Salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya adalah dibukanya pintu doa sebagai sarana permintaan, keluhan, dan pengakuan kelemahan di hadapan-Nya. Namun, tidak semua doa langsung dikabulkan. Dalam berbagai riwayat dan pendapat ulama, dijelaskan bahwa salah satu sebab tertahannya doa adalah tidak disertainya shalawat kepada Nabi Muhammad s.a.w. Artikel ini mengulas tentang urgensi shalawat sebagai elemen penting dalam struktur doa.
Makna Shalawat untuk Nabi s.a.w.
Mengutip keterangan beberapa ulama, Ibn Hajar al-‘Asqalaniy (852 – 773 H) dalam Fath al-Bari menulis,
- Menurut al-Halimiy (w.403), bershalawat kepada Nabi Muhammad s.a.w. sejatinya adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah melalui ketaatan terhadap perintah-Nya. Shalawat juga merupakan cara kita menunaikan hak Nabi s.a.w. atas umatnya.
- Pendapat ini kemudian diikuti oleh Imam Ibn ‘Abd al-Salam (577-660 H) yang memberikan penegasan bahwa shalawat bukanlah bentuk syafaat (pertolongan) kita untuk Nabi s.a.w. karena kita tentu tidak pantas memberi syafaat kepada pribadi semulia beliau. Hanya saja, dalam ajaran Islam, siapa pun yang berbuat baik kepada kita maka kita wajib membalas kebaikannya. Karena kita sadar tidak mungkin membalas jasa Nabi s.a.w. sebagaimana mestinya, maka Allah memerintahkan kita untuk membalasnya dengan doa, yaitu shalawat. Ini adalah bentuk penghormatan dan balasan yang paling layak, sekaligus bentuk ibadah yang Allah tunjukkan karena Dia tahu keterbatasan kita sebagai umat.
- Ibn al-‘Arabiy (558-638 H) menambahkan bahwa sejatinya manfaat shalawat bukan untuk Nabi s.a.w. secara langsung, tetapi kembali kepada orang yang membacanya. Shalawat mencerminkan kebersihan akidah, ketulusan hati, tanda cintanya kepada Nabi s.a.w., konsistensi dalam ibadah, dan penghormatan kepada beliau sebagai pembawa wahyu dan perantara rahmat Allah.
Doa Tertahan Tanpa Shalawat
Al-‘Aziziy(w. 1070 H /1660 M) menulis,
عَنْ ابْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ:
“كُلُّ دُعَاءٍ مَحْجُوبٌ” عَنِ الْقَبُولِ “حَتَّى يُصَلَّى” بِالْبِنَاءِ لِلْمَفْعُولِ، أَيْ: حَتَّى يُصَلِّيَ الدَّاعِي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
ظَاهِرُهُ: وَلَوْ بَعْدَ طُولِ الزَّمَنِ، وَإِنْ لَمْ يَقْصِدِ الدَّاعِي بِصَلَاتِهِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَبَ الْإِجَابَةِ.
“Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bin al-Khaṭṭāb dengan sanad dha’if,
“Setiap doa terhalang (dari diterima)” sampai “diucapkan shalawat”.
Maksudnya, hingga orang yang berdoa bershalawat kepada Nabi s.a.w.
Zhahir dari pesan hadis ini, bershalawat tetap dianjurkan meskipun setelah waktu berlalu lama, dan walaupun orang yang berdoa itu tidak bermaksud meminta terkabulnya doa melalui shalawatnya.”
Al-‘Aziziy menarik kesimpulan bahwa meskipun seseorang lupa membaca shalawat ketika berdoa, kemudian mengucapkannya di waktu lain, maka doanya tetap dapat dikabulkan karena shalawatnya ini. Ini menunjukkan bahwa keberadaan shalawat—meski tidak selalu tepat waktu—masih memiliki pengaruh kuat dalam menyingkap hijab (penghalang) antara doa dan penerimaan oleh Allah S.w.t., bahkan jika seseorang tidak sengaja berniat menjadikan shalawatnya sebagai bagian dari doanya, tetap saja shalawat itu menjadi perantara turunnya rahmat dan penerimaan atas permintaan hamba.
