Kisah Salman Al-Farisiy: Perjalanan Pencarian Kebenaran

Kisah Salman Al-Farisiy: Perjalanan Pencarian Kebenaran

Kisah masuk Islamnya shahabat Salman Al-Farisiy (wafat 33 H) adalah salah satu kisah yang penuh makna, pelajaran, dan hikmah yang dalam. Kisah ini diceritakan kembali oleh Ibnu Abbas r.a. berdasarkan informasi yang diterimanya langsung dari Salman Al-Farisiy. Kisah ini kemudian dicatat dalam buku Musnad Ahmad, hadis nomor 23737, cetakan pertama, tahun 1421 H / 2001 M, Mu`assasah Ar-Risalah, dalam kelompok Hadis Salman Al-Farisiy (Lihat redaksi asli).

Kisah ini bukan dongeng, tetapi fakta sejarah. Ini juga bukan hanya sebuah narasi sejarah, tetapi juga cerminan dari pencarian kebenaran yang tulus, pengorbanan besar demi iman, serta hidayah yang Allah berikan kepada siapa saja yang benar-benar mencarinya.

Kisah ini menggugah hati dan membuka mata, bahwa petunjuk Allah bisa datang melalui jalan yang panjang dan penuh ujian. Semoga menjadi pelajaran dan inspirasi dalam meniti jalan iman dan kebenaran.

  1. Masa Kecil di Persia (Jay, Isfahan)

    Aku Salman, orang Persia dari desa Jay di Isfahan. Ayahku adalah kepala desa, dan aku anak yang paling disayanginya. Ia sangat mencintaiku sampai-sampai menahanku di rumah, seperti seorang gadis yang dijaga ketat. Aku dibesarkan dalam agama Majusi dan menjadi penjaga api suci, bertugas memastikan apinya tak pernah padam.

    Ayahku punya kebun besar. Suatu hari, ia sibuk dengan urusan pembangunan dan menyuruhku, “Nak, aku sibuk hari ini. Pergi ke kebun, periksa, dan urus apa yang perlu.” Aku pun berangkat, tapi di perjalanan, aku melewati sebuah gereja Kristen. Aku mendengar suara mereka sedang berdoa. Karena ayahku selalu menahanku di rumah, aku tak tahu banyak tentang dunia luar. Penasaran, aku masuk ke gereja untuk melihat apa yang mereka lakukan.

  2. Pertemuan dengan Agama Kristen

    Aku terkesan dengan cara mereka berdoa. Aku merasa agama mereka lebih baik dari agama Majusi yang aku anut. Aku berkata dalam hati, “Demi Allah, ini lebih baik dari agama kita.” Aku terpikat dan tinggal di gereja itu sampai matahari terbenam, lupa pergi ke kebun ayahku. Aku bertanya kepada mereka, “Dari mana asal agama ini?” Mereka menjawab, “Dari Syam.”

  3. Konflik dengan Ayah dan Kabur ke Syam

    Ketika pulang, ayahku marah. Ia sudah mencariku karena aku membuatnya khawatir. “Kau ke mana? Bukankah aku menyuruhmu ke kebun?” tanyanya. Aku menjelaskan, “Ayah, aku melewati sekelompok
    orang yang berdoa di gereja. Aku terkesan dengan agama mereka dan tinggal di sana sampai malam.” Ayahku berkata, “Nak, agama itu tak lebih baik. Agamamu dan agama leluhurmu lebih baik.” Aku membantah, “Tidak, demi Allah, agama mereka lebih baik.”

    Ayahku takut aku akan meninggalkan agama Majusi. Ia memasang rantai di kakiku dan mengurungku di rumah. Tapi aku diam-diam mengirim pesan ke orang-orang Kristen, meminta mereka memberitahuku jika ada rombongan pedagang Kristen dari Syam datang. Ketika rombongan itu tiba, mereka memberitahuku. Aku meminta mereka membawaku ke Syam saat mereka pulang. Aku melepaskan rantai dari kakiku dan kabur bersama mereka.

