Kisah atau sejarah dalam Al-Qur`an harus dipahami sebagai sebuah panggung agung yang terarah (purpose-driven), sebuah arena di mana drama kosmik pertarungan antara kebenaran (al-haqq) dan kebatilan (al-bathil) dipentaskan. Mesin penggerak utama yang mendorong narasi kemanusiaan dari satu babak ke babak berikutnya adalah konflik inheren antara dua prinsip fundamental ini. Konflik inheren adalah konflik yang melekat secara alami dalam suatu sistem, hubungan, atau kelompok. Ia bukan sesuatu yang muncul karena kesalahan teknis atau provokasi eksternal, melainkan karena perbedaan nilai, kepentingan, atau perspektif yang memang ada sejak awal. Setiap peradaban, setiap gerakan, dan setiap individu, sadar atau tidak, pada akhirnya menjadi aktor dalam pertarungan abadi ini.
Landasan dari filosofi sejarah ini adalah konsep bahwa eksistensi manusia di dunia memiliki tujuan yang luhur, yaitu sebuah ujian. Allah SWT menciptakan kehidupan dan kematian bukan tanpa makna, melainkan sebagai mekanisme untuk menyaring dan membedakan kualitas amal manusia. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur`an,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
(Dia) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS al-Mulk: 2)
Ayat ini secara fundamental mengubah cara kita memandang realitas. Kehidupan dunia bukan tujuan akhir, melainkan periode ujian, dan kematian adalah penanda berakhirnya waktu yang dialokasikan untuk ujian tersebut. Dengan demikian, setiap peristiwa sejarah, baik kemenangan maupun tragedi menyedihkan, memiliki nilai sebagai bagian dari proses pengujian ilahi ini. Di dalam arena ujian ini, Al-Qur`an mengidentifikasi dua kubu utama yang menjadi poros bagi seluruh pilihan dan tindakan manusia. Setiap ideologi dan peradaban pada hakikatnya berlabuh pada salah satu dari dua kutub ini: mengikuti al-haqq (kebenaran) yang bersumber dari Tuhan, atau mengikuti al-bathil (kebatilan) yang lahir dari ego dan kesombongan. Polarisasi ini dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur`an:
ذٰلِكَ بِاَنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوا اتَّبَعُوا الْبَاطِلَ وَاَنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّبَعُوا الْحَقَّ مِنْ رَّبِّهِمْۗ كَذٰلِكَ يَضْرِبُ اللّٰهُ لِلنَّاسِ اَمْثَالَهُمْ
(Hal) itu (terjadi) karena sesungguhnya orang-orang yang kufur mengikuti al-bathil (kebatilan), sedangkan orang-orang yang beriman mengikuti al-haqq (kebenaran) dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan mereka kepada manusia. (QS Muhammad: 3)
Dengan demikian, Al-Qur`an tidak hanya menawarkan sebuah filosofi sejarah, tetapi juga sebuah teodisi. Teodisi adalah upaya filosofis dan teologis untuk menjelaskan mengapa kejahatan dan penderitaan bisa terjadi, meskipun Tuhan diyakini sebagai Maha Baik, Maha Kuasa, dan Maha Tahu. Konflik antara al-haqq dan al-bathil bukan bukti absennya campur tangan ilahi. Konflik ini justru merupakan manifestasi dari kehadiran-Nya yang aktif. Tuhan menjadikan panggung dunia sebagai arena ujian yang adil, di mana keberadaan kebatilan menjadi elemen yang niscaya agar pilihan manusia terhadap kebenaran memiliki bobot, makna, dan konsekuensi. Sejarah, dengan kacamata ini, bukan sebuah tragedi menyedihkan tanpa makna, melainkan sebuah proses penyaringan yang bertujuan, yang digerakkan oleh pertarungan abadi menuju sebuah akhir yang telah ditetapkan. Al-Qur`an, melalui perumpamaan-perumpamaan yang mendalam, cerita sejarah para nabi, dan hukum-hukum ilahi yang kekal (sunnatullah), menyajikan konflik al-haqq vs. al-bathil sebagai kunci untuk memahami dinamika kebangkitan dan kejatuhan peradaban, serta takdir akhir umat manusia.
Kebenaran dan Kebatilan: Metafora Air dan Busa
Untuk memahami dinamika sejarah menurut Al-Qur`an, pertama-tama kita harus memahami sifat ontologis (hakikat keberadaan) dari kedua kekuatan yang bertarung di dalamnya: al-haqq (kebenaran) dan al-bathil (kebatilan). Al-Qur`an tidak membiarkan kedua konsep ini abstrak, melainkan menggambarkannya melalui sebuah perumpamaan yang sangat kuat dan berlapis dalam Surah Al-Ra’d, yang melukiskan hakikat keduanya dengan presisi yang luar biasa.
Perumpamaan ini disajikan dalam dua babak.