Dengan kata lain, shalawat adalah sarana yang bernilai tetap, tidak terikat oleh waktu yang ketat. Kehadirannya akan membuka pintu langit, meskipun datang terlambat.
Struktur Ideal dalam Berdoa
Dianjurkan dalam Islam untuk menyusun doa dengan urutan tertentu, sebagaimana riwayat atau informasi berikut:
سمعَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ رجلًا يَدعو في صلاتِهِ لم يُمجِّدِ اللَّهَ تعالى ولم يُصلِّ علَى النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ عجِلَ هذا ثمَّ دعاهُ فقالَ لَهُ أو لغيرِهِ إذا صلَّى أحدُكُم فليَبدَأ بتَمجيدِ ربِّهِ جلَّ وعزَّ والثَّناءِ علَيهِ ثمَّ يصلِّي علَى النَّبيِّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ ثمَّ يَدعو بَعدُ بما شاءَ (رواه أبُو دَاوُدَ عَنْ فَضالةَ بن عُبَيْدٍ رضي الله عنه [ 1481] – صحيحٌ)
“Rasulullah s.a.w. mendengar seseorang berdoa dalam salatnya, tetapi ia tidak memuji Allah S.w.t. dan tidak bershalawat kepada Nabi s.a.w. Lalu Rasulullah s.a.w. bersabda, “Orang ini tergesa-gesa.”
Kemudian beliau memanggil orang itu dan bersabda kepadanya atau kepada orang lain, “Jika salah seorang di antara kalian shalat, hendaklah ia memulai dengan memuji Tuhannya, lalu bershalawat untuk Nabi s.a.w., kemudian setelah itu ia dapat berdoa dengan apa pun (permintaan) yang dia kehendaki.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menyajikan struktur yang sangat jelas, yaitu doa sebaiknya diawali dengan memuji Allah S.w.t., dilanjutkan dengan shalawat untuk Nabi s.a.w., kemudian baru menyampaikan permintaan. Susunan ini menunjukkan adab kepada Allah sebagai Tuhan yang Maha Pemurah, serta penghormatan kepada Nabi sebagai perantara turunnya wahyu dan rahmat. Struktur ini bukan hanya sunnah dalam adab berdoa, tetapi juga merupakan strategi spiritual agar permintaan seorang hamba diterima oleh Tuhan-nya.
Dengan mengikuti urutan ini, doa menjadi tidak sekadar permintaan, tetapi juga bentuk pengagungan, pengakuan atas kenabian, dan penghayatan terhadap hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan Rasulullah s.a.w.). Ini membuat suatu doa lebih berbobot secara spiritual dan memiliki peluang besar untuk dikabulkan.
Tiga Pola Penempatan Shalawat dalam Doa
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah (691 – 751 H) dalam buku Jala` al-Afham menguraikan bahwa shalawat dalam struktur doa dapat ditempatkan dalam 3 (tiga) pola:
- Shalawat diposisikan di awal setelah pujian untuk Allah S.w.t.
Pola 1: Hamdalah Shalawat Doa - Shalawat diposisikan di awal, tengah, dan akhir doa.
Pola 2: (Hamdalah) Shalawat Doa Shalawat Doa Shalawat - Shalawat diposisikan di awal dan diakhir, dengan doa di tengah-tengahnya.
Pola 3: (Hamdalah) Shalawat Doa Shalawat
Pola 1: Hamdalah Shalawat Doa
Untuk pola pertama, beliau memberikan alas praktiknya dengan:
- Hadits riwayat dari Fadhalah bin ‘Ubayd r.a.:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ، فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ اللَّهِ، وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ، ثُمَّ لِيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ لِيَدْعُ بَعْدُ بِمَا شَاءَ (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ)
“Nabi s.a.w. bersabda, “Jika salah seorang dari kalian shalat, hendaklah dia memulai dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian bershalawat kepada Nabi s.a.w., lalu setelah itu berdoa dengan apa saja yang dia kehendaki.” (HR. Al-Tirmidziy dari Fadhalah bin Ubaid r.a. – Hadis Hasan Shahih)
- Hadits riwayat dari Abdullah bin Mas’ud r.a.:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كُنْتُ أُصَلِّي، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ مَعَهُ، فَلَمَّا جَلَسْتُ بَدَأْتُ بِالثَّنَاءِ عَلَى اللَّهِ، ثُمَّ الصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ دَعَوْتُ لِنَفْسِي، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَلْ تُعْطَهْ، سَلْ تُعْطَهْ.
