 H/2001 M).

  3. QS. al-Munafiqun: 1-8

    Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Nabi Muhammad), mereka berkata, “Kami bersaksi bahwa engkau adalah benar-benar utusan Allah.” Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar utusan-Nya. Allah pun bersaksi bahwa orang-orang munafik itu benar-benar para pendusta. (1) Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai lalu mereka menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah. Sesungguhnya apa yang selalu mereka kerjakan itu sangatlah buruk. (2) Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian kufur. Maka, hati mereka dikunci sehingga tidak dapat mengerti. (3) Apabila engkau melihat mereka, tubuhnya mengagumkanmu. Jika mereka bertutur kata, engkau mendengarkan tutur katanya (dengan saksama karena kefasihannya). Mereka bagaikan (seonggok) kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa setiap teriakan (kutukan) ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya). Maka, waspadalah terhadap mereka. Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran)? (4) Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (beriman) agar Rasulullah memohonkan ampunan bagimu,” mereka membuang muka dan engkau melihat mereka menolak (ajakan itu) sambil menyombongkan diri. (5) Sama saja bagi mereka apakah engkau (Nabi Muhammad) memohonkan ampunan untuk mereka atau tidak, Allah tidak akan mengampuni mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada kaum fasik. (6) Merekalah orang-orang yang berkata (kepada kaum Ansar), “Janganlah bersedekah kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah sampai mereka bubar (meninggalkan Rasulullah),” padahal milik Allahlah perbendaharaan langit dan bumi. Akan tetapi, orang-orang munafik itu tidak mengerti. (7) Mereka berkata, “Sungguh, jika kita kembali ke Madinah (dari perang Bani Mustaliq), pastilah orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari sana,” padahal kekuatan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui. (8)

Mengapa Nabi Tidak Membunuhnya?

Mungkin ada yang bertanya: Bagaimana sikap Nabi saw. terhadap Ibnu Salul? Mengapa beliau saw. sabar menghadapinya selama bertahun-tahun (9 tahun) dan tidak memerintahkan untuk membunuhnya?

Jawabannya:

  1. Mencegah Stigma Buruk dan Menjaga Citra Dakwah Islam

    Nabi saw. khawatir akan tersebar desas-desus di kalangan kabilah Arab bahwa “Muhammad membunuh sahabatnya sendiri.” Imam al-Bukhari (nomor hadis 4622) meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra. yang menceritakan, “Kami pernah ikut dalam peperangan (Bani al-Musthaliq). Saat itu, seorang dari kaum Muhajirin kasa’a (memukul bagian pantat dengan tangan atau kaki) salah seorang kaum Anshar. Orang Anshar itu pun berseru, “Wahai kaum Anshar! (Tolonglah saya).’ dan orang Muhajirin itu berseru, “Wahai kaum Muhajirin! (Tolonglah saya).’ Mendengar hal itu, Rasulullah saw. bersabda, “Apa-apaan panggilan jahiliyyah ini?’ Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, seorang Muhajir kasa’a seorang Anshar.’ Beliau bersabda, “Tinggalkan seruan itu! Itu seruan buruk!'”

    Seruan tadi terdengar oleh Ibnu Salul. Ia pun berkata (memanaskan situasi), “Mereka sudah melakukan itu (terhadap Anshar)? Demi Allah, jika kita kembali ke Madinah, yang mulia pasti akan mengusir yang hina.”

    Apa yang dikatakan Ibnu Salul barusan sampai kepada Nabi saw., Umar ra. pun berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku memenggal leher si munafik ini.” Namun Nabi saw. bersabda, “Biarkan dia. Orang-orang tidak (boleh) berkata bahwa Muhammad membunuh sahabatnya sendiri.”

