Meninggal Dunia dalam Kondisi Junub

Meninggal Dunia dalam Kondisi Junub

Seperti dijelaskan dalam artikel di sini, seorang Muslim yang berada dalam keadaan junub diperbolehkan untuk menunda mandi junub setelah berhubungan suami-istri atau “mimpi basah”. Mereka diizinkan menunda mandi junub hingga terbangun dari tidur, dengan catatan penundaan ini tidak sampai keluarnya waktu salat.

Kematian Junub Tidak Menandakan Kematian yang Buruk

Meninggal dalam keadaan junub bukanlah indikasi bahwa seseorang memiliki akhir yang buruk. Kematian junub bukan pula menunjukkan lemahnya iman atau adanya kedurhakaan. Ini berlaku bagi mereka yang junub karena alasan yang dibolehkan, seperti hubungan suami istri atau karena mimpi basah (ihtihlam).

Terdapat sejumlah contoh dari sahabat Rasulullah saw. yang meninggal dalam keadaan junub:

  1. Hamzah bin Abdul Muththalib r.a., paman Rasulullah (adik ayah beliau) yang gugur syahid dalam Perang Uhud

    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : قُتِلَ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَمُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ جُنُبًا ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ غَسَّلَتْهُ الْمَلَائِكَةُ (رواه الحاكم، المستدرك على الصحيحين، ج 6, ص 217، الرقم ٤٩٣٧، دار المنهاج القويم)

    Dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata, “Hamzah bin Abdul Muththalib r.a., paman Rasulullah saw. terbunuh dalam keadaan junub. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Malaikat memandikannya.””

  2. Hanzhalah bin Abi ‘Amir yang juga gugur syahid dalam Perang Uhud

    عن عبد الله (بن الزبير) قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ عِنْدَ قَتْلِ حَنْظَلَةَ بْنِ أَبِي عَامِرٍ بَعْدَ أَنِ الْتَقَى هُوَ وَأَبُو سُفْيَانَ بْنُ الْحَارِثِ، ثُمَّ عَلَاهُ شَدَّادُ بْنُ الْأَسْوَدِ بِالسَّيْفِ فَقَتَلَهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: “إِنَّ صَاحِبَكُمْ تُغَسِّلُهُ الْمَلَائِكَةُ”، فَسَأَلُوا صَاحِبَتَهُ، فَقَالَتْ: إِنَّهُ خَرَجَ لَمَّا سَمِعَ الْهَائِعَةَ وَهُوَ جُنُبٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: “لِذَلِكَ ‌غَسَّلَتْهُ ‌الْمَلَائِكَةُ (رواه الحاكم، المستدرك على الصحيحين، ج 6, ص 242،الرقم ٤٩٧٢، دار المنهاج القويم)

    Abdullah (bin Zubayr) berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda saat terbunuhnya Hanzhalah bin Abi ‘Amir, setelah ia berduel dengan Abu Sufyan bin Al-Harith, kemudian Syaddad bin Al-Aswad menebasnya dengan pedang hingga ia terbunuh. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya sahabat kalian sedang dimandikan oleh para malaikat.””
    Para sahabat pun bertanya kepada istrinya (istri Hanzhalah), dan istrinya menjelaskan, “Dia keluar (menuju medan perang) ketika mendengar seruan pertempuran, padahal ia dalam keadaan junub.” Rasulullah saw. bersabda, “Itulah sebabnya para malaikat memandikannya.”

Kedua kisah ini menegaskan bahwa kematian dalam keadaan junub tidak bisa dinilai sebagai penanda buruknya akhir kehidupan seseorang. Sebaliknya, dua contoh di atas, bahkan bisa membuktikan bahwa mereka meninggal dunia dalam kondisi mulia di sisi Allah ta’ala.

Dimandikan malaikat adalah bentuk kemuliaan dari Allah. Pemuliaan terhadap sahabat-sahabat yang meninggal dalam keadaan junub membuktikan bahwa hal tersebut bukanlah tanda keburukan.

Apakah Mereka Dimandikan Dua kali?

Jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan junub, atau seorang wanita meninggal dalam keadaan haid, maka cukup dimandikan dengan satu kali mandi saja. Satu kali memandikan sudah mencukupi, baik untuk mandi kematian maupun mandi junub atau haid. Sama halnya dengan jika kita mengalami beberapa sebab yang mewajibkan wudhu, seperti buang angin, buang air kecil, dan tidur lelap, maka cukup satu kali wudhu untuk semuanya.

Tokoh Syafi’iyyah, imam al-Nawawiy menulis,

مَذْهَبُنَا ‌أَنَّ ‌الْجُنُبَ ‌وَالْحَائِضَ ‌إذَا ‌مَاتَا غُسِّلَا غُسْلًا وَاحِدًا وَبِهِ قَالَ الْعُلَمَاءُ كَافَّةً إلَّا الْحَسَنَ الْبَصْرِيَّ فَقَالَ يُغَسَّلَانِ غُسْلَيْنِ قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ لَمْ يَقُلْ بِهِ غَيْرُهُ (المجموع للنووي, ج 5, ص 152, المنيرية)

Mazhab kami (Syafi’iyah) menyatakan bahwa orang yang meninggal dalam keadaan junub atau haid cukup dimandikan sekali saja. Ini juga merupakan pendapat mayoritas ulama, kecuali al-Hasan al-Bashriy (21-110 H) yang berpendapat harus dimandikan dua kali. Ibnul Mundzir (241-318 H) berkata: Tidak ada yang sependapat dengannya (Hasan al-Bashri).

Mereka yang meninggal dalam keadaan junub hanya membutuhkan satu kali mandi, bukan dua kali. Hal ini menunjukkan bahwa mandi junub bagi mereka yang meninggal dalam keadaan junub dilakukan sesuai dengan syariat dan tidak membutuhkan tindakan khusus lainnya. Tidak ada ketentuan dalam Islam yang menyebutkan bahwa orang yang mati junub harus dimandikan dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan orang yang meninggal dalam keadaan biasa.

Meninggal dalam keadaan junub, baik disebabkan oleh hubungan suami istri maupun mimpi basah, tidak menunjukkan bahwa seseorang tersebut memiliki akhir yang buruk. Kematian junub tidak bukan indikator atau tanda bahwa dia memiliki iman yang lemah atau pelaku ma’shiyah (kedurhakaan).


فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا

"Jangan kalian mengikuti hawa nafsu (kecenderungan diri) karena ingin menyimpang dari kebenaran" (Q.S. An-Nisaa`, 135)