(َرواه التِّرْمِذِيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ)“Abdullah bin Mas’ud berkata, “Aku sedang shalat, dan saat itu Nabi s.a.w., Abu Bakar dan Umar juga bersama beliau. Ketika aku duduk (tasyahhud), aku mulai dengan memuji Allah S.w.t., lalu bershalawat kepada Nabi, kemudian aku berdoa untuk kepentingan diriku sendiri. Lalu Nabi s.a.w bersabda, “Mintalah, niscaya (permintaanmu) akan diberikan kepadamu! Mintalah, niscaya (permintaanmu) akan diberikan kepadamu!” (HR. Al-Tirmidziy – Hadis Hasan Shahih)
- Atsar Abdullah bin Mas’ud r.a.:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: إِذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يَسْأَلَ فَلْيَبْدَأْ بِالْمِدْحَةِ وَالثَّنَاءِ عَلَى اللهِ بِمَا هُوَ أَهْلُه، ثُمَّ لِيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ثُمَّ لِيُصَلِّ بَعْد، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يَنْجَحَ (رواه عبد الرزاق في المُصنَّف [20700] عَن عبدِ الله بْنِ مَسْعُودٍ)
“Jika salah seorang di antara kalian ingin memohon sesuatu kepada Allah S.w.t., hendaklah ia mulai dengan memuji dan menyanjung-Nya sesuai dengan keagungan-Nya, kemudian bershalawat kepada Nabi s.a.w., kemudian berdoalah setelah itu. Karena hal itu lebih layak untuk berhasil.” (HR. ‘Abd al-Razzaq)
Pola 2: (Hamdalah) Shalawat Doa Shalawat Doa Shalawat
Untuk pola kedua, beliau menerangkan dasar praktiknya dengan hadits riwayat Jabir bin Abdillah r.a.,
عَن جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رضِي اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم لَا تَجْعَلُونِي كَقَدَحِ الرَّاكِبِ فَذكر الحَدِيث وَقَالَ اجْعَلُونِي فِي أَوَّلِ الدُّعَاءِ، وَأَوْسَطِهِ، وَآخِرِهِ (رواه عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، و الْعُقَيْلِيُّ وضعّفه عن جابر)
“Rasulullah s.a.w. bersabda, “Janganlah kalian menjadikanku seperti tempat minum (cangkir) pengendara unta.” Lalu beliau menuturkan hadisnya dan bersabda, “Letakkanlah aku di awal doa, di tengahnya, dan di akhirnya.'”
Untuk menjelaskan maksud frasa “Janganlah kalian menjadikanku seperti tempat minum (cangkir) pengendara unta”, Ibn al-Atsir (544-606 H) menulis,
لَا تَجْعَلُونِي كَقَدَحِ الرَّاكِبِ أَيْ : لَا تُؤَخِّرُونِي فِي الذِّكْرِ ؛ لِأَنَّ الرَّاكِبَ يُعَلِّقُ قَدَحَهُ فِي آخِرِ رَحْلِهِ عِنْدَ فَرَاغِهِ مِنْ تَرْحَالِهِ وَيَجْعَلُهُ خَلْفَهُ (النهاية في غريب الحديث والأثر لابن الأثير، ج 4، ص 20)
“Janganlah kalian menjadikanku seperti cangkir penunggang unta” artinya “jangan meletakkan penyebutanku di akhir” layaknya penunggang unta. Penunggang unta menggantungkan cangkirnya di bagian belakang untanya setelah selesai dengan urusannya, dan meletakkannya di belakangnya.”