    Imam an-Nawawi menjelaskan:

    “Sabda Nabi saw., “Biarkan dia! Orang-orang tidak (boleh) berkata bahwa Muhammad membunuh sahabatnya sendiri,” menunjukkan betapa besar kesabaran dan kelapangan hati beliau. Di dalamnya terdapat pelajaran bahwa terkadang beliau mengabaikan sebagian hal yang lebih utama, dan bersabar rela menerima fakta keburukan, demi menghindari keburukan yang lebih besar. Nabi saw. membina hati manusia, bersabar terhadap sikap kasar orang-orang Badui, kaum munafik, dan lainnya, agar kekuatan kaum Muslimin semakin kokoh, dakwah Islam sempurna, iman mengakar di hati orang-orang yang baru dilunakkan hatinya (al-mu’allafah qulubuhum), dan orang lain pun tertarik masuk Islam. Beliau bahkan memberikan harta yang banyak demi tujuan itu. Nabi saw. tidak membunuh kaum munafik karena alasan ini, juga karena mereka menampakkan keislaman mereka. Beliau memerintahkan untuk menghukum berdasarkan apa yang tampak, sedangkan urusan batin diserahkan kepada Allah. Selain itu, mereka secara lahir termasuk adalah sebagian sahabat-sahabat beliau saw., dan ikut berperang bersama beliau—entah karena fanatisme, mencari keuntungan dunia, atau solidaritas terhadap kerabat mereka yang muslim.” (Syarh al-Nawawi ‘ala Muslim, jil. 16, hal. 139, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, cet ke-2, 1392 H)

    Orang-orang Arab di penjuru jazirah tidak mengetahui detail konspirasi yang terjadi di Madinah. Mereka tidak akan bisa memahami alasan jika hukuman dijatuhkan kepada si munafik itu. Gambaran yang akan sampai kepada mereka pastilah gambaran yang terdistorsi: seorang pemuka Madinah memeluk Islam, lalu ia dibunuh. Citra buruk ini tentu akan menjadi penghalang besar bagi mereka untuk masuk Islam.

  2. Membiarkan Pintu Taubat Selalu Terbuka Sebagai Wujud Rahmat

    Inilah salah satu hikmah yang paling menunjukkan sifat rahmah (kasih sayang) dalam ajaran Islam. Dengan tidak memberikan label “munafik” secara final dan terbuka, Nabi saw. membiarkan pintu taubat terbuka selebar-lebarnya bagi mereka. Jika seseorang telah divonis secara publik oleh Rasulullah, ia akan dikucilkan oleh seluruh muslim lainnya, kehilangan harapan, dan justru semakin terdorong ke dalam kekufuran. Bahkan di tengah ayat-ayatnya yang keras membongkar kejahatan kaum munafik dalam surah At-Taubah, Allah SWT masih menyelipkan tawaran ampunan. Setelah menyebutkan berbagai pengkhianatan mereka, Allah berfirman:

    يَحْلِفُوْنَ بِاللّٰهِ مَا قَالُوْاۗ وَلَقَدْ قَالُوْا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوْا بَعْدَ اِسْلَامِهِمْ وَهَمُّوْا بِمَا لَمْ يَنَالُوْاۚ وَمَا نَقَمُوْٓا اِلَّآ اَنْ اَغْنٰىهُمُ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ مِنْ فَضْلِهٖۚ فَاِنْ يَّتُوْبُوْا يَكُ خَيْرًا لَّهُمْۚ وَاِنْ يَّتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللّٰهُ عَذَابًا اَلِيْمًا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۚ وَمَا لَهُمْ فِى الْاَرْضِ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا نَصِيْرٍ

    “Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakiti Nabi Muhammad). Sungguh, mereka benar-benar telah mengucapkan perkataan kekafiran (dengan mencela Nabi Muhammad) dan (karenanya) menjadi kafir setelah berislam. Mereka menginginkan apa yang tidak dapat mereka capai. Mereka tidak mencela melainkan karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka, jika mereka bertobat, itu lebih baik bagi mereka. Jika berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat. Mereka tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di bumi.” (QS. al-Taubah: 74)

    Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ayat ini adalah bentuk isti’thaf, yaitu ajakan lembut yang ditujukan untuk melunakkan hati mereka dan mendorong mereka untuk kembali, bahkan setelah melakukan dosa yang sangat besar. Sejarah mencatat bahwa ada di antara mereka yang benar-benar memanfaatkan kesempatan ini dan bertaubat dengan tulus, seperti Al-Julas bin Suwaid, yang kemudian taubatnya diterima.

