Al-imam Al-Ghazaliy (450 – 505 H / 1058-1111 M), salah seorang di antara ulama dan pemikir besar Islam, memberikan pedoman mengenai bagaimana sedekah dan zakat sebaiknya disalurkan. Dalam pandangannya, pemberian yang dilakukan tidak hanya berfokus pada 8 (delapan) golongan penerima zakat sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, al-Ma`idah, ayat 60, tetapi juga memperhatikan kriteria-kriteria khusus dari penerima yang dapat meningkatkan nilai dan dampak amal tersebut.
Prinsip dari penetapan kriteria-kriteria ini adalah bahwa pemberian harus diarahkan kepada (a) mereka yang paling membutuhkan dan (b) mampu memanfaatkan harta tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah, menjaga kehormatan diri, atau berkontribusi pada masyarakat.
Penetapan Prioritas Penerima Zakat
Al-Ghazaliy merumuskan enam kriteria utama untuk memilih penerima sedekah dan zakat:
-
Orang yang Bertakwa
Al-Ghazaliy menekankan pentingnya menyalurkan sedekah kepada mereka yang bertakwa karena mereka menggunakan harta tersebut untuk meningkatkan ketaatan kepada Allah. Rasulullah bersabda,
لا تُصاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا ، ولا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ (رواه أبو داود عن أبي سعيد الخدري)
“Jangan berteman kecuali dengan orang beriman, dan jangan makan makanamu kecuali orang yang bertakwa.”
Dengan membantu mereka, pemberi sedekah secara tidak langsung terlibat dalam membantu ketaatan mereka. Pemberian sedekah atau zakat dalam hal ini tidak hanya sebatas bantuan material, tetapi juga menjadi sarana untuk mendukung aktivitas spiritual dan ketaatan penerima kepada Allah S.w.t.
Pertanyaannya adalah bagaimana mengukur ketakwaan dengan sifatnya yang tidak terlihat?
Meski ketakwaan adalah sesuatu yang bersifat batiniyyah, tidak terlihat layaknya keimanan seseorang, tetapi ada beberapa indikator nyata yang bisa digunakan untuk menilainya. Di antara indikator yang bisa diamati adalah:
- Tidak pernah meninggalkan ibadah wajib seperti shalat, puasa, dan zakat.
- Rajin melakukan ibadah sunnah
- Berperilaku baik kepada sesama dan bersikap rendah hati
- Menjaga lisan dan perbuatan dari hal-hal yang diharamkan, dan
- Senantiasa berusaha menghindari hal-hal yang syubhat.
-
Orang yang Berilmu
Pemberian kepada para ulama atau pelajar memiliki keistimewaan khusus karena segala yang berhubungan dengan penyebaran dan pengembangan keilmuan adalah salah satu ibadah yang paling mulia jika diniatkan dengan benar. Al-Ghazaliy mengutip contoh Abdullah bin al-Mubarak (118–181 H) yang lebih memilih memberikan bantuan kepada ulama daripada membagi-bagikannya secara merata kepada yang berhak. Alasannya adalah agar para ulama tidak terganggu oleh kebutuhan duniawi sehingga dapat fokus pada pengajaran dan pengembangan keilmuan, yang manfaatnya lebih luas bagi umat.
-
Orang yang Jujur dari Sisi Tauhid dalam Ketakwaan dan Keilmuannya
Penerima yang ideal adalah mereka yang memiliki tauhid yang murni, yang melihat pemberian yang diterimanya sebagai karunia dari Allah dan bukan semata-mata dari perantara (manusia). Al-Ghazaliy mengingatkan bahwa penerima yang mampu menjaga hatinya dari ketergantungannya kepada pemberi adalah penerima prioritas. Penerima seperti ini adalah orang yang memandang pemberi hanya sebagai medium yang digunakan oleh Allah untuk memberikan rizkiNya kepadanya. Siapa pun yang tidak memurnikan hatinya dengan cara pandang yang seharusnya (yaitu, melihat pemberi sedekah atau zakat sebagai sebatas perantara atau medium), maka ia belum benar-benar terbebas dari syirik tersembunyi. Untuk itu, seyogyanya ia takut kepada Allah SWT dengan memurnikan tauhidnya dari potensi syirik (ketergantungan pada manusia).