Maksudnya, janganlah sudah selesai berdoa memohon kepentingannya kepada Allah baru kemudian menyebut namaku (bershalawat). Sebutlah aku (bershalawatlah) di awal doa, di tengahnya, dan di akhirnya.
Pola 3: (Hamdalah) Shalawat Doa Shalawat
Untuk pola ketiga yaitu shalawat berada di awal dan akhir, sedangkan isi doa diletakkan di antara keduanya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tidak mengemukakan hadis yang secara eksplisit menjelaskan pola ini.
Meski demikian, terdapat riwayat Jabir yang lain yang mendukung pola ketiga. Riwayat ini sama konteks dengan riwayat Jabir yang disebut tepat di atas, namun dengan redaksi yang sedikit berbeda, yaitu tidak menyebut “di tengah doa”. Riwayat dengan redaksi yang berbeda ini dicatat oleh imam al-Bayhaqiy,
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَجْعَلُونِي كَقَدَحِ الرَّاكِبِ، إِنَّ الرَّاكِبَ يَمْلَأُ قَدَحَهُ مَاءً، ثُمَّ يَضَعُهُ، ثُمَّ يَأْخُذُ فِي مَعَالِيقِهِ، حَتَّى إِذَا فَرَغَ جَاءَ إِلَى الْقَدَحِ، فَإِنْ كَانَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الشَّرَابِ شَرِبَ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَاجَةٌ فِي الشَّرَابِ تَوَضَّأَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَاجَةٌ فِي الْوُضُوءِ أَهْرَاقَهُ، وَلَكِنِ اجْعَلُونِي فِي أَوَّلِ الدُّعَاءِ وَفِي آخِرِ الدُّعَاءِ. (رواه البيهقيّ فى شُعَب الإيمان [1578] عن جَابِرٍ)
“Dari Jabir bin Abdullah al-Ansari. Dia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Janganlah kalian menjadikan aku seperti cangkir seorang penunggang unta. Penunggang unta akan mengisi cangkirnya dengan air, lalu meletakkannya, kemudian dia mulai mengurusi barang-barangnya yang lainnya yang tergantung (di untanya). Ketika ia selesai, ia akan kembali kepada cangkir tersebut. Jika ia membutuhkan minum, ia akan meminumnya, dan jika tidak, ia akan berwudhu. Jika tidak ada kebutuhan untuk berwudhu, ia akan membuang air tersebut. Tetapi, jadikanlah aku di awal doa dan di akhir doa.”
‘Ala kulli hal, ketiga pola di atas dalam struktur doa bersifat fleksibel dan tidak mengikat. Intinya bahwa doa harus disertai dengan shalawat dan semakin banyak dan merata shalawat dalam doa, semakin besar pula kemungkinan doan “didengar”. Ini menegaskan bahwa shalawat bukan hanya pelengkap doa, tetapi pilar penopangnya.
Ketika shalawat mengawali, menyelingi, dan mengakhiri doa, maka doa tersebut dibingkai oleh amalan yang sangat dicintai Allah, dan ini menandakan bahwa permintaan tersebut tidak egois, melainkan penuh adab dan cinta kepada Rasulullah, sesuai pesannya “Jangan jadikan aku seperti cangkir seorang penunggang unta”.
Doa Tidak Naik ke Langit Tanpa Shalawat
مَا مِنْ دُعَاءٍ إِلَّا وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ حِجَابٌ، حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ انْحَرَقَ ذَلِكَ الْحِجَابُ، وَدَخَلَ الدُّعَاءُ، وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ رَجَعَ الدُّعَاءُ. (رواه إسماعيل الأصبهانيّ [ت ٥٣٥] في الترغيب والترهيب [1677] عَنْ عَلِيٍّ بن أبي طالب رضي الله عنه)
Diceritakan oleh Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Tidak ada satu pun doa kecuali terdapat hijab (penghalang) antara doa itu dan “langit”, sampai orang yang berdoa bershalawat kepada Nabi s.a.w. dan kepada keluarga Muhammad. Jika dia ia melakukannya, maka hijab itu pun terbelah, dan doa pun masuk (menembus ke “langit”). Namun jika dia tidak melakukannya, doa itu akan kembali (tidak sampai kepada Allah).”
