Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan sebagian dari kebijaksanaan-Nya dalam mengelola urusan hamba-hamba-Nya. Dalam firman-Nya di Al-Qur’an, Surah Asy-Syu’ara ayat 183, Dia menyatakan,
وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَۚ
“Janganlah kalian merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah membuat kerusakan di bumi.”
Ayat ini menjadi landasan bahwa Allah memiliki rencana besar dalam menjaga keseimbangan alam semesta, termasuk di antaranya dalam hal distribusi rezeki. Dalam konteks lain, di Surat Asy-Syura Ayat 27, Allah berfirman,
وَلَوْ بَسَطَ اللّٰهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهٖ لَبَغَوْا فِى الْاَرْضِ وَلٰكِنْ يُّنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَاۤءُ ۗاِنَّهٗ بِعِبَادِهٖ خَبِيْرٌۢ بَصِيْرٌ
“Dan seandainya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan bertindak di luar kontrol di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan proporsi yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahateliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat.”
Apa itu “bertindak di luar kontrol”?
Istilah ini merujuk pada perilaku yang melampaui batasan dalam segala aspek kehidupan. Seperti sebuah luka yang dianggap “di luar batas” ketika darah atau cairannya tumpah tanpa henti, begitu pula sebuah kelompok dianggap “di luar batas atau kontrol” jika mereka melanggar limitasi dengan menzalimi pihak lain atau mengabaikan tanggung jawab sosial.
Andai saja Allah—Yang Maha Suci dan Maha Tinggi—memberikan rezeki secara eksesif kepada seluruh hamba-Nya, melebihi kebutuhan esensial mereka, maka mereka berpotensi menjadi arogan, lupa diri, dan bertindak semaunya di muka bumi. Sejarah Qarun, yang disebutkan dalam Surat Al-Qashash Ayat 78, menjadi contoh nyata. Qarun mengklaim,
قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِىٓ
“Aku mendapatkan kekayaan ini karena kompetensi pribadiku!”
Padahal, kekayaannya adalah pemberian Allah. Qarun tampaknya lupa banyak hal. Lupa bahwa kekayaannya—pada prinsipnya—pemberian, lupa ini menghasilkan lupa berterima kasih (bersyukur), dan pada akhirnya berujung pada lupa kapasitasnya sebagai hamba dengan kesombongan, hingga akhirnya—dilupakan keberadaannya oleh Allah—dengan ditenggelamkan ke dalam bumi.
Keangkuhan Qarun semakin tidak terkendali. Ia tampil di hadapan publik dengan menunjukkan kemewahan dan kekuasaannya, seolah ingin menunjukkan bahwa ia adalah pusat dunia. Dengan penuh kebanggaan, ia mempertontonkan aset dan kedudukannya yang luar biasa, hingga membuat banyak orang terpesona. Orang-orang yang hanya memandang kehidupan dunia sebagai tujuan utama mereka pun berkata, “Betapa beruntungnya dia! Seandainya kita memiliki harta dan kedudukan seperti itu, tentu hidup kita akan sempurna.”
Distribusi Rezeki: Solusi Cerdas dari Allah
Allah berfirman, “Dia menurunkan dengan proporsi yang Dia kehendaki.” Ini mencerminkan solusi cerdas dari Allah. Dia tidak mendistribusikan rezeki secara berlebihan kepada semua hamba-Nya, karena kelimpahan yang tak terkendali dapat memicu sikap egois, superioritas, dan ketidakpedulian terhadap sesama, layaknya sikap Qarun.
Sebaliknya, Allah mengatur rezeki dengan kalkulasi presisi, sesuai dengan hikmah dan kehendak-Nya. Hal ini sejalan dengan firman-Nya di Surah Ar-Rahman ayat 7-9,
وَٱلسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ ٱلْمِيزَانَ (7) أَلَّا تَطْغَوْا۟ فِى ٱلْمِيزَانِ (8) وَأَقِيمُوا۟ ٱلْوَزْنَ بِٱلْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا۟ ٱلْمِيزَانَ (9)
“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia telah menetapkan keseimbangan, agar kalian jangan melanggar keseimbangan itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.”
Ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu di alam semesta, termasuk rezeki, diatur dengan takaran dan neraca yang adil dan terukur. Ini bukanlah semata-mata kebetulan, melainkan bagian dari rencana ilahi yang penuh makna. Ada hamba yang diberi kemakmuran untuk menguji kesyukurannya, ada yang diberi kecukupan untuk menjaga keseimbangan hidup, dan ada yang dibatasi untuk melatih kesabaran. Perbedaan distribusi rezeki kepada hamba-hamba-Nya bukanlah karena Dia kikir, melainkan demi menjaga kemaslahatan manusia.
Allah memiliki visi jelas tentang dinamika kehidupan hamba-Nya. Oleh karena itu, Dia mengkustomisasi distribusi rezeki agar sesuai dengan kebutuhan optimal mereka, mencegah terjadinya ekses atau kekurangan ekstrem.
Hikmah di Balik Takaran Rezeki
Jika semua orang menjadi ultra kaya, mereka akan cenderung bertindak di luar kontrol dan menciptakan kekacauan. Sebaliknya, jika semua orang dalam kondisi miskin ekstrem, mereka bisa kolaps secara sosial dan ekonomi. Hamba dengan rezeki terbatas biasanya lebih moderat dalam melanggar batasan, sementara mereka yang kebanjiran rezeki sering kali terpancing untuk bertindak impulsif, seperti membangun kekuasaan atau mengejar kesenangan duniawi tanpa batas.
Jika rezeki didistribusikan secara maksimal kepada semua orang, dunia ini bisa berubah dalam situasi yang kacau, jauh dari harmoni yang ada saat ini.
Ini Bukan Tentang Jumlah, Tetapi “Ketergantungan” (Ta’alluq)
Rasulullah saw. pernah menyampaikan cara pandang yang lebih mendalam tentang makna sejati kekayaan dan kemiskinan. Kekayaan yang autentik adalah kekayaan hati, yakni hati yang hanya memiliki ketergantungan kepada Allah dan meyakini total bahwa Pemberi segala rezeki adalah Allah, merasa cukup, serta bahwa distribusi rezeki tak akan pernah tertukar.
Orang yang benar-benar kaya―menurut pandangan Rasulullah saw.―adalah mereka yang totalitas bergantung pada Allah dalam setiap aspek kehidupan mereka, baik dalam suka maupun duka, serta dalam kekayaan maupun kemiskinan. Ketergantungan ini bukan sekadar kata-kata, melainkan perwujudan keyakinan mendalam bahwa segala rezeki berasal dari Allah dan hanya Allah yang mampu menentukan porsi yang tepat untuk setiap hamba. Abu Hurayrah r.a. melaporkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ العَرَضِ، وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
“Kekayaan bukan karena banyaknya harta benda, namun kekayaan (yang sejati) adalah kekayaan jiwa.”
Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa permasalahan hamba bukan berapa banyak yang dimilikinya atau tepatnya berapa banyak rezeki yang Allah berikan kepadanya. Masalah itu menjadi kurang relevan atau bahkan tidak lagi menjadi inti dari kehidupan seorang hamba. Ketika seseorang memahami bahwa kekayaan sejati terletak pada kekayaan jiwa maka fokusnya beralih dari akumulasi harta ke pembentukan karakter dan hubungan spiritual dengan Allah.
Ketergantungan total pada Allah tercermin dalam sikap seseorang yang mampu menerima dan merasa cukup dengan apa yang diberikan, sebagaimana yang diingatkan dalam hadis di atas.
Orang yang bergantung pada Allah akan melihat rezeki sebagai anugerah yang harus dijalani dengan sikap merasa cukup dan syukur. Dengan demikian, kekayaan jiwa memungkinkan seseorang tetap mulia dan terhormat, terlepas dari kondisi materi yang dialaminya.
Harmoni melalui Kebijaksanaan Ilahi
Pada akhirnya, pengaturan rezeki oleh Allah mencerminkan kebijaksanaan dan kasih sayang-Nya. Dengan menurunkan rezeki dalam takaran tertentu, Allah mencegah hamba-Nya dari kehancuran akibat arogansi dan selanjutnya tabrakan kepentingan. Harmoni dunia ini terjaga karena Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat akan keadaan hamba-hamba-Nya.