– Babak pertama adalah tentang air dan busa. Allah SWT berfirman,
اَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَسَالَتْ اَوْدِيَةٌ ۢ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَّابِيًاۗ وَمِمَّا يُوْقِدُوْنَ عَلَيْهِ فِى النَّارِ ابْتِغَاۤءَ حِلْيَةٍ اَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِّثْلُهٗۗ كَذٰلِكَ يَضْرِبُ اللّٰهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ ەۗ فَاَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاۤءًۚ وَاَمَّا مَاأَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌۢ بِقَدَرِهَا فَٱحْتَمَلَ ٱلسَّيْلُ زَبَدًا رَّابِيًا ۚ وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِى ٱلنَّارِ ٱبْتِغَآءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَٰعٍ زَبَدٌ مِّثْلُهُۥ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْحَقَّ وَٱلْبَٰطِلَ ۚ…
(Dia) telah menurunkan air dari langit, lalu mengalirlah air itu di lembah-lembah sesuai dengan ukurannya. Arus itu membawa buih yang mengambang. Dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buih seperti (buih arus) itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan tentang hak dan batil. … (QS al-Ra’d: 17)
Di sini, air hujan melambangkan wahyu atau kebenaran yang turun dari sumber yang tinggi dan murni. Lembah-lembah adalah hati manusia, yang memiliki kapasitas berbeda-beda dalam menerima dan menampung kebenaran tersebut.
Air ini memiliki substansi, jernih, dan memberikan kehidupan. Ia bermanfaat bagi manusia. Namun, seiring alirannya, muncul buih atau busa yang mengambang di permukaan. Busa ini tampak besar, mencolok, dan mendominasi pandangan, tetapi ia kosong, tidak memiliki substansi, dan tidak memberikan manfaat apa pun. Busa ini adalah metafora untuk al-bathil. Ia mungkin tampak mengesankan dan riuh untuk sesaat, tetapi sifatnya hanyalah sementara. Sebagaimana firman-Nya melanjutkan:
… فَأَمَّا ٱلزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَآءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ فَيَمْكُثُ فِى ٱلْأَرْضِ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَالَ
… Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya; tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan.. (QS al-Ra’d: 17)
– Babak kedua adalah logam dan buihnya. Ayat tersebut melanjutkan: “… Dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buih seperti (buih arus) itu. …”. Bijih logam yang ditambang dari bumi melambangkan potensi kebenaran atau kebaikan yang ada dalam diri manusia atau masyarakat. Namun, ia masih bercampur dengan kotoran. Api adalah metafora untuk ujian, cobaan, dan perjuangan hidup. Melalui proses pembakaran dan pemurnian inilah logam mulia yang murni—emas, perak, atau besi yang bermanfaat—terpisah dari kotoran dan buihnya (dross). Logam murni yang tersisa adalah al-haqq, berharga, berguna, dan tahan uji. Sementara itu, kotoran yang terpisah dan dibuang adalah al-bathil, tidak bernilai dan disingkirkan oleh proses pemurnian.
Perumpamaan ini secara komprehensif membedakan karakteristik fundamental antara kebenaran dan kebatilan, yang dapat dirangkum sebagai berikut:
| Aspek | al-Haqq (Kebenaran) | al-Bathil (Kebatilan) |
| Sifat | Substansial, Kokoh, Murni | Dangkal, Kosong, Campuran |
| Manfaat | Bermanfaat bagi manusia (seperti air & logam) | Tidak berguna, sia-sia (seperti busa & buih) |
| Daya Tahan | Kekal, Abadi, Menetap di bumi | Fana, Sementara, Lenyap |
| Penampilan | Seringkali sederhana dan tidak mencolok | Seringkali tampak besar, mencolok, dan menipu |
| Sumber | Tuhan | Hawa nafsu (baca: ego), kesombongan, setan |
| Hasil Akhir | Kemenangan dan keberkahan | Kehancuran dan kesia-siaan |
Gagasan bahwa kebatilan pada hakikatnya bersifat fana dan pasti akan lenyap adalah sebuah kepastian yang ditegaskan berulang kali dalam Al-Qur`an. Ini adalah sebuah hukum ontologis. Hukum ontologis adalah ketetapan yang bersumber dari sifat dasar eksistensi suatu entitas. Ketika kebenaran datang, Al-Qur`an mendeklarasikan dengan penuh keyakinan:
وَقُلْ جَآءَ ٱلْحَقُّ وَزَهَقَ ٱلْبَٰطِلُ ۚ إِنَّ ٱلْبَٰطِلَ كَانَ زَهُوقًا
Dan katakanlah (wahai Muhammad), “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (QS al-Isra`: 81)
Ayat ini bukan hanya pemberian harapan, tetapi sebuah proklamasi tentang realitas yang tak terhindarkan. Kebatilan, karena ketiadaan substansinya, tidak memiliki daya tahan dalam jangka panjang. Ia digambarkan tidak hanya akan lenyap, tetapi juga tidak akan pernah kembali untuk memulai sesuatu yang baru:
قُلْ جَآءَ ٱلْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ ٱلْبَٰطِلُ وَمَا يُعِيدُ
Katakanlah (wahai Muhammad), “Kebenaran telah datang dan yang bathil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi”. (QS al-Saba`: 49)
Lebih jauh lagi, kebenaran digambarkan memiliki peran aktif dalam menghancurkan kebatilan, seolah-olah ia adalah proyektil yang dilontarkan untuk melenyapkan lawannya:
بَلْ نَقْذِفُ بِٱلْحَقِّ عَلَى ٱلْبَٰطِلِ فَيَدْمَغُهُۥ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ ۚ وَلَكُمُ ٱلْوَيْلُ مِمَّا تَصِفُونَ
Sebaliknya, Kami melemparkan yang hak (kebenaran) kepada yang batil (tidak benar) lalu (yang hak) itu menghancurkannya. Maka, seketika itu ia (yang batil) lenyap. Celakalah kalian karena kalian menyifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak pantas bagi-Nya). (QS al-Anbiya`: 18)
Dengan memahami hakikat yang kontras ini, kita dapat melihat bahwa pertarungan antara keduanya bukan pergulatan antara dua “kekuatan” yang setara, melainkan antara substansi dan ketiadaan, antara yang abadi dan yang fana.