إِنَّ الدُّعَاءَ مَوْقُوفٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ ، لا يَصْعَدُ مِنْهُ شَيْءٌ حَتَّى تُصَلِّيَ عَلَى نَبِيِّكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه التّرمذيُّ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه. قال ابن كثير : إسناده جيد)
“Sesungguhnya doa itu tertahan antara langit dan bumi, tidak ada satu pun darinya yang naik (ke langit) sampai engkau bershalawat kepada Nabi-mu s.a.w.”
Meskipun perkataan itu secara sanad hanya sampai kepada Umar r.a. dan berstatus mawquf (berhenti pada sahabat), namun perkataan seperti itu tidak diucapkan olehnya berdasarkan akal atau pendapatnya semata. Ia merupakan hal yang bersifat tawqifiy (berdasarkan wahyu), maka hukum atsar Umar ini layaknya seperti hadis marfū’ (yang disandarkan kepada Nabi s.a.w.). Seorang imam al-Razi (544 – 604 H), seorang pakar besar dalam Ushul (prinsip-prinsip hukum) dan Furu’ (cabang-cabang hukum), tidak jauh dari pandangan ini. Ia berkata dalam bukunya, al-Mahshul, “Apabila seorang sahabat mengucapkan suatu pernyataan tentang suatu hal yang tidak mungkin lahir dari ijtihad, maka berbaik sangka kepadanya menuntut bahwa ia mengucapkannya berdasarkan suatu sumber. Dan jika ijtihad tidak mungkin, maka tidak ada sumber lain kecuali mendengar langsung dari Nabi s.a.w.”
Kedua riwayat di atas menunjukkan bahwa ada “hijab” atau penghalang spiritual (tidak terlihat secara kasat mata, tetapi berdampak nyata secara ruhani dan keimanan) yang mencegah doa “naik ke langit” jika tidak dibuka dengan shalawat. Shalawat diibaratkan sebagai kunci pembuka pintu langit. Sebagaimana surat tanpa alamat tidak akan sampai kepada tujuannya, doa tanpa shalawat pun akan tertahan, bahkan meski disertai permintaan yang tulus dan mendesak.
Ini menegaskan bahwa kekuatan spiritual shalawat bukan hanya wujud dari aspek kecintaan kepada Nabi s.a.w., tetapi juga sebagai sarana mutlak dalam menyampaikan harapan dan permintaan kepada Allah S.w.t.
—
Shalawat bukan sekadar penghormatan kepada Rasulullah s.a.w., melainkan bagian dari etika doa yang sangat menentukan apakah permohonan akan sampai kepada Allah dan dikabulkan atau tidak. Dari berbagai hadis yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa siapa pun yang ingin doanya dijawab, hendaknya dia tidak mengabaikan shalawat, baik di awal, di tengah, maupun di akhir doa.
Menjadikan shalawat sebagai bingkai doa akan memperindah ibadah, menyempurnakan adab, dan membuka peluang besar bagi terkabulnya harapan seorang hamba.
Sebagai penutup, berikut adalah ungkapan menarik Ibnu ‘Atha` yang dikutip oleh Qadhi ‘Iyadh:
“Doa memiliki pilar, sayap, sebab, dan waktunya yang khusus. Jika suatu doa memenuhi pilar-pilarnya, maka ia menjadi kuat. Jika ia memiliki sayap-sayapnya, ia terbang menuju langit. Jika sesuai waktunya, ia akan meraih kemenangan. Dan jika terpenuhi sebab-sebabnya, maka ia akan membuahkan hasil.
- Pilar-pilarnya adalah kehadiran hati, kelembutan, kerendahan diri, kekhusyukan, keterikatan hati kepada Allah, dan memutus ketergantungan dari sebab-sebab duniawi;
- Sayap-sayapnya adalah kejujuran;
- Waktu-waktu terbaiknya adalah waktu sahur; dan
- Sebab-sebab keberhasilannya adalah bershalawat kepada Nabi Muḥammad s.a.w.