  4. Perjalanan ke Syam

    Sesampainya di Syam, aku bertanya, “Siapa orang paling berilmu dalam agama ini?” Mereka menjawab, “Uskup di gereja.” Aku menemui uskup itu dan berkata, “Aku ingin mempelajari agama ini. Izinkan aku tinggal bersamamu, melayanimu, belajar, dan berdoa bersamamu.” Ia mengizinkan, dan aku tinggal bersamanya.

    Namun, aku segera tahu uskup itu bukan orang baik. Ia meminta jemaat menyumbang untuk sedekah, tapi ia menimbun harta itu untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang miskin. Ia mengumpulkan tujuh guci penuh emas dan perak. Aku sangat membencinya karena perbuatannya. Ketika ia meninggal, orang-orang berkumpul untuk menguburnya. Aku berkata kepada mereka, “Orang ini jahat. Ia menimbun sedekah untuk dirinya sendiri.” Mereka tak percaya dan memintaku membuktikan. Aku menunjukkan tempat harta itu disimpan, dan mereka menemukan tujuh guci emas dan perak. Marah, mereka menolak mengubur uskup itu, malah menyalib dan melemparinya dengan batu.

  5. Bersama Uskup Baru di Syam

    Kemudian, mereka mengangkat uskup baru. Orang ini sangat berbeda. Aku tak pernah melihat orang yang lebih zuhud, tak cinta dunia, dan lebih tekun beribadah siang malam dibandingkan dia. Aku sangat mencintainya. Aku tinggal bersamanya beberapa waktu sampai ia sakit dan akan meninggal. Aku bertanya, “Aku sangat mencintaimu. Sekarang kau akan pergi, kepada siapa aku harus pergi? Apa yang kau sarankan?” Ia menjawab, “Nak, orang-orang sudah banyak yang menyimpang. Tapi ada seseorang di Mosul yang masih menjalankan ajaran seperti aku. Pergilah kepadanya.”

  6. Tinggal di Mosul

    Setelah ia meninggal, aku pergi ke Mosul dan menemui orang yang dimaksud. Aku berkata, “Si fulan menyuruhku datang kepadamu karena kau masih menjalankan ajarannya.” Ia menyuruhku tinggal, dan aku mendapati ia memang orang baik. Tapi tak lama, ia juga meninggal. Sebelum meninggal, aku bertanya, “Kau menyuruhku ke sini, sekarang kau akan pergi. Ke mana aku harus pergi?” Ia menjawab, “Pergilah ke Nisibin, ada seseorang di sana yang masih menjalankan ajaran kita.”

  7. Tinggal di Nisibin

    Aku pergi ke Nisibin dan tinggal bersama orang itu. Ia juga orang baik, tapi ia pun meninggal. Sebelum meninggal, aku bertanya hal yang sama. Ia menjawab, “Pergilah ke Ammuriyah, ada seseorang di sana yang masih menjalankan ajaran kita.”

  8. Tinggal di Ammuriyah

    Di Ammuriyah, aku tinggal bersama orang itu. Aku bekerja keras sampai punya beberapa sapi dan kambing. Tapi ia juga meninggal. Sebelum meninggal, aku bertanya, “Ke mana aku harus pergi sekarang?” Ia menjawab, “Nak, tak ada lagi yang menjalankan ajaran kita. Tapi zaman seorang nabi sudah dekat. Ia akan diutus dengan agama Ibrahim, muncul di tanah Arab, bermigrasi ke tempat yang dikelilingi dua bukit batu hitam dan banyak pohon kurma. Ia punya tanda-tanda: menerima hadiah tapi tidak memakan sedekah, dan ada tanda kenabian di antara kedua bahunya. Jika kau bisa, pergilah ke sana.”

  9. Perjalanan ke Tanah Arab dan Dikhianati

    Setelah ia meninggal, aku tinggal di Ammuriyah. Suatu hari, sekelompok pedagang dari suku Kalb lewat. Aku berkata, “Bawalah aku ke tanah Arab, aku akan berikan sapi dan kambingku.” Mereka setuju. Tapi saat sampai di Wadi Al-Qura, mereka mengkhianatiku dan menjualku sebagai budak kepada seorang Yahudi. Aku melihat banyak pohon kurma dan berharap ini tempat yang dimaksud, tapi aku belum yakin.