Sunnah al-Tadafu’: Konflik Sebagai Penjaga Keseimbangan Alam
Dalam konteks pertarungan antara al-haqq dan al-bathil, konflik adalah sebuah kepastian yang tidak bisa dihindari. Ini menunjukkan bahwa tidak semua konflik adalah buruk dan negatif. Dalam konteks ini, konflik justru “perlu” diciptakan dan diwujudkan. Ini adalah sunnatullah atau hukum alam.
Hukum ini dikenal sebagai sunnah al-tadafu’, Al-tadafu‘ secara bahasa berarti saling mendorong, saling menolak, atau saling mengimbangi. Dalam konteks Qur`ani, ia merujuk pada pertarungan antara al-haqq dan al-bathil, antara nilai dan kepentingan, antara keberanian moral dan dominasi struktural. Pertarungan ini bukan anomali atau penyimpangan. Ia justru merupakan mekanisme penjaga keseimbangan moral dan sosial. Hukum alam al-tadafu’ ini secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur`an dan berfungsi sebagai kunci untuk memahami mengapa konflik diizinkan terjadi dan apa tujuan kosmik di baliknya.
Ayat sentral yang mengartikulasikan hukum alam ini terdapat dalam Surah Al-Baqarah, yang diungkapkan tepat setelah narasi kemenangan Daud ‘alayh al-salam. yang secara fisik lebih lemah dari pada Jalut yang perkasa:
… وَلَوْلَا دَفْعُ ٱللَّهِ ٱلنَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ ٱلْأَرْضُ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى ٱلْعَٰلَمِينَ
… Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. Akan tetapi, Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan-Nya) atas seluruh alam. (QS al-Baqarah: 251)
Ayat ini menetapkan sebuah hukum universal yang berlaku sepanjang sejarah. Kemenangan pihak yang benar atas pihak yang zalim bukan sebuah kebetulan, melainkan manifestasi dari sebuah hukum (alam) yang aktif bekerja dan dinamis, yang secara sengaja diciptakan oleh Allah Swt.
Tadafu’ adalah mekanisme penyeimbang kosmik. Mekanisme ini bekerja sebagai berikut: ketika sebuah kekuatan yang merepresentasikan kebatilan—baik itu dalam bentuk tirani, kezaliman, atau kerusakan—tumbuh menjadi dominan dan mengancam tatanan moral dan fisik bumi, Allah Swt. melalui hukum-Nya, akan membangkitkan kekuatan lain yang membawa panji-panji kebenaran untuk melawannya. Pertarungan yang terjadi kemudian berfungsi untuk “menolak” atau “mencegah” keganasan pihak yang batil, sehingga kerusakan absolut dapat dihindari. Tanpa adanya perlawanan ini, kezaliman akan merajalela tanpa batas, menindas kaum lemah, memadamkan cahaya kebenaran, dan pada akhirnya menghancurkan bumi itu sendiri. Oleh karena itu, konflik dalam kerangka ini bukan sebuah anomali atau tragedi semata, melainkan sebuah proses yang niscaya untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian kehidupan.
Dari sini, muncul sebuah gagasan yang tampak paradoksal: bahwa konflik itu sendiri, meskipun seringkali membawa penderitaan, merupakan salah satu bentuk karunia (fadhl) dan kasih sayang Tuhan kepada seluruh semesta alam. Sebagaimana penutup ayat tersebut menegaskan, “Akan tetapi, Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan-Nya) atas seluruh alam”. Karunia ini terletak pada fakta bahwa melalui mekanisme tadafu’, pintu harapan tidak pernah tertutup sepenuhnya. Selalu ada potensi bagi kebenaran untuk bangkit melawan kebatilan. Tanpa hukum ini, dunia akan tenggelam dalam kegelapan absolut di bawah dominasi satu kekuatan zalim. Dengan demikian, perjuangan itu sendiri adalah tanda dari pemeliharaan ilahi yang aktif, yang memastikan bahwa bumi tetap menjadi arena yang layak bagi ujian kemanusiaan untuk terus berlangsung.
