Salah satu ajaran paling mulia dan perintah yang sangat luhur dalam agama kita yang penuh rahmat ini adalah berbakti kepada kedua orang tua. Allah Subhanahu wa Ta ‘ala memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada mereka, dan menjanjikan balasan yang luar biasa, yaitu keberkahan di dunia dan pahala yang besar di akhirat.
Orang tua itu ibarat pintu surga dan menjadi kunci kebahagiaan bagi siapa saja yang memuliakan mereka.
Perintah Memuliakan dan Berbuat Baik Kepada Orang Tua (Birr al-Walidayn)
إِذْ أَخَذْنَا مِيثَٰقَ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا ٱللَّهَ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَانًا … (البقرة: ٨٣)
“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada kedua orang tua …”
Rahasia di balik perintah Allah untuk berbuat baik kepada orang tua, yang datang tepat setelah perintah mentauhidkan Allah adalah fakta bahwa
- Allah adalah pencipta manusia. Ini adalah nikmat-Nya terbesar, maka sudah sepantasnya kita mendahulukan syukur kepada-Nya sebelum bersyukur kepada siapa pun.
- Setelah nikmat dari Allah, nikmat terbesar berikutnya datang dari kedua orang tua, karena merekalah asal-usul dan sebab keberadaan kita di dunia ini. Mereka juga yang membesarkan dan mendidik kita. Adapun orang lain, mungkin hanya memberi kebaikan dalam bentuk pendidikan atau bantuan, tapi tidak menjadi sebab langsung keberadaan kita.
Dalam Surah Al-Isra’ ayat 23 dan 24, Allah menjelaskan perintah ini secara lebih detail, termasuk cara bersikap dan berbicara kepada orang tua. Allah berfirman,
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا (23) وَٱخۡفِضۡ لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحۡمَةِ وَقُل رَّبِّ ٱرۡحَمۡهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرٗا (24)(الإِسْرَاء: 23-24)
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (23) Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (24)
Mengomentari 2 (dua) ayat ini, al-imam al-Qusyayriy menulis,
“Allah memerintahkan hamba-Nya untuk memenuhi kewajiban memuliakan kedua orang tua, meski keduanya adalah makhluk (tercipta) yang sama dengannya. Orang yang tidak mampu menunaikan kewajiban ini terhadap sesamanya, bagaimana mungkin ia sanggup menunaikan kewajibannya terhadap Penciptanya (secara sempurna)?”
Maksud beliau, berbuat baik dan berbakti kepada orang tua merupakan ujian awal. Jika seorang anak tidak bisa menghormati dan membalas budi kepada mereka yang jelas-jelas ada/eksis, terlihat, manusia paling berjasa, dan orang yang paling dekat denganya, tentu lebih sulit lagi baginya untuk menunjukkan kesungguhannya dalam beribadah dan mengabdi kepada Allah yang tidak terlihat, lebih berjasa dengan banyaknya nikmat yang diberikan kepadanya.
Kegagalan dalam memenuhi kewajiban memuliakan dan berbakti kepada orang tua adalah awal kegagalan dalam memenuhi kewajiban beribadah/mengabdi kepada Allah Sang Pencipta. Pemuliaan orang tua adalah batu loncatan pertama untuk mengabdi kepada Allah secara benar.
Mengabaikan kewajiban berbakti dan memuliakan orang tua bukan sekadar kelalaian etika dan budaya sebagaimana dalam tradisi masyarakat Indonesia, tetapi juga tanda awal kegagalan dalam mengabdi kepada Sang Pencipta. Hal ini semakin mempertegas alasan mengapa perintah memuliakan orang tua -dalam beberapa ayat di Al Qur`an- disandingkan di posisi kedua setelah perintah beribadah/mengabdi hanya kepada Allah.
Selaras dengan pesan ayat-ayat di atas, berikut dialog antara Rasulullah s.a.w. dengan shahabatnya yang bernama Ibnu Mas ‘ud r.a.
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ: الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.
Aku (Ibnu Mas ‘ud) bertanya kepada Nabi s.a.w.,
“Perbuatan apa yang paling dicintai oleh Allah?”
Beliau menjawab, “Salat tepat pada waktunya.”
Aku bertanya lagi, “Lalu apa?”
Beliau menjawab, “Berbakti kepada kedua orang tua.”