  10. Mengenali Madinah sebagai tempat yang digambarkan

    Kemudian, seorang kerabat tuanku dari Bani Qurayzhah di Madinah membeliku. Aku dibawa ke Madinah, dan begitu melihatnya, aku tahu itu tempat yang dimaksud temanku. Aku tinggal di sana sebagai budak. Ketika Allah mengutus Rasul-Nya, ia tinggal di Makkah beberapa waktu, tapi aku tak mendengar kabarnya karena sibuk sebagai budak

  11. Pertemuan dengan Rasulullah

    Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, aku sedang bekerja di kebun kurma tuanku. Tiba-tiba, sepupu tuanku datang dan berkata, “Celaka bani Qaila! Mereka sedang berkumpul di Quba menyambut seorang pria dari Makkah yang mengaku nabi.” Aku gemetar mendengarnya, hampir jatuh dari pohon. Aku bertanya, “Apa yang kau bilang?” Tuanku marah dan memukulku, menyuruhku kembali bekerja. Aku berkata, “Aku cuma ingin memastikan.”

    Malam itu, aku mengambil sedikit harta yang aku punya dan pergi ke Quba menemui Rasulullah. Aku berkata, “Aku dengar kau orang saleh, dan kau punya sahabat yang miskin. Ini sedekah untuk kalian.” Aku menawarkan makanan. Rasulullah menyuruh sahabatnya makan, tapi ia sendiri tidak makan. Aku berkata dalam hati, “Ini tanda pertama.”

    Kemudian, aku kembali dengan membawa hadiah. Aku berkata, “Aku lihat kau tak makan sedekah, jadi ini hadiah untukmu.” Kali ini, Rasulullah makan bersama sahabatnya. Aku berkata dalam hati, “Ini tanda kedua.”

    Terakhir, aku menemui Rasulullah di Baqi’ Al-Gharqad saat ia mengikuti pemakaman. Aku menyapa dan mencoba melihat punggungnya untuk mencari tanda kenabian. Rasulullah tahu maksudku. Ia
    menyingkap jubahnya, dan aku melihat tanda itu. Aku langsung sujud, mencium tanda itu, dan menangis. Rasulullah berkata, “Duduklah.” Aku duduk dan menceritakan kisahku seperti yang kuceritakan padamu, wahai Ibnu Abbas.

  12. Proses Pembebasan dari Perbudakan

    Rasulullah senang sahabatnya mendengar kisahku. Aku masih terikat sebagai budak, sehingga tak ikut Perang Badar dan Uhud. Suatu hari, Rasulullah berkata, “Buat perjanjian mukatabah dengan tuanmu, Salman.” Aku membuat perjanjian mukatabah dengan tuanku (pemilikku), di mana aku dapat bebas dari darinya dengan kompensasi menanam 300 pohon kurma dan membayar 40 ‘uqiyyah emas.

    Rasulullah meminta sahabatnya membantu. Mereka memberiku (bibit) pohon kurma: ada yang (memberi) 30, 20, 15, atau 10 pohon, sesuai kemampuan mereka, sampai terkumpul 300 pohon. Rasulullah berkata, “Gali lubang untuk pohon-pohon itu. Kalau selesai, beritahu aku, aku akan menanamnya.” Aku menggali lubang dengan bantuan para sahabat lain, lalu Rasulullah menanam setiap pohon dengan tangannya sendiri. Demi Allah, tak satu pun pohon yang mati.

    Aku sudah menyerahkan pohon-pohon itu (dan menanamnya), tapi aku masih harus membayar emas. Suatu hari, Rasulullah mendapat sepotong emas sebesar telur ayam dari salah satu perang. Ia bertanya, “Bagaimana kondisi orang Persia yang membuat perjanjian (mukatabah) dengan tuannya?” Aku dipanggil, dan ia berkata, “Ambil emas ini untuk membayar utangmu.” Aku berkata, “Emas sekecil ini untuk 40 ‘uqiyyah?” Ia menjawab, “Ambil, Allah akan membantumu.” Aku mengambil emas itu, menimbangnya, dan ternyata cukup untuk 40 ‘uqiyyah. Aku membayar utangku dan bebas.