Tadafu’ bukan benturan statis antara dua kekuatan. Sunnah al-tadafu’ dapat dipahami sebagai sebuah proses dialektika ilahi yang mendorong sejarah untuk terus bergerak maju. Ini bukan sekadar pertarungan antara “orang baik” melawan “orang jahat” yang berulang tanpa akhir. Sebaliknya, ini adalah proses dinamis di mana sebuah kondisi yang ada (tesis), misalnya dominasi sebuah rezim tiran yang batil, akan memunculkan lawannya (antitesis), yaitu perlawanan dari kaum yang memperjuangkan kebenaran. Hasil dari pertarungan ini akan melahirkan sebuah keadaan sejarah yang baru (sintesis), yang seringkali ditandai dengan kemenangan kebenaran atau setidaknya terpeliharanya ruang bagi kebenaran untuk terus eksis dan berkembang. Kisah Daud dan Jalut adalah contoh sempurna: status quo penindasan oleh Jalut (tesis) ditantang oleh kekuatan tak terduga dalam diri Daud (antitesis). Hasilnya bukan hanya kekalahan Jalut, tetapi lahirnya sebuah tatanan baru di bawah kepemimpinan Daud yang membawa kerajaan dan hikmah (sintesis).
Dialektika adalah proses berpikir atau metode argumentasi yang melibatkan pertentangan antara dua gagasan atau posisi, yang kemudian menghasilkan pemahaman baru atau sintesis yang lebih matang. Dalam konteks ilahi, dialektika ini bukan sekadar logika manusia, tapi memang cara Tuhan untuk menyaring nilai, menguji keberanian, dan menumbuhkan kematangan manusia.
Dalam kerangka dialektika:
- Tesis adalah kondisi dominan yang berlaku dalam suatu sistem atau masyarakat. Ia bisa berupa nilai, struktur, atau kekuasaan yang mapan.
- Antitesis adalah kekuatan yang menentangnya, dissent, kritik, atau nilai tandingan yang muncul sebagai respons terhadap ketimpangan atau kebatilan.
- Sintesis adalah hasil dari pertarungan keduanya, sebuah bentuk baru yang lebih matang, lebih adil, dan lebih mendekati maqashid al-syari’ah.
Dalam konteks sunnah al-tadafu’:
- Al-bathil sering tampil sebagai tesis dominan—dalam bentuk kekuasaan yang menindas, sistem yang korup, atau narasi yang menyesatkan.
- al-haqq bisa menjadi tesis dalam satu fase sejarah, tapi dalam fase lain, ia justru menjadi antitesis terhadap sistem yang telah menyimpang.
- Ketika al-haqq dan al-bathil bertarung, muncullah sintesis sejarah: pembaruan sistem, keberanian moral, dan lahirnya generasi yang lebih sadar nilai.
Konsep tadafu’ secara tidak langsung ingin menegaskan bahwa:
- Al-bathil tidak lenyap begitu saja, ia harus dihadapi, dibongkar, dan ditolak oleh aktor yang berani berpihak.
- al-haqq tidak hadir tanpa ujian, ia harus menembus kebatilan, bukan hanya secara argumen, tapi secara eksistensial.
- Maka, setiap pertarungan antara nilai dan kepentingan adalah bagian dari gerak sejarah yang didorong oleh kehendak ilahi, bukan sekadar dinamika sosial.
Cermin Sejarah I: Musa as. Melawan Fir’aun sebagai Arketipe Pertarungan
Al-Qur`an tidak hanya menyajikan prinsip-prinsip abstrak, tetapi juga menghadirkan studi kasus historis yang berfungsi sebagai arketipe (model utama atau pola dasar universal) untuk memahami pertarungan antara al-haqq dan al-bathil. Narasi yang paling menonjol dan terperinci adalah kisah Nabi Musa as. melawan Fir’aun. Kisah ini lebih dari sekadar catatan sejarah, tetapi juga sebuah drama kosmik yang mengilustrasikan seluruh konsep yang telah dibahas: (1) psikologi kebatilan yang sombong, (2) konfrontasi publik yang menentukan antara kebenaran dan kepalsuan, serta (3) hasil akhir yang tak terhindarkan yang dijamin oleh hukum alam (baca: sunnatullah).