    Al-Kalbi mengatakan, “Ketika ayat ini turun, berdirilah al-Julas bin Suwaid—ia termasuk orang yang pernah mencela Nabi saw.—lalu ia berkata, “Aku mendengar bahwa Allah telah menawarkan kepadaku kesempatan untuk bertaubat. Maka aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya atas apa yang telah aku ucapkan.’ Maka Rasulullah saw. menerima taubatnya.” Informasi ini diriwayatkan oleh ‘Atha’ dan Ibnu ‘Abbas. (Al-Tafsir al-Basith, jil. 5, hal. 557, Departemen Riset Ilmiah – Universitas Imam Muhammad bin Saud al-Islamiyyah, cet ke-1, 1430 H.)

    Ini membuktikan bahwa rahmat Allah mendahului murka-Nya, dan kebijakan Nabi saw. adalah manifestasi dari rahmat tersebut, yang selalu memberi ruang bagi seorang hamba untuk kembali kepada Rabb-nya.

  3. Menjaga Keutuhan dan Persatuan Umat dari Fitnah Internal

    Ada alasan lain yang tak kalah penting. Nabi saw. sangat ingin menjaga kesatuan barisan internal, terutama di masa-masa awal dakwah di Madinah, ketika benih iman di hati kaum Anshar masih seumur jagung. Karena itu, beliau memilih jalan diplomasi dan kesabaran atas segala gangguan Ibnu Salul, agar waktu sendiri yang akan menyingkap tabiat aslinya melalui perbuatan dan sikapnya.

    Strategi ini terbukti berhasil. Ibnu Salul justru menuai kebencian dan celaan dari orang-orang yang dulu ingin menobatkannya sebagai raja. Ia dijauhi oleh keluarga dan orang-orang terdekatnya sendiri.

    Bukti paling nyata adalah sikap putranya sendiri, Abdullah bin Abdullah bin Ubayy ra., yang merupakan salah satu sahabat terbaik. Al-Thabari mencatat (Tarikh al-Thabari, jil. 2, hlm. 608, Dar al-Ma’arif):

    Abdullah bin Abdullah bin Ubay Ibnu Salul datang kepada Rasulullah saw., lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah mendengar kabar bahwa engkau ingin membunuh Abdullah bin Ubay — karena apa yang telah engkau dengar tentang dirinya. Jika engkau benar-benar akan melakukannya, maka perintahkanlah aku untuk melakukannya. Aku akan membawa kepalanya kepadamu. Demi Allah, kaum Khazraj mengetahui bahwa tidak ada seorang pun di antara mereka yang lebih berbakti kepada ayahnya daripada aku. Aku khawatir engkau memerintahkan orang lain untuk membunuhnya, lalu aku tidak akan mampu menahan diriku ketika melihat pembunuh Abdullah bin Ubay (ayahku) berjalan di tengah-tengah manusia, sehingga aku membunuhnya, dan akhirnya aku membunuh seorang mukmin karena seorang kafir, lalu aku masuk neraka.”
    Rasulullah saw. menjawab, “Tidak, kita akan bersikap lembut kepadanya dan memperlakukan dia dengan baik selama ia masih bersama kita.”
    Setelah itu, setiap kali Abdullah bin Ubay melakukan suatu perbuatan (buruk), kaumnya sendiri yang menegurnya, menangkapnya, mencelanya, dan mengancamnya.
    Rasulullah saw. kemudian berkata kepada Umar bin al-Khaththab, ketika beliau mendengar kabar tentang sikap kaumnya terhadap Abdullah bin Ubay, “Bagaimana pendapatmu, wahai Umar! Demi Allah, Seandainya aku membunuhnya pada hari ketika engkau (Umar) memintaku membunuhnya, niscaya saat itu banyak orang yang akan marah dan menentang. Tetapi jika aku memerintahkannya hari ini, mereka pasti akan patuh.”

  4. Menjadi Cermin Pendidikan dan Introspeksi Diri bagi Kaum Muslimin

    Hikmah terakhir ini mungkin yang paling mendalam dampaknya secara spiritual. Dengan tidak menunjuk hidung “siapa” yang munafik, Nabi saw. secara efektif mengubah fokus umat dari yang tadinya bisa menjadi ajang “mencari-cari kesalahan orang lain” menjadi sebuah cermin raksasa untuk introspeksi diri (muhasabah). Turunnya ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat kemunafikan—seperti berdusta, ingkar janji, berkhianat, riya’ dalam shalat, dan enggan berinfak—bukanlah untuk dijadikan alat tuduh, melainkan sebagai daftar periksa keimanan bagi setiap individu.