  13. Keikutsertaan dalam Perjuangan Islam

    Setelah itu, aku ikut Perang Khandaq bersama Rasulullah dan tak pernah absen dari pertempuran bersamanya.

(Semoga Allah Subhanah meridhai Salman Al-Farisiy)


Beberapa nama daerah dan istilah disebutkan dalam kisah keislaman Salman di atas. Berikut adalah penjelasan mengenai daerah dan istilah yang tersebut:

  1. Jay (Isfahan, Persia): Jay adalah desa kecil di wilayah Isfahan, Persia (sekarang Iran), tempat Salman Al-Farisi dilahirkan dan dibesarkan. Pada masa itu, Isfahan merupakan salah satu pusat budaya dan perdagangan di Kekaisaran Persia. Ishfahan atau Ashfahan (sekarang) adalah salah satu di Iran, terletak sekitar 340 km di sebelah selatan Teheran.
  2. Syam (Levant): Syam adalah wilayah yang mencakup sebagian besar Levant modern, termasuk Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina. Pada masa Salman, Syam adalah pusat penting agama Kristen, dengan banyak gereja dan komunitas religius. Wilayah ini (saat itu) berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium).
    Di cerita ini, Salman pergi ke Syam setelah kabur dari rumahnya untuk mempelajari agama Kristen, karena orang-orang di gereja Jay memberitahunya bahwa pusat agama Kristen ada di Syam.
  3. Mosul: Mosul (الموصل) adalah kota di wilayah utara Mesopotamia (sekarang Irak), terletak di tepi Sungai Tigris. Pada masa itu, Mosul merupakan pusat perdagangan dan memiliki komunitas Kristen yang signifikan, terutama dari Gereja Nestorian atau Gereja Timur.
    Di cerita ini, setelah uskup di Syam meninggal, Salman diarahkan untuk pergi ke Mosul untuk bertemu dengan seorang tokoh Kristen yang masih memegang ajaran murni.
  4. Nisibin (Nusaybin): Nisibin, atau sekarang dikenal sebagai Nusaybin, adalah kota di perbatasan modern Turkiye dan Suriah. Kini sebuah kotamadya dan distrik di Provinsi Mardin, Turkiye. Pada masa itu, kota ini merupakan pusat penting agama Kristen dan sering menjadi tempat persaingan antara Kekaisaran Romawi Timur dan Persia. Nisibin dikenal sebagai pusat teologi Kristen.
    Di cerita ini, setelah tokoh agama di Mosul meninggal, Salman diarahkan ke Nisibin untuk melanjutkan pencariannya akan kebenaran agama.
  5. Ammuriyah (Amorium / عمورية): Ammuriyah, atau Amorium, adalah kota di wilayah Anatolia (sekarang Turkiye), yang pada masa itu merupakan bagian dari Kekaisaran Bizantium. Kota ini memiliki komunitas Kristen yang kuat dan merupakan pusat militer serta budaya.
    Dalam cerita, setelah tokoh di Nisibin meninggal, Salman pergi ke Ammuriyah, tempat ia tinggal bersama seorang tokoh Kristen terakhir yang menjalankan ajaran murni. Di sinilah ia mendapat petunjuk tentang kedatangan seorang nabi di tanah Arab.
  6. Wadi Al-Qura: Wadi Al-Qura adalah lembah di wilayah Hijaz, Arab Saudi, yang terletak antara Makkah dan Madinah. Lembah ini dikenal sebagai tempat tinggal beberapa suku Yahudi dan memiliki banyak kebun kurma.
    Di cerita ini, Salman dibawa ke Wadi Al-Qura oleh pedagang suku Kalb, tetapi mereka mengkhianatinya dan menjualnya sebagai budak kepada seorang Yahudi.
  7. Madinah (Yatsrib): Madinah, yang sebelumnya disebut Yatsrib, adalah kota di wilayah Hijaz, Arab Saudi. Pada masa itu, Madinah merupakan tempat tinggal berbagai suku Arab dan Yahudi, serta menjadi tujuan hijrah Rasulullah setelah meninggalkan Makkah. Kota ini dikenal dengan banyaknya pohon kurma dan dua bukit batu hitam (harrah).
    Di cerita ini, Salman dibawa ke Madinah oleh seorang Yahudi dari Bani Qurayzhah. Ia mengenali Madinah sebagai tempat yang dijelaskan oleh tokoh di Ammuriyah, dan di sinilah ia akhirnya bertemu Rasulullah dan memeluk Islam.
  8. Quba atau Quba`: Quba adalah desa kecil di pinggiran Madinah, tempat Rasulullah singgah pertama kali saat hijrah dari Makkah. Quba terkenal karena Masjid Quba, masjid pertama yang dibangun dalam sejarah Islam.
    Dalam cerita, Salman mendengar kabar tentang kedatangan Rasulullah di Quba saat bekerja di kebun kurma tuannya. Ia pergi ke Quba untuk menemui Rasulullah dan menguji tanda-tanda kenabian.
  9. Baqi’ Al-Gharqad:  Baqi’ Al-Gharqad, atau Jannatul Baqi’, adalah nama pemakaman utama di Madinah, tempat banyak sahabat Rasulullah dimakamkan. Nama “Gharqad” merujuk pada jenis pohon berduri yang tumbuh di sana.
    Dalam cerita ini, Salman bertemu Rasulullah di Baqi’ Al-Gharqad saat Rasulullah menghadiri pemakaman seorang sahabat. Di sinilah Salman melihat tanda kenabian di punggung Rasulullah. Allahumma shalli wa sallim ‘alayh.
  10. ‘Uqiyyah atau ‘awqiyyah (أُوقِيَّةٌ): ‘Uqiyyah adalah satuan berat di masalah lalu. Penulis buku Mu’jam Lughah al-Fuqaha` menilai,
    • (satu) ‘uqiyyah emas ≈ 7,5 mitsqal.
    • 1 (satu) mitsqal ≈ 4,24 gram
    • 1 (satu) ‘uqiyyah emas ≈ 7,5 x 4,24 gram ≈ 31,8 gram emas
    • 40 ‘uqiyyah emas ≈ 31,8 gram emas x 40 ≈ 1.272 gram ≈ 1,272 kg emas.