Aku bertanya lagi, “Lalu apa?”
Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” (Muttafaq ‘alayh)
Hadis ini menempatkan posisi memuliakan dan berbakti kepada kedua orang tua (birr al-walidayn) pada posisi kedua setelah shalat yang merupakan tiang eksistensi agama islam.
Pesan para Ulama tentang Pentingnya Birr al-Walidayn
‘Abd al-‘Aziz bin Hilmiy Makkiy, penyunting ilmiah (muhaqqiq) buku Birr al-Walidayn karya al-imam al-Bukhariy (194–256 H) dalam muqaddimah suntingannya mengatakan,
Berbakti kepada orang tua akan mendudukkan pelakunya di atas singgasana kemuliaan, mengangkatnya ke level orang-orang terhormat, dan menempatkannya di atas tahta kejayaan. – ‘Abd al-‘Aziz bin Hilmī Makkiy
Begitu pentingnya perintah birr al-walidayn dalam ajaran islam hingga mendorong banyak ulama pemerhati Sunnah di masa lalu menulis buku-buku dengan tema terkait.
Para ulama penyusun dan pengumpul hadis (Sunnah) di awal-awal sejarah Islam telah mengkhususkan bab-bab tentang berbakti kepada orang tua dan menjaga silaturahmi dalam karya-karya mereka, seperti:
- Imam al-Bukhariy yang menyusun sebuah bab tersendiri dengan judul Al-Adab (Etika) dalam Shahih-nya.
- Imam Muslim yang menyusun bab khusus dengan judul Al-Birr wa Al-Shilah wa Al-Adab (Berbakti, Silaturahmi, dan Etika) dalam Shahih-nya.
Begitu juga dengan imam-imam lainnya, semoga Allah mengasihi mereka semua.
Hampir setiap karya hadis yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu pasti salah satunya berupa bab yang berkaitan dengan berbakti kepada orang tua dan menyambung silaturahmi.
Sementara itu, karya-karya yang menyatukan hadis-hadis dengan tema berbakti kepada orang tua dalam satu buku terpisah, jumlahnya sangat banyak. Di antaranya―sekedar menyebut contoh―adalah:
- Birr al-Walidayn oleh al-Bukhari (w. 256 H), yang disusun ±1190 tahun, nyaris 12 abad yang lalu.
- Birr al-Walidayn oleh Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq al-Harbiy al-Baghdadiy al-Syafi ‘iy (w. 285 H), ditulis ±1161 tahun atau 11 abad lebih yang lalu.
- Birr al-Walidayn oleh Abu Muhammad al-Qasim bin Asbagh al-Qurtubiy al-Malikiy (w. 340 H), yang ditulis ±1106 tahun yang lalu.
Mereka adalah ulama-ulama besar yang sering dijadikan rujukan dalam tradisi ilmiah di lingkungan kampus studi Islam. Perhatian mereka terhadap masalah ini adalah bukti bahwa Birr al-Walidayn adalah pokok penting dalam ajaran agama Islam.
Apa Untungnya Birr al-Walidayn?
Secara naluriah, manusia senang melakukan sesuatu yang mendatangkan manfaat nyata. Al-Qur ‘an dan Sunnah sendiri menggunakan pendekatan imbalan (reward) sebagai motivasi. Dalam konteks ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) informasi hadis yang menunjukkan keuntungan apa saja yang bisa diraih dari memuliakan dan berbakti kepada orang tua.