    Sikap para sahabat terbaik adalah bukti nyata dari tujuan pendidikan ini. Sahabat sekelas Umar bin Khattab ra., yang telah dijamin masuk surga, masih merasa sangat khawatir. Beliau mendatangi Hudzaifah bin al-Yaman ra., sahabat pemegang rahasia daftar nama kaum munafik, lalu bertanya dengan penuh ketakutan, “Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, wahai Hudzaifah, apakah Rasulullah saw. menyebut namaku di antara mereka?”

    Tindakan Umar ini mengajarkan kepada kita bahwa semakin tinggi keimanan seseorang, semakin besar pula kekhawatirannya terhadap penyakit nifaq. Kebijakan Nabi saw. ini berhasil mengalihkan jari telunjuk yang berpotensi menuding ke luar (“Dia munafik!”) menjadi jari yang mengarah ke dalam diri sendiri (“Jangan-jangan ada sifat nifaq dalam diriku?“).

Akhir Hayat Sang Munafik

Roda waktu terus berputar. Di tengah penderitaan kaum muslimin akibat tipu daya kaum munafik, tibalah saat-saat terakhir dalam hidup Ibnu Salul. Ia jatuh sakit pada bulan Syawwal 9 Hijriyyah dan merasakan pedihnya sakaratul maut. Hebatnya, Nabi saw. menjenguk dan menanyakan keadaannya, meskipun permusuhan darinya begitu nyata. Mungkin, dengan cara itu Nabi saw. berharap dapat melunakkan hatinya, barangkali ia mau mengingat Allah, karena hati manusia berada di antara jari-jemari Ar-Rahman yang dapat membolak-balikkannya sekehendak-Nya. Selain itu, ini juga menjadi kesempatan dakwah yang efektif bagi para pengikutnya.

Sejarawan al-Waqidi sebagaimana yang dikutip oleh al-‘Aini (w. 855 H) dalam ‘Umdah al-Qari’ (jil. 8, hal. 54, al-Muniriyyah) menjelaskan, bahwa Abdullah bin Ubayy jatuh sakit pada akhir bulan Syawal dan wafat pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-9 Hijriah, sekembalinya Rasulullah saw. dari Perang Tabuk. Sakitnya berlangsung selama 20 malam, dan selama masa itu, Rasulullah saw. senantiasa menjenguknya.

Pada hari wafatnya, saat Abdullah bin Ubayy sedang menjelang ajalnya (يَجُودُ بِنَفْسِهِ), Rasulullah saw. datang menemuinya. Nabi saw. mengingatkannya, “Aku telah melarangmu untuk mencintai kaum Yahudi.” Abdullah bin Ubayy menjawab dengan sinis, “As’ad bin Zurarah (seorang sahabat mulia) juga membenci mereka, tetapi apa manfaatnya (hal itu tidak mencegah kematiannya)?”

Abdullah bin Ubayy kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, ini bukan saatnya untuk mencela. Ini adalah (masa) kematian.” Lalu ia mengajukan tiga permintaan:

  1. Agar Rasulullah saw. menghadiri proses pemandian jenazahnya.
  2. Agar diberikan gamis Nabi saw. yang langsung menyentuh kulit beliau untuk dijadikan kain kafan.
  3. Agar Nabi saw. menshalatkan jenazahnya dan memohonkan ampun untuknya.

Menurut riwayat Al-Waqidi ini, Rasulullah saw. memenuhi semua permintaan tersebut.

Perbedaan dan Harmonisasi Riwayat

Terdapat perbedaan antara riwayat Al-Waqidi dengan riwayat al-Bukhari. Riwayat Al-Waqidi menyebutkan Ibnu Salul sendiri yang meminta gamis. Namun, riwayat dalam Shahih al-Bukhari tidak demikian.