-
Orang yang Menyembunyikan Kondisi Ketidakmampuannya
Al-Ghazaliy memuji mereka yang menjaga kehormatan diri dengan tidak banyak mengeluh atau meminta-minta, meskipun mereka dalam kesulitan. Dalam Al-Qur’an, orang-orang seperti ini digambarkan dalam ayat:
﴿ … يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا… ﴾
“… (Orang miskin) yang (di mana) orang yang tidak tahu akan menyangka mereka adalah orang kaya karena (mereka) memelihara diri dari meminta-minta. Kamu dapat mengenali mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang (lain) dengan mendesak. …” (QS. Al-Baqarah: 273)
Pemberian kepada golongan ini memiliki pahala yang lebih besar karena membantu mereka tetap menjaga kehormatan mereka, di samping memenuhi kebutuhan mereka. Pahala memberikan sedekah atau zakat kepada mereka berlipat ganda dibandingkan dengan memberikan kepada orang yang terang-terangan meminta-minta.
-
Orang yang Terhalang oleh Keterbatasannya
Kriteria ini mencakup mereka yang hidup dalam kesulitan akibat keterbatasan fisik atau lainnya seperti akibat penyakit, tanggungan keluarga besar, atau kondisi lain yang membatasi mereka dari berusaha atau produktifitas. Allah berfirman,
﴿ لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ … ﴾
(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi (QS. Al-Baqarah: 273)
-
Kerabat dan Orang Terdekat
Sedekah kepada kerabat memiliki dua manfaat sekaligus:
- memenuhi kebutuhan mereka, dan
- menyambung tali silaturahmi.
Dalam pandangan Islam, menyambung hubungan silturahmi keluarga, mulai dari yang terdekat hingga yang terjauh (dzawi al-arham), adalah ibadah yang sangat dianjurkan. Dalam konteks ini, ‘Aliy bin Abi Thalib r.a. pernah berkata,
لَأَنْ أَصِلَ أَخًا مِنْ إِخْوَانِي بِدِرْهَمٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِعِشْرِينَ دِرْهَمًا وَلَأَنْ أَصِلَهُ بِعِشْرِينَ دِرْهَمًا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ وَلَأَنْ أَصِلَهُ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُعْتِقَ رَقَبَةً
Sungguh aku menyambung tali silaturahmi dengan seorang saudara di antara saudara-saudaraku dengan satu dirham lebih aku sukai daripada bersedekah dengan dua puluh dirham (kepada orang lain). Dan sungguh aku menyambung tali silaturahmi kepadanya dengan dua puluh dirham lebih aku sukai daripada bersedekah dengan seratus dirham (kepada orang lain). Dan sungguh aku menyambung tali silaturahmi kepadanya dengan seratus dirham lebih aku sukai daripada memerdekakan seorang budak.”
Al-Ghazaliy menambahkan, dalam hal ini, selain keluarga dan kerabat, teman dekat dan saudara yang seiman juga termasuk dalam prioritas ini.
Berijtihad untuk Memastikan Kriteria-Kriteria Penerima Terpenuhi
Berijtihad yang dimaksud di sini adalah mengerahkan kemampuan dan pengamatan untuk mencari dan memastikan penerima yang sesuai dengan kriteria di atas. Upaya ini, disertai niat tulus bersedekah atau berzakat adalah sangat penting, meskipun hasil akhirnya mungkin tidak sempurna atau akurat.
Mereka yang berijitihad dan berhasil memberikannya kepada yang tepat, maka ia akan mendapatkan dua pahala:
- Pahala pertama berkaitan dengan
- pembersihan hati dari sifat bakhil (kikir),
- penguatan cintanya kepada Allah SWT mengingat sedekah adalah bentuk nyata dari kepatuhan dan cinta kepada Allah, dan
- pengarahan hati kepada kerinduan untuk bertemu dengan Allah (kerinduan pada akhirat), mengingat ia telah berusaha menanam kebaikan yang abadi.
- Pahala kedua berkaitan dengan
- dampak sedekah bagi penerima, yang dapat menghasilkan kebaikan lebih luas. Misalnya, penerima yang bertakwa berkemungkinan besar akan menggunakan bantuan tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah atau membantu orang lain, sehingga hasil amal pemberi terus “berjalan”, bahkan bisa sepanjang keberadaan dunia.
Bagaimana jika pemberi sedekah dan zakat tidak berhasil mendapatkan atau memberikan sedekah atau zakatnya kepada penerima yang memenuhi kriteria di atas?
Jika dalam kenyataannya penerima tidak sesuai kriteria di atas, manfaat atau pahala kedua mungkin tidak tercapai. Tetapi selama niatnya benar dan ia telah berusaha semampunya untuk menyalurkan sedekah dengan bijak, maka ia tetap mendapatkan pahala pertama. Hal ini