    Dengan perhitungan ini, mengacu kepada buku di atas, nilai tebus Salman Al-Farisiy adalah 1,272 kg emas. Untuk sekedar pengayaan info, jika di konversi ke satuan Rupiah dan mengacu kepada harga emas saat artikel ini ditulis (17 Juni 2025, 1 gram emas [Antam] dijual dengan harga 1.025.000 per gram [tanpa pajak]), maka nilai tebus Salman adalah Rp1.968.000 x 1.272 gram. = Rp2.503.296.000.
    Terbuka kemungkinan perbedaan perhitungan dalam konversi ‘uqiyyah ke satuan unit berat gram mengingat rentang waktu yang panjang, perbedaan wilayah dan tradisi lokal, tidak adanya standar internasional di masa klasik, perbedaan sumber dan interpretasi, serta perbedaan ijtihad dan pendekatan metodologis.

  11. Mukatabah: Mukatabah adalah sebuah akad atau perjanjian dalam hukum Islam antara seorang budak dan tuannya, di mana sang budak meminta kepada tuannya untuk dimerdekakan dengan cara menebus dirinya secara bertahap atau sekaligus, dengan pembayaran/kompensasi tertentu yang disepakati.

لَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِن يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَاء إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

Kalau saja Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hambaNya maka mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia inginkan. Sesungguhnya Dia Mahateliti terhadap (kondisi) hamba-hambaNya, (dan) Maha Melihat. (Q.S. Asy-Suraa, 27)