1. Psikologi Kebatilan
Fir’aun ditampilkan sebagai perwujudan sempurna dari al-bathil yang memegang kekuasaan absolut. Kesombongannya mencapai puncaknya ketika ia mendeklarasikan status ketuhanannya di hadapan para pembesarnya, sebuah tindakan yang menunjukkan kebrutalan spiritual dan arogansi yang tak terbatas:
… وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرِى
Dan berkata Fir’aun, “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku … (QS al-Qashash: 38)
Lebih jauh, Fir’aun menggunakan taktik klasik rezim tiran: proyeksi. Proyeksi adalah taktis psikologis dan politis di mana seseorang atau rezim menuduh orang lain melakukan hal yang padahal ia sendiri melakukannya. Ia menuduh Musa as. datang untuk menciptakan kerusakan dan mengubah tatanan agama yang sudah mapan. Ia menuduh Musa ingin membuat kerusakan, padahal dirinyalah yang menindas, membunuh bayi, dan memperbudak rakyat. Ini adalah taktik klasik untuk menciptakan narasi bahwa lawan adalah ancaman, agar ia bisa mempertahankan citra dan legitimasinya.Kepada para pembesarnya, ia berkata,
وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُونِىٓ أَقْتُلْ مُوسَىٰ وَلْيَدْعُ رَبَّهُۥٓ ۖ إِنِّىٓ أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَن يُظْهِرَ فِى ٱلْأَرْضِ ٱلْفَسَادَ
Dan Fir’aun berkata (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi”. (QS al-Mu`min: 26)
Padahal, Fir’aun sendiri yang merupakan sumber kezaliman dan kerusakan, dengan memperbudak Bani Israil dan membunuhi bayi-bayi lelaki mereka. Taktik ini bertujuan untuk membingkai pembawa kebenaran sebagai ancaman terhadap stabilitas dan keamanan nasional, sebuah strategi yang terus berulang sepanjang sejarah. Sikapnya yang meremehkan kebenaran juga terlihat dari perintah sinisnya kepada menterinya, Haman, untuk membangun menara yang tinggi. Tujuannya bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk propaganda publik dan mengolok-olok konsep Tuhan yang transenden dan memperkuat cengkeraman materialisme di benak rakyatnya:
… فَأَوْقِدْ لِى يَٰهَٰمَٰنُ عَلَى ٱلطِّينِ فَٱجْعَل لِّى صَرْحًا لَّعَلِّىٓ أَطَّلِعُ إِلَىٰٓ إِلَٰهِ مُوسَىٰ وَإِنِّى لَأَظُنُّهُۥ مِنَ ٱلْكَٰذِبِينَ
… Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta” (QS al-Qashash: 38)
2. Konfrontasi
Pertarungan antara Musa as. dan Fir’aun mencapai klimaksnya bukan dalam pertempuran fisik, tetapi dalam sebuah konfrontasi intelektual dan spiritual di hadapan publik. Fir’aun mengumpulkan para penyihir terbaik dari seluruh negerinya untuk mengalahkan Musa as. dan membuktikan bahwa mukjizatnya hanyalah tipuan sihir. Namun, panggung yang ia siapkan untuk mempermalukan Musa as. justru menjadi panggung kehancurannya sendiri. Ketika para penyihir melemparkan tali-temali mereka dan menciptakan ilusi ular, Musa as., atas perintah Allah, melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi ular sungguhan dan menelan semua ilusi mereka.
Momen ini adalah momen kemenangan telak bagi al-haqq. Al-Qur`an menggambarkannya dengan sangat definitif:
فَوَقَعَ ٱلْحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
Lalu kebenaran terjadi dan sia-sialah segala yang mereka kerjakan. (QS al-A’raf: 118)
Kebenaran (al-haqq) yang dibawa Musa as. memiliki substansi, sementara sihir (al-bathil) para penyihir hanyalah ilusi yang tak berdaya di hadapannya. Konsekuensinya bukan hanya kekalahan teknis, tetapi juga kehancuran moral dan psikologis bagi rezim Fir’aun:
فَغُلِبُوْا هُنَالِكَ وَانْقَلَبُوْا صٰغِرِيْنَۚ
Mereka dikalahkan di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina. (QS al-A’raf: 119)
Kemenangan sejati pada momen ini bukan konversi Fir’aun, melainkan klarifikasi kebenaran di hadapan publik. Para penyihir, yang merupakan “ahli” dalam bidang kebatilan itu sendiri, adalah orang-orang pertama yang menyadari perbedaan fundamental antara sihir dan mukjizat ilahi. Mereka, yang paling tahu seluk-beluk tipu daya, segera bersujud dan menyatakan keimanan mereka kepada Tuhan Musa as. dan Harun as.. Tindakan mereka adalah kekalahan ideologis total bagi Fir’aun. Legitimasi rezimnya, yang dibangun di atas ilusi kekuatan dan kontrol, runtuh seketika di hadapan rakyatnya sendiri. Ini mengajarkan sebuah pelajaran penting: kemenangan kebenaran seringkali terjadi pertama kali di ranah ide dan legitimasi, sebelum terwujud dalam bentuk fisik.
