Terdapat pengetahuan dan pelajaran agama yang cukup menarik dari kisah yang melatarbelakangi sabda Rasulullah s.a.w. berikut,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ بَغِيًّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَرَّ بِهَا رَجُلٌ فَبَسَطَ يَدَهُ إِلَيْهَا وَلَاعَبَهَا فَقَالَتْ مَهْ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذَهَبَ بِالشِّرْكِ وَجَاءَ بِالْإِسْلَامِ فَتَرَكَهَا وَوَلَّى فَجَعَلَ يَلْتَفِتُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا حَتَّى أَصَابَ وَجْهَهُ الْحَائِطُ قَالَ فَأَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ «أَنْتَ عَبْدٌ أَرَادَ اللَّهُ بِكَ خَيْرًا إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَرَادَ بِعَبْدٍ خَيْرًا عَجَّلَ لَهُ عُقُوبَةَ ذَنْبِهِ وَإِذَا أَرَادَ شَرًّا أَمْسَكَ عَلَيْهِ الْعُقُوبَةَ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُ عَيْرٌ (رَوَاهُ الْحَاكِمُ وَقَالَ هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ)
العير : الحمار الوحشي . وقيل : أراد الجبل الذي بالمدينة اسمه عير ، شبه عظم ذنوبه به (النهاية في غريب الحديث والأثر لابن الأثير)
Diriwayatkan dari Abdullah bin al-Mughaffal bahwa ada wanita yang dulu adalah pelacur di masa jahiliah. Seorang pria bertemu dengannya lalu menyentuhnya dan menggodanya. Namun, wanita itu berkata, “Hentikan! Sesungguhnya Allah S.w.t. telah menghapus syirik dan datang membawa Islam.” (Mendengar ucapan itu) pria itu meninggalkannya dan pergi, (tetapi) dia menoleh ke belakang untuk melihat wanita itu, hingga (tanpa sadar) menabrakkan wajahnya ke dinding.
(Abdullah melanjutkan ceritanya) lalu dia mendatangi Nabi Muhammad s.a.w. dan menceritakan apa yang terjadi. Nabi s.a.w. menjawab, “Kamu adalah hamba yang Allah S.w.t. inginkan menjadi orang baik. Sesungguhnya ketika Allah S.w.t. menginginkan seorang hamba menjadi orang baik, maka Dia akan mempercepat hukuman dosanya. Ketika Allah S.w.t. menginginkan seorang hamba menjadi orang tidak baik, maka Dia akan memperlambat (hukuman) hingga Dia memenuhinya di Hari Kiamat, seakan-akan dia adalah ‘ayr.”
Di riwayat lain yang dicatat oleh Ibn Hibban, disebutkan bahwa “lelaki itu mendatangi Nabi Muhammad s.a.w. dalam kondisi darah mengalir di mukanya (akibat membentur dinding)”.
Kata ‘ayr (العَير) dapat ditafsirkan:
- keledai liar, atau
- pendapat lain: maksud beliau s.a.w. adalah gunung di Madinah yang bernama ‘ayr. Beliau s.a.w. menyamakannya karena beban dosa yang besar.
Pencepatan Hukuman atas Dosa di Dunia
Seorang hamba tidak akan pernah luput dari kesalahan, dosa, maupun kelalaian dalam menjalankan kewajibannya. Hukuman atas dosa ini terbuka kemungkinan “dibayar” di dunia dan terbuka kemungkinan “dibayar” di akhirat, atau bahkan dimaafkan sama sekali. Ketika Allah S.w.t. menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia akan mempercepat pemberian hukuman atas dosa-dosanya di dunia. Dalam hal hukuman “dibayar” di dunia, maka ia layak disebut sebagai hukuman dan teguran sekaligus.
Teguran atau hukuman ini bisa datang dalam berbagai bentuk, seperti kehilangan harta, sakit, atau musibah yang menimpa keluarga dalam skala kecil, maupun besar. Meski dirasa berat, teguran atau hukuman ini sebenarnya adalah bentuk kasih sayang Allah S.w.t. yang besar kepada hambaNya yang dihukum, karena teguran dalam bentuk hukuman tersebut menjadi sarana penyucian dosanya, sehingga ketika hamba tersebut bertemu dengan Allah S.w.t. di akhirat, ia telah terbebas dari dosa-dosa yang harus dipertanggungjawabkan. Ini adalah cara Allah S.w.t. mendidik hamba-Nya melalui hukuman atas dosa-dosa mereka, termasuk untuk kesalahan kecil sekalipun. Allah S.w.t. ingin mendidik hamba-Nya agar setelah itu menjadi lebih sadar, lebih berhati-hati, dan tidak lagi lalai dalam menjalani kewajibanya, dan tidak lagi melakukan apa yang dilarangNya.
