Menggapai Kemuliaan (Karamah) Melalui Pengetahuan

Menggapai Kemuliaan (Karamah) Melalui Pengetahuan

وَإِنَّمَا شَرُفَ الْعِلْمِ بِكُونِهِ وَسِيلَةً إِلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ، الَّذِي يَسْتَحِقُّ بِهِ الْمَرْءُ الْكَرَامَةَ عِندَ اللَّهِ وَالسَّعَادَةَ الْأَبَدِيَّةَ.

Pengetahuan menjadi mulia karena perannya sebagai sarana menuju taqwa, yang dengan taqwa ini lalu seseorang memperoleh kemuliaan (karamah) di sisi Allah S.w.t. S.w.t. dan memperoleh kebahagiaan abadi. (Al-Zarnujiy [w. 591 H])

Pernyataan ini menyiratkan sebuah makna mendalam tentang kedudukan ilmu dalam kehidupan seorang Muslim. Ilmu tidak boleh dipandang sebagai pengetahuan semata, tetapi ia harus menjadi sarana yang membimbing seseorang menuju kebaikan (birr) dan ketakwaan (taqwa). Dalam perspektif ini, ilmu menjadi jembatan untuk meraih kemuliaan di sisi Allah S.w.t., serta kebahagiaan yang abadi di akhirat.

Kemuliaan yang dimaksud di sini merujuk kepada kemuliaan yang dinyatakan oleh firman Allah S.w.t.:

… إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ …

“… Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah S.w.t. adalah orang yang paling takwa di antara kalian …” (Q.S. Al-Hujurat, 13)

Pertama, Don’t be “Stupid”

Pengetahuan adalah cahaya yang menerangi jalan hidup. Tanpa ilmu, manusia akan terjebak dalam kebodohan dan dipastikan salah arah. Kebodohan merupakan berpotensi sesat, dan bahkan menyesatkan, khususnya ketika kebodohan menjadi pemuka dan pengendali orang lain. Itu sebabnya pencarian ilmu―khususnya yang berhubungan langsung dengan kondisi kebaikan seseorang―menjadi kewajiban, baik ‘ainiy maupun klifa’iy. Dengan begitu, menjadi bodoh adalah sebuah dosa.

Namun, penting untuk diingat bahwa pengetahuan atau ilmu yang wajib dicari di atas bukan asal ilmu, bukan juga ilmu yang semata-mata dicari untuk mendapatkan pujian, gelar, atau keuntungan material. Sebaliknya, ilmu yang diawajibkan untuk dicari yang dapat membawa manusia pada pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan hidup yang sesungguhnya, yaitu pengabdian mutlak tanpa syarat kepada Allah S.w.t.

Kebodohan adalah salah satu musuh terbesar manusia karena pengetahuan merupakan karakteristik yang melekat pada manusia yang menjadi pembeda satu-satunya dari kerbau. Di samping itu, kebodohan menutup jalan menuju “kepatuhan yang benar”. Belajar dan mencari pengetahuan adalah adalah satu-satunya cara untuk menghilangkan kebodohan ini dan mengarahkan seseorang pada “jalan yang lurus”.

Ilmu adalah landasan dari segala kepatuhan yang sejati. Tanpa ilmu, tidak mungkin seseorang bisa memahami batas-batas kebaikan dan kejahatan secara detail, atau mengenali apa yang diperintahkan oleh Allah S.w.t. dan apa yang dilarang-Nya.

Ilmu dan Amal Saleh: Prinsip “Media” dan “Tujuan”

Salah satu prinsip yang sering terlupakan dalam pencarian ilmu adalah perbedaan antara “media” dan “tujuan.” Dalam konteks ini, ilmu adalah media atau sarana, bukan tujuan akhir itu sendiri. Pengetahuan tidak diinginkan karena substansinya, melainkan karena perannya sebagai kendaraan yang mengarahkan kita pada ketakwaan. Oleh karena itu, ketakwaan kepada Allah S.w.t. harus menjadi target dan tujuan akhir yang harus dicapai, dan ilmu adalah alat atau tool yang digunakan untuk mencapainya.

Ilmu harus bisa mengarahkan kita pada target, yaitu ketakwaan. Menjadi pandai atau menguasai berbagai pengetahuan bukanlah tujuan utama dalam hidup, melainkan sebuah proses untuk mempersiapkan kita menjalani kehidupan sesuai dengan tuntunan Allah S.w.t. Pengetahuan yang dimiliki, jika tidak diarahkan pada peningkatan ketakwaan, akan kehilangan makna yang sebenarnya. Secara teknis, ilmu yang dipelajari harus membuah sikap dan perbuatan baik.