Untuk menjawab perbedaan informasi ini, al-‘Aini berpendapat riwayat al-Waqidi tidak dapat menandingi validitas riwayat Al-Bukhari. Artinya riwayat al-Bukhari lebih valid.

Meski demikian, dalam informasi Ibnu ‘Umar dan Jabir (yang keduanya diriwayatkan oleh al-Bukhari) juga terdapat perbedaan.Riwayat Ibnu Umar, hadis nomor 1210 menyebutkan bahwa putranya (Abdullah) yang datang kepada Nabi saw. untuk meminta gamis untuk ayahnya. Sementara itu, riwayat Jabir, hadis nomor 1211 menjelaskan bahwa rasulullah saw. datang ke kuburannya dan mengenakannya gamisnya.

Untuk mendamaikan dua informasi Ibnu ‘Umar dan Jabir, terbukan kemungkinan dipahami bahwa Nabi saw. telah berjanji kepada sang putra akan memberikan gamisnya. Jadi kata “memberi” dalam hadis Ibnu ‘Umar maksudnya berjanji memberikan. Lalu janji ini direalisasikan oleh Nabi saw. di pemakaman setelah jasad Ibnu Salul dikeluarkan dari liangnya.

Sementara Ibn al-Jauzi memberikan kemungkinan lain, yaitu Nabi saw. memberikan dua gamis: satu untuk kafan awal, dan satu lagi yang dipakaikan setelah jenazahnya dikeluarkan dari liang lahad.

Kisah jasadnya dikeluarkan dari liang lahad ini diceritakan oleh al-Bukhari (hadis nomor 1211) dari Jabir, Rasulullah saw. datang setelah ia dimakamkan, lalu beliau mengeluarkannya (dari kubur), meniupkan (sedikit) dari ludah beliau kepadanya, dan memakaikannya gamis beliau.

Hikmah di Balik Nabi saw. Memberikan Gamisnya

Lalu apa hikmah di balik Nabi saw. memberikan gamisnya kepada pemimpin kaum munafik?

Al-‘Aini menyajikan beberapa kemungkinan jawaban:

  1. Menghormati Putranya

    Tindakan ini adalah bentuk pemuliaan dan penghargaan kepada putra Abdullah bin Ubayy, yang merupakan seorang sahabat yang sangat saleh, tulus, dan setia kepada Rasulullah saw. Ini adalah cara Nabi saw. menghibur dan menenangkan hati sahabatnya yang sedang berduka atas wafatnya ayah yang durhaka.

  2. Tidak Pernah Menolak Permintaan

    Ini adalah cerminan dari akhlak Nabi saw. yang luar biasa. Beliau tidak pernah sekalipun berkata “tidak” jika dimintai sesuatu. Ketika putranya yang saleh meminta, beliau langsung memberikannya.

  3. Harapan Dakwah dan Masuk Islamnya Kaumnya

    Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya gamisku ini tidak akan bisa melindunginya sedikit pun dari (azab) Allah.” Namun, Nabi melanjutkan, “Aku berharap dengan sebab ini (banyak orang) akan masuk Islam.” Diriwayatkan bahwa seribu orang dari Kabilah Khazraj (kabilah Abdullah bin Ubayy) masuk Islam ketika mereka melihat betapa pemimpin mereka sendiri mencari keberkahan dari pakaian Rasulullah saw. dan memohon agar beliau menshalatkannya. Kebaikan dan kemurahan hati Nabi saw. menjadi sarana dakwah yang sangat efektif.

  4. Membalas Budi

    Ini adalah alasan yang paling sering disebut oleh para ulama. Dahulu, saat paman Nabi, al-‘Abbas, ditawan dalam Perang Badar, ia tidak memiliki pakaian yang pas karena postur tubuhnya yang tinggi. Abdullah bin Ubayy (yang saat itu belum menunjukkan kemunafikannya secara terang-terangan) memberikan gamisnya kepada al-‘Abbas. Rasulullah saw. ingin membalas kebaikan tersebut di dunia, agar di akhirat tidak ada lagi sangkut paut kebaikan antara beliau dengan Abdullah bin Ubayy.

  5. Membalas Ucapan Baiknya

    Dalam Perjanjian Hudaibiyah (tahun 6 H / 628 M), kaum Muslimin yang berangkat dari Madinah dengan niat umrah tidak diizinkan melakukan thawaf di Ka’bah pada tahun itu. Di momen ini, kaum kafir Quraisy mengizinkan Abdullah bin Ubayy untuk thawaf di Ka’bah. Namun, ia menolak dan berkata, “Tidak, bagiku ada teladan yang baik (إسوة حسنة) pada diri Rasulullah.” Ia tidak mau tawaf sebelum Nabi saw. melakukannya. Nabi saw. membalas perkataannya yang baik pada saat itu dengan memberikan gamisnya.

Menarik juga untuk dikemukakan momen di mana Nabi saw. bersiap untuk menshalatkannya, sebagaimana diceritakan oleh al-Bukhari (nomor hadis 4671) dari Umar ra.:

Ketika Ibnu Salul meninggal dunia, Rasulullah saw. dipanggil untuk menshalatinya. Ketika Rasulullah saw. berdiri (untuk melakukannya), Umar ra. segera mendekat kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, Engkau akan menshalati Ibn Ubayy? Padahal pada hari ini dan itu dia pernah mengatakan begini dan begitu?—Umar ra. menyebutkan ucapan-ucapan yang pernah diucapkan oleh Ibnu Salul satu per satu. Rasulullah saw. tersenyum dan bersabda, “Menyingkirlah dariku, wahai Umar.”

Ketika Umar ra. terus mendesak beliau agar beliau tidak menshalatinya, beliau saw. bersabda, “Sesungguhnya aku diberi pilihan, maka aku memilih (memohonkan ampun). Seandainya aku tahu bahwa jika aku harus menambah permohonan ampun untuknya lebih dari tujuh puluh kali itu agar dia diampuni, maka aku akan menambahkannya.”

Sabda beliau tentang “pilihan” mengacu kepada surah al-Taubah, ayat 80:

ٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِن تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَن يَغْفِرَ ٱللَّهُ لَهُمْ

“Mohonkanlah ampun bagi mereka atau tidak engkau mohonkan ampun bagi mereka; jika engkau memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan mengampuni mereka…”

Lalu Rasulullah saw. menshalatinya, kemudian beliau pergi. Tidak lama setelah peristiwa itu, turunlah dua ayat (84 dan 85) dari surah al-Taubah:

وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰٓ أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِۦ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَمَاتُوا۟ وَهُمْ فَٰسِقُونَ

“Janganlah engkau (Nabi Muhammad) melaksanakan salat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik) selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (berdoa) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (84)

وَلَا تُعْجِبْكَ أَمْوَٰلُهُمْ وَأَوْلَٰدُهُمْ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُعَذِّبَهُم بِهَا فِى ٱلدُّنْيَا وَتَزْهَقَ أَنفُسُهُمْ وَهُمْ كَٰفِرُونَ

“Janganlah harta dan anak-anak mereka membuatmu kagum. Sesungguhnya dengan (sebab harta dan anak) itu Allah berkehendak untuk menyiksa mereka di dunia dan (membiarkan) nyawa mereka melayang dalam keadaan kafir.” (85)

Sejak dua ayat ini turun, beliau saw. tidak menshalati satu pun orang munafik dan tidak juga berdiri (berdoa) di atas kuburnya. Demikian hingga beliau saw. wafat.

Dengan kematian Abdullah bin Ubayy (Ibnu Salul), gerakan kemunafikan menyusut drastis. Sebagian pengikutnya bertaubat dari kesesatan, sementara yang lain memilih untuk tetap menyembunyikan kekafiran di balik topeng kemunafikan mereka. Identitas mereka yang tersisa ini tidak ada yang mengetahuinya selain Hudzaifah bin al-Yaman, sang pemegang rahasia Rasulullah saw.

Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw., beserta keluarga dan sahabatnya.


أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلا خَمْسَةٍ إِلا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْثَرَ إِلا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia adalah yang keempatnya. Dan tidak ada (pembicaraan antara) lima orang, kecuali Dia adalah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang atau lebih banyak dari itu melainkan Dia pasti ada bersama mereka di mana saja mereka berada. (Q.S. Al-Mujadilah, 7)