Di sisi hamba, informasi hadis di atas selayaknya menjadi sumber optimisme, karena ia tahu dan meyakini bahwa hukuman ―seberat apapun― yang ia hadapi bertujuan untuk memperbaiki dirinya. Di samping meyakini bahwa hukuman yang dipercepat merupakan indikator bahwa dia adalah orang baik di mata Tuhannya.
Ketika seorang hamba menyadari bahwa hukuman di dunia ―seberat apapun― adalah bentuk perhatian Allah S.w.t. kepadanya untuk menjadikannya lebih baik, maka ia dapat menyikapinya dengan sikap positif. Optimisme ini muncul dari keyakinan bahwa
- kesulitan ini memiliki tujuan yang baik dan akan membawa keuntungan di “kemudian hari”;
- setiap kesulitan adalah bagian dari rencana yang lebih besar, yaitu pengampunan; dan
- keputusan Allah S.w.t. menghukumnya di dunia, bukan karena sejatinya Dia ingin menghukumnya, tetapi karena Dia ingin menyelamatkannya dan membersihkannya di Hari Perhitungan.
Waspada Istidraj
Hadis di atas juga memberikan warning kepada seorang hamba untuk waspada saat dia melakukan dosa, lalu Allah S.w.t. tidak menghukumnya. Ini bisa jadi bentuk istidraj.
Istidraj adalah fenomena di mana seseorang diberikan kenikmatan duniawi secara perlahan-lahan, meskipun ia terus-menerus melakukan dosa dan maksiat. Ini adalah fenomena negatif karena merupakan bentuk jebakan kenikmatan duniawi yang menjerumuskan seseorang ke dalam kerugian Hari Akhir. Meski demikian, bagi hamba yang merenunginya, istidraj bisa memiliki sisi positif sebagai peringatan dan pelajaran. Sekali lagi, istidraj memiliki sisi positif hanya khusus bagi mereka yang merenungi hidupnya.
Istidraj adalah fenomena nyata yang dilakukan oleh Allah S.w.t. sesuai firmanNya dalam surah Al-A’raf, 182-183,
وَالَّذِيۡنَ كَذَّبُوۡا بِاٰيٰتِنَا سَنَسۡتَدۡرِجُهُمۡ مِّنۡ حَيۡثُ لَا يَعۡلَمُوۡنَ * وَاُمۡلِىۡ لَهُمۡ ؕ اِنَّ كَيۡدِىۡ مَتِيۡنٌ (الأعراف: 82-83)
Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui (182) Dan Aku akan memberikan tenggang waktu kepada mereka. Sungguh, rencana-Ku sangat teguh. (183)
Allah S.w.t. akan membiarkan seseorang yang telah direndahkan olehNya terus tenggelam dalam dosa-dosanya tanpa ada teguran atau sanksi. Seakan-akan orang ini “dicuekin” sama Allah. Jika Allah S.w.t. bersikap seperti ini, maka ia adalah indikator bahaya! Indikator bahaya ini semakin “nyaring” saat setiap kali seorang hamba berbuat dosa, lalu Allah S.w.t. justru malah memberikan tambahan kenikmatan dan kemudahan duniawi yang lebih banyak. Sampai pada kondisi dia merasa aman dan nyaman dengan dosa-dosanya.
Mengapa bahaya? Karena hal ini akan membuat orang itu berpikir bahwa Tuhan memuliakannya, Tuhan mengasihinya, atau Tuhan memberkahi hidupnya. Pikiran atau persepsinya bahwa “Dia diberkahi, dimuliakan, dan dikasihi” ini adalah sebuah kesalahan besar. Orang yang memiliki kesalahan persepsi ini yang kemudian dalam Islam dikenal dengan istilah maghrur.
Ayat di atas mengingatkan bahwa fenomena istidraj adalah bentuk perendahan dan pembiaran Allah S.w.t. kepadanya, alih-alih bentuk kasih sayangNya kepadanya. Disebut perendahan karena pada akhirnya akan berujung pada hukuman yang jauh lebih berat jika dibandingkan teguran dan sanksi saat di dunia.