3. Hasil Akhir: Kehancuran Penindas
Kehancuran fisik Fir’aun dan bala tentaranya di Laut Merah hanyalah konsekuensi akhir dari kekalahan ideologis yang telah ia alami (kekalahan para tukang sihirnya). Hasil akhir dari pertarungan panjang ini sepenuhnya sejalan dengan janji Allah kepada kaum yang tertindas. Kemenangan mereka bukan buah dari kekuatan militer, melainkan buah dari kesabaran (shabr) mereka dalam menghadapi penindasan selama bertahun-tahun. Al-Qur`an mengaitkan secara langsung antara kesabaran dan pemenuhan janji ilahi:
… وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَىٰ عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا ۖ …
… Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. … (QS al-A’raf: 137)
Di sisi lain, segala pencapaian material peradaban Fir’aun yang dibangun di atas kezaliman dan kebatilan terbukti fana dan tak bernilai. Istana-istana megah, bangunan-bangunan tinggi, dan kekuatan militer yang mereka banggakan dihancurkan tanpa sisa:
… وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ
Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka. (QS al-A’raf: 137)
Ini adalah penegasan dari prinsip dalam perumpamaan air dan busa: apa yang tidak bermanfaat dan dibangun di atas kebatilan pada akhirnya akan lenyap. Sebaliknya, kaum yang tadinya lemah dan tertindas diwarisi kekuasaan di bumi, sebagai bukti nyata dari pertolongan Allah:
وَنَصَرْنٰهُمْ فَكَانُوْا هُمُ الْغٰلِبِيْنَۚ
Kami telah menolong mereka sehingga mereka menjadi para pemenang. (QS al-Shaffat: 116)
Cermin Sejarah II: Yawm al-Furqan dan Pembedaan Tegas di Era Kenabian
Jika kisah Musa as. dan Firaun adalah arketipe pertarungan di masa lalu, maka Perang Badar di masa Nabi Muhammad saw. adalah momen penentu yang berfungsi sebagai Yawm al-Furqan—”Hari Pembeda”—bagi komunitas Muslim yang baru lahir. Peristiwa ini bukan sekadar pertempuran militer biasa, melainkan sebuah kejadian yang secara sengaja diatur oleh kehendak ilahi untuk secara tegas memisahkan komunitas kebenaran dari struktur kebatilan Jahiliah yang mengelilinginya, sekaligus untuk membuktikan bahwa kemenangan sejati tidak bergantung pada keunggulan material, melainkan pada pertolongan Allah.
Konteks Ilahi Perang Badar
Pertemuan di lembah Badar bukan hasil dari strategi militer kaum Muslim. Kaum Muslim pada awalnya keluar dari Madinah dengan tujuan mencegat kafilah dagang Quraisy yang tidak bersenjata lengkap, sebuah target yang mudah. Namun, Allah memiliki rencana lain. Al-Qur’an merekam perbedaan antara keinginan manusia dan kehendak Tuhan ini:
وَاِذْ يَعِدُكُمُ اللّٰهُ اِحْدَى الطَّاۤىِٕفَتَيْنِ اَنَّهَا لَكُمْ وَتَوَدُّوْنَ اَنَّ غَيْرَ ذَاتِ الشَّوْكَةِ تَكُوْنُ لَكُمْ وَيُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّحِقَّ الْحَقَّ بِكَلِمٰتِهٖ وَيَقْطَعَ دَابِرَ الْكٰفِرِيْنَۙ
(Ingatlah) ketika Allah menjanjikan kepada kalian bahwa salah satu dari dua golongan (yang kalian hadapi) adalah milik kalian, sedangkan kalian menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah milik kalian. Akan tetapi, Allah hendak menetapkan yang benar (Islam) dengan ketentuan-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir sampai ke akar-akarnya (QS al-Anfal: 7)
Allah secara sengaja mengarahkan mereka untuk berhadapan dengan pasukan inti Quraisy yang bersenjata lengkap, sebuah konfrontasi yang tampak mustahil untuk dimenangkan. Tujuannya sangat jelas dan fundamental: untuk menciptakan sebuah pemisahan yang tegas dan tak terbantahkan antara kebenaran dan kebatilan. Pertempuran ini dimaksudkan “untuk menegakkan yang hak dan melenyapkan yang batil, walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya.” Allah Swt. berfirman,
لِيُحِقَّ الْحَقَّ وَيُبْطِلَ الْبَاطِلَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُوْنَۚ
agar Allah menetapkan yang benar (Islam) dan menghilangkan yang batil (syirik), walaupun para pendosa (musyrik) itu tidak menyukai(-nya). (QS Al-Anfal: 8).
Dengan demikian, Badar bukan sebuah kecelakaan sejarah, tetapi sebuah janji temu (iltiqa` al-jam’an) yang telah ditetapkan oleh Allah untuk mengukuhkan eksistensi komunitas iman yang baru.
Hari Pembeda (Yawm al-Furqan)
Signifikansi teologis dari Perang Badar terangkum dalam istilah (term) yang diberikan oleh Al-Qur’an sendiri: Yawm al-Furqan. Dalam konteks pembagian harta rampasan perang, Allah Swt. berfirman,
… اِنْ كُنْتُمْ اٰمَنْتُمْ بِاللّٰهِ وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِۗ وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
… jika kalian (benar-benar) beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Nabi Muhammad) pada Hari al-Furqan (pembeda), yaitu hari bertemunya dua pasukan. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu (QS Al-Anfal: 41).
Kata Furqan berarti pembeda. Para ahli tafsir, seperti Ibnu Abbas ra., menegaskan bahwa peristiwa Badar dinamakan Yawm al-Furqan karena pada hari itulah Allah secara definitif memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.
Pemisahan ini terjadi pada beberapa level:
- Pertama, ia memisahkan secara ideologis antara tauhid dan syirik.
- Kedua, ia memisahkan secara politis antara komunitas Madinah yang baru merdeka di bawah kepemimpinan Nabi dan hegemoni Quraisy di Mekah.
- Ketiga, dan yang paling dramatis, ia memisahkan secara sosial. Dalam pertempuran ini, ikatan iman terbukti lebih kuat daripada ikatan darah. Kaum Muslim harus berhadapan dan bahkan membunuh ayah, paman, saudara, dan kerabat mereka sendiri yang berada di pihak musyrik. Ini adalah ujian loyalitas tertinggi, yang secara permanen “memisahkan” (furqan) identitas baru mereka sebagai bagian dari ummah dari identitas lama mereka sebagai bagian dari suku. Peristiwa Badar, dengan demikian, berfungsi sebagai “akta kelahiran” sebuah komunitas baru yang definisinya tidak lagi terikat oleh etnis atau geografi, melainkan oleh komitmen tunggal kepada al-haqq.
Paradoks Kemenangan Asimetris
Paradoks adalah sebuah pernyataan atau situasi yang tampaknya bertentangan dengan logika atau kebenaran umum, tetapi justru mengandung kebenaran yang lebih dalam dan kompleks, sedangkan perang asimetris adalah jenis konflik di mana dua pihak yang bertikai memiliki kekuatan, sumber daya, atau strategi yang sangat tidak seimbang. Pihak yang lebih lemah biasanya tidak menggunakan cara konvensional seperti perang terbuka, melainkan taktik cerdas dan fleksibel untuk mengeksploitasi kelemahan lawan. Kemenangan di Badar adalah sebuah paradoks dari sudut pandang militer konvensional. Pasukan Muslim berjumlah sekitar 313 orang dengan persenjataan seadanya, menghadapi pasukan Quraisy yang berjumlah sekitar 1.000 orang dengan perlengkapan perang yang jauh lebih superior. Kemenangan dalam kondisi yang sangat tidak seimbang ini menjadi bukti nyata adanya campur tangan ilahi. Al-Qur’an mengingatkan kaum Muslim akan hal ini untuk menanamkan rasa syukur dan tauhid:
وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّٰهُ بِبَدْرٍ وَّاَنْتُمْ اَذِلَّةٌۚ فَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Sungguh, Allah benar-benar telah menolong kalian dalam Perang Badar, dalam kondisi kalian (pada saat itu) adalah orang-orang lemah. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah agar kalian bersyukur. (QS Ali ‘Imran: 123)
Kemenangan ini mengesahkan komunitas Muslim di mata dunia Arab saat itu. Mereka tidak lagi dipandang sebagai sekelompok pengungsi yang lemah, tetapi sebagai sebuah kekuatan baru yang nyata dan didukung oleh kekuatan ilahi. Dengan demikian, Yawmul Furqan tidak hanya memisahkan kebenaran dari kebatilan, tetapi juga mengukuhkan kebenaran itu sebagai sebuah kekuatan yang patut diperhitungkan di panggung sejarah, membuktikan sekali lagi bahwa dalam pertarungan yang diatur oleh sunnatullah, jumlah dan kekuatan senjata bukan faktor penentu.
Studi Kasus: Konflik Palestina–Perang Asimetris dan Kemenangan Kehendak
Konflik Israel-Palestina adalah contoh klasik dari perang asimetris, di mana terjadi ketidakseimbangan kekuatan yang sangat besar antara negara dengan militer berteknologi canggih dan sebuah gerakan perlawanan non-negara dengan sumber daya yang terbatas.
Dengan menerapkan kerangka Qur’ani, kita dapat mendefinisikan ulang konsep “kemenangan” al-haqq. Kemenangan dalam perjuangan asimetris seperti ini seringkali mengambil bentuk “kemenangan
Ini adalah kemampuan untuk bertahan, menolak untuk menyerah, dan menjaga api perjuangan tetap menyala meskipun menghadapi tekanan militer, ekonomi, dan politik yang luar biasa. Kemampuan perlawanan Palestina untuk terus eksis, beradaptasi dengan taktik-taktik baru, dan menjaga isu Palestina tetap hidup di panggung internasional, meskipun menghadapi blokade dan serangan berulang kali, dapat dilihat sebagai manifestasi dari prinsip bahwa al-haqq (dalam hal ini, perjuangan untuk keadilan dan pembebasan) memiliki daya tahan inheren yang tidak dapat dipadamkan oleh kekuatan material al-bathil. Daya tahan inheren berarti kemampuan bertahan yang sudah melekat secara alami dalam suatu entitas atau sistem. Ini adalah gema modern dari kemenangan di Badar, di mana kekuatan yang lebih lemah, melalui keyakinan dan ketabahan, berhasil menggagalkan tujuan strategis dari kekuatan yang jauh lebih besar.
Analisis ini memaksa kita untuk melihat melampaui perhitungan material semata. Dalam pertarungan yang berkepanjangan dan tidak seimbang, kemenangan dapat didefinisikan dalam beberapa dimensi.
- Kelangsungan hidup (survival) itu sendiri adalah sebuah kemenangan: bertahan dari upaya pemusnahan adalah bukti dari prinsip bahwa yang hakiki akan tetap ada.
- Kemenangan moral dan naratif: berhasil mengungkap kezaliman lawan di panggung dunia dan mendelegitimasi narasi mereka adalah sebuah kemenangan yang signifikan di era informasi.
- Ketahanan iman (spiritual resilience): menjaga keyakinan, identitas, dan harapan tetap hidup di bawah tekanan yang paling ekstrem adalah inti dari “kemenangan kehendak”.
Kepastian Kemenangan dan Pengadilan Akhir
Perjalanan melalui ayat-ayat Al-Qur`an dan cermin sejarah telah menunjukkan sebuah pola yang konsisten dan sebuah narasi yang agung. Sejarah, dalam pandangan Islam, bukan sebuah kekacauan tanpa arah, tetapi sebuah arena ujian yang diatur oleh hukum-hukum ilahi. Di pusatnya terdapat pertarungan abadi antara al-haqq—kebenaran yang substansial, bermanfaat, dan abadi—dan al-bathil—kebatilan yang dangkal, merusak, dan fana. Dari metafora air dan busa, kita belajar tentang hakikat keduanya. Melalui konsep sunnatullah at-tadafu’, kita memahami bahwa konflik itu sendiri adalah mekanisme ilahi untuk mencegah kerusakan total dan mendorong sejarah ke depan. Kisah-kisah arketipal seperti Musa as. melawan Fir’aun dan pertempuran Badar sebagai Yaumul Furqan memberikan model nyata tentang bagaimana pertarungan ini berlangsung dan bagaimana hasilnya telah ditentukan.
Sintesis dari semua ini mengarah pada sebuah kesimpulan yang tak terelakkan: kemenangan akhir bagi kebenaran adalah sebuah janji ilahi yang pasti. Meskipun dalam babak-babak tertentu dalam sejarah, kebatilan mungkin tampak dominan, penampilannya yang megah hanyalah seperti busa di atas air—pada akhirnya ia akan lenyap. Ini adalah sebuah hukum kosmik yang ditegaskan oleh Allah: “…dan Allah menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimat-kalimat-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (Surah Ash-Shura: 24).
Janji ini memberikan harapan dan kekuatan bagi mereka yang berjuang di jalan kebenaran, meyakinkan mereka bahwa usaha mereka tidak akan sia-sia.
Namun, Al-Qur`an juga mengajarkan bahwa sementara sejarah di dunia adalah arena pertempuran, ia bukan panggung resolusi final. Keadilan yang sempurna dan kemenangan yang absolut akan terwujud pada Hari Pengadilan. Di sanalah semua catatan akan dibuka, semua perbuatan akan ditimbang, dan semua perselisihan akan diselesaikan dengan kebenaran yang mutlak. Inilah pengadilan terakhir yang akan mengakhiri semua konflik historis. Sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah, ‘Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia akan memberi keputusan antara kita dengan benar. Dan Dialah Maha Pemberi keputusan, Maha Mengetahui.'” (Surah Saba: 26).
Ayat ini mengarahkan pandangan kita melampaui cakrawala duniawi menuju sebuah keadilan eskatologis yang sempurna. Keadilan eskatologis adalah konsep bahwa keadilan sejati dan sempurna akan ditegakkan di akhirat atau pada akhir zaman, bukan selalu di dunia sekarang.
Pada akhirnya, seluruh sejarah umat manusia dapat dilihat sebagai satu narasi ilahi yang koheren: kisah para pembawa risalah kebenaran dan perlawanan yang mereka hadapi dari kekuatan kebatilan. Al-Qur`an menyatakan bahwa pola ini berulang di sepanjang zaman, baik dalam kisah-kisah yang diceritakan maupun yang tidak: “Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu… Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.” (Surah Ghafir: 78). Pesan ini mengikat setiap perjuangan untuk keadilan, dari masa lalu hingga masa kini, ke dalam sebuah kerangka ilahi yang agung. Ia mengajak setiap individu untuk merenungkan posisi mereka dalam pertarungan abadi ini, dan untuk memegang teguh harapan yang bersumber dari janji ilahi bahwa kebenaran, betapapun lemah dan teraniaya ia tampak di suatu masa, pada akhirnya akan menang.
Artikel ini merupakan parafrasa dari artikel ini (diakses terakhir 27 Agustus 2025, pukul 19.20 WIB)