Sebagaimana yang dikatakan dalam berbagai ajaran Islam, pengetahuan harus menjadi motivator bagi seseorang untuk “berbuat baik”, baik kepada Allah S.w.t. dan baik kepada makhkluk lain. “Perbuatan baik” ini dalam bahasa agama disebut dengan “amal saleh”. Amal saleh bermakna mematuhi perintah Allah S.w.t., menghindari laranganNya, dan berbuat baik kepada sesama. Kombinasi dari itu semua plus keimanan disebut dengan taqwa (ketakwaan). Pengetahuan yang tidak membuahkan ketakwaan menjadi beban, beban bagi manusia dan alam, mengingat ia dapat menjadi alat penghancur, baik penghancur secara fisik, maupun penghancur jiwa manusia yang fithrah.

Pengetahuan Tanpa Ketakwaan = Sia-sia

Pengetahuan yang tidak berakhir pada ketakwaan sebenarnya merupakan sia-sia. Semua usaha untuk memperoleh ilmu, jika tidak berujung pada perilaku takut kepada Tuhan, akan menjadi sia-sia dan mempelajarinya hanya membuang waktu. Mengumpulkan pengetahuan dan pencapaian intelektual yang tinggi, tanpa disertai dengan perubahan positif dalam sikap dan perilaku, akan menjadikan hidup tidak bermakna buat pelakunya dan orang lainm termasuk tidak bermakna bagi alam semesta.

Gelar pendidikan tinggi yang diterima seseorang akan menjadi mentah dan tak berharga jika tidak diikuti dengan perubahan nyata dalam karakter dan tindakan. Tidak jarang kita menemui individu dengan gelar yang luar biasa, namun perilaku mereka jauh dari prinsip-prinsip moral dan spiritual yang seharusnya menjadi landasan hidup. Tanpa berakhir pada ketakwaan, ilmu yang didapatkan menjadi sesuatu yang kosong, tanpa memberikan manfaat bagi diri sendiri maupun masyarakat.

Lebih jauh lagi, belajar di sekolah-sekolah bergengsi atau di universitas ternama sekalipun akan menjadi “wasting time” jika berakhir dengan perilaku yang tidak mencerminkan nilai-nilai ketakwaan, seperti korupsi, ketidakjujuran, atau keserakahan. Anda boleh menyebut semua perilaku ini dengan istilah “perlawanan terhadap Tuhan”. Pengetahuan tidak boleh digunakan untuk memenuhi ambisi duniawi, tetapi harus menjadi sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan mendekatkan diri kepada Pemberi Ilmu Pengetahuan itu sendiri. Keberuntungan duniawi yang diperoleh akibat pengetahuan yang dimiliki oleh manusia harus dianggap sebagai bonus, bukan tujuan.

Pengetahuan, Kemuliaan, dan Kebahagiaan Abadi

Kemuliaan yang sesungguhnya adalah saat manusia dinilai mulia di mata Tuhan. Kemuliaan lain adalah semua karena memiliki jangka waktu dan akan menjadi kedaluwarsa. Kemuliaan semua seperti harta, jabatan, atau popularitas tidak boleh menjadi tujuan sebuah pengetahuan. Dalam Islam, pengetahuan memiliki kedudukan yang sangat mulia karena perannya dalam mengantarkan manusia mendapatkan kebahagiaan abadi di tahap 4, setelah melewati tahap rahim, dunia dan barzakh. Kebahagiaan abadi ini hanya ditempuh dengan ketakwaan di tahap 2 (baca: tahap dunia) dengan menggunakan kendaraan bernama pengetahuan.

Ilmu atau pengetahuan adalah anugerah terbesar untuk manusia dari Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang dan ia akan menjadi sia-sia saat justru tidak berefek mendekatkan kepadaNya. Adalah sebuah ironi, kita diberi anugerah, sementara itu, dalam waktu yang sama kita semakin menjauhi Pemberinya. Ah… Betapa kita tidak berterima kasih dan sombong.


أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلا خَمْسَةٍ إِلا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْثَرَ إِلا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia adalah yang keempatnya. Dan tidak ada (pembicaraan antara) lima orang, kecuali Dia adalah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang atau lebih banyak dari itu melainkan Dia pasti ada bersama mereka di mana saja mereka berada. (Q.S. Al-Mujadilah, 7)