Untuk itu, seorang hamba yang mendapatkan dirinya penuh dengan kenikmatan, gemah ripah loh jinawi meskipun rajin berbuat dosa, selayaknya waspada, mawas diri, dan berhati-hati, karena bisa jadi ini jebakan istidraj, penangguhan sanksi yang berujung pada “kepahitan yang terpahit”.
Berdoa dengan Bijak
Meskipun hukuman atas dosa yang dipercepat di dunia adalah salah satu bentuk kasih dan perhatian Allah S.w.t., Rasulullah s.a.w. tidak menganjurkan kita berdoa agar hukuman akhirat dipercepat di dunia.
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَادَ رَجُلًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ قَدْ خَفَتَ فَصَارَ مِثْلَ الْفَرْخِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: هَلْ كُنْتَ تَدْعُو بِشَيْءٍ أَوْ تَسْأَلُهُ إِيَّاهُ؟ قَالَ: نَعَمْ كُنْتُ أَقُولُ: اللَّهُمَّ مَا كُنْتَ مُعَاقِبِي بِهِ فِي الْآخِرَةِ فَعَجِّلْهُ لِي فِي الدُّنْيَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: سُبْحَانَ اللهِ لَا تُطِيقُهُ أَوْ لَا تَسْتَطِيعُهُ أَفَلَا قُلْتَ: اللَّهُمَّ آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ قَالَ: فَدَعَا اللهَ لَهُ فَشَفَاهُ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Diceritakan oleh Anas r.a., Rasulullah s.a.w. menjenguk seorang lelaki dari kaum Muslimin yang telah menjadi sangat lemah hingga tubuhnya seperti anak burung kecil. Rasulullah s.a.w. bertanya kepadanya, “Apakah engkau pernah berdoa dengan sesuatu atau meminta sesuatu kepada Allah S.w.t.?”
Lelaki itu menjawab, “Ya. Aku biasa berdoa, “Ya Allah! Apa pun hukuman yang akan Engkau timpakan kepadaku di akhirat, percepatlah bagiku di dunia.”
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Subhanallah! Engkau tidak akan sanggup menanggungnya – atau tidak mampu memikulnya. Mengapa engkau tidak mengatakan, “Ya Allah! Berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta lindungilah kami dari azab neraka.”
Kemudian Rasulullah s.a.w. mendoakan lelaki itu kepada Allah S.w.t., dan Allah S.w.t. pun menyembuhkannya.
Kisah ini memberikan contoh praktis bahwa “berharap yang terbaik” dari Allah S.w.t. selalu menjadi pilihan utama. “Berharap yang terbaik” di sini maksudnya adalah berharap ampunan Allah S.w.t. atas dosa. Ampunan Allah S.w.t. berarti tidak ada sanksi duniawi dan ukhrawi. Ini adalah harapan terbesar bagi setiap orang yang beriman. Jika harapan ini dikabulkan, maka ia menjadi anugerah tertinggi (the highest blessing) yang pernah diraih oleh manusia beriman.
Kesimpulan dari Dua Hadis
Hadis pertama menjelaskan bahwa fenomema sanksi dosa yang dipercepat di dunia adalah indikator bahwa Allah S.w.t. menginginkan penerima hukuman menjadi orang baik (khayr), baik di “mataNya”. Sedangkan hadis kedua memberikan pelajaran bahwa meski sanksi yang dipercepat adalah salah satu bentuk kebaikan, namun jangan memintanya. Jangan meminta agar hukuman atas dosa kita dieksekusi di dunia! Tetaplah berdoa meminta ampunan dosa dan meminta al-‘afiyah sehingga tidak dihukum, baik di dunia, maupun di akhirat.
Al-‘afiyah (العافية) adalah istilah yang mencakup makna keselamatan, kesehatan, dan perlindungan dari segala bentuk keburukan atau bahaya yang dapat menimpa seseorang, baik dari sisi agama maupun sisi kehidupan duniawi. Al-‘afiyah adalah keselamatan dan keterhindaran dari apa saja yang buruk. Kata ini bersifat umum. Permohonan al-‘afiyah adalah doa beliau s.a.w. yang tidak pernah ditinggalkannya, “Ya Allah! Aku meminta kepadaMu al-‘afiyah di dunia dan akhirat.”
Semoga Allah S.w.t. senantiasa melindungi kita semua dari hukuman atas dosa kita, baik hukuman di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya, Dia adalah Dzat yang Maha Pemaaf dan Maha Dermawan (Al-Karim).