Solusi bagi Kesulitan
Berbakti kepada orang tua adalah dapat mengatasi kesulitan yang dialami oleh seorang anak dalam hidupnya. Dalam sebuah kisah yang diceritakan oleh Ibn Umar r.a., bahwa Rasulullah SAW pernah bercerita tentang tiga orang yang terjebak dalam gua karena tertutup batu besar. Mereka berdoa kepada Allah dengan menyebut amal baik yang pernah mereka lakukan. Yang pertama dari mereka berdoa dengan menyebutkan baktinya kepada orang tuanya. Dia berdoa,
اللَّهُمَّ كَانَ لِي أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ، وَكُنْتُ لَا أَغْبِقُ قَبْلَهُمَا أَهْلًا وَلَا مَالًا، فناء بِي فِي طَلَبِ شَيْءٍ يَوْمًا، فَلَمْ أُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا، فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ، وَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلًا أَوْ مَالًا، فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَيَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ، فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ (رواه البخاريّ عن عمرَ بنِ الخطّابِ رضي الله عنه)
“Ya Allah, aku memiliki dua orang tua yang sudah sangat tua. Aku tidak pernah memberikan minuman sore (susu) kepada siapa pun sebelum mereka—baik kepada keluargaku (istri dan anak-anak, pen.) maupun hartaku (seperti budakku, pen.). Suatu hari, aku pergi (jauh) mencari sesuatu dan tidak kembali kepada mereka hingga mereka tertidur. Aku pun memerah susu untuk mereka, tetapi ketika aku datang, aku mendapati mereka telah tertidur. Aku tidak ingin memberikan minuman kepada siapa pun sebelum mereka—baik keluarga maupun harta. Aku tetap berdiri dengan bejana di tanganku, menunggu mereka bangun hingga fajar menyingsing. Ketika mereka bangun, mereka pun meminumkan susu untuk mereka. Ya Allah, jika aku melakukan itu semata-mata karena mengharap wajah-Mu (ikhlas karena-Mu), maka mohon bukakanlah jalan keluar bagi kami dari kesulitan yang kami alami akibat batu besar ini (yang menutup mulut gua).”
Allah mengabulkan doanya. Batu itu pun bergeser sedikit, namun (kali ini) mereka belum dapat keluar. Hingga ketiganya berdoa, Allah membuka sama sekali mulut gua dari batu besar yang menutupnya.
Sumber Rezeki
Berbakti kepada orang tua juga bisa memperlancar rezeki dan membawa keluasan materi dalam hidup. Rasulullah s.a.w. bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ (متّفق عليه عن عن أنسِ بنِ مالك رضي الله عنه)
“Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.”
Dalam hal ini, orang tua adalah keluarga terdekat yang paling utama untuk dijaga hubungan silaturahminya.
Pintu Termudah Menuju Surga
Sebagai tambahan, dalam hal pahala di akhirat, Rasulullah s.a.w. menyebutkan bahwa orang yang berbakti kepada orang tua akan mendapatkan surga dengan mudah. Rasulullah s.a.w. bersabda,
الوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الجَنَّةِ، فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ البَابَ أَوْ احْفَظْهُ (رواه الترمذيّ عن أبي الدرْداء. وقال هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ)
“Orang tua adalah pintu tengah dari surga. Jika kamu mau, sia-siakanlah pintu itu, atau (jika kamu mau) jagalah (pintu itu).”
“Pintu tengah” di sini melambangkan pintu yang paling utama, terbaik, dan termudah untuk masuk/akses ke surga. Dengan kata lain, berbakti kepada orang tua adalah salah satu jalan terbaik dan termudah menuju surga.
Hati-hati dengan Doa Buruk/Sumpah Orang Tua terhadap Anaknya
Rasulullah SAW pernah bersabda,
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ: دَعْوَةُ المَظْلُومِ، وَدَعْوَةُ المُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ (رواه الترمذيّ عن أبي هريرة رضي الله عنه وقال هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ)
“Tiga doa yang pasti dikabulkan, tanpa keraguan: (1) doa orang yang terzalimi, (2) doa orang yang sedang bepergian, dan (3) doa buruk orang tua terhadap anaknya.”
Bagi orang tua, kekuatan “ucapannya” juga selayaknya membuatnya untuk berhati-hati dan tidak mudah mengucapkan sumpah serapah (baca: doa buruk) kepada anak-anaknya. Dalam kesempatan lain, Rasulullah s.a.w. bersabda,
لا تَدعُوا عَلى أَنْفُسِكُم، وَلا تدْعُوا عَلى أَولادِكُم، وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُم، لا تُوافِقُوا مِنَ اللَّهِ سَاعَةً يُسأَلُ فِيهَا عَطاءً، فيَسْتَجيبَ لَكُم (رواه مسلم عن جابر رضي الله عنه)
“Janganlah kalian berdoa buruk terhadap diri kalian, jangan pula terhadap anak-anak kalian, jangan pula terhadap harta benda kalian. Jangan sampai kalian berdoa (keburukan) bertepatan dengan waktu yang mustajab dari Allah, lalu doa (buruk) tersebut dikabulkan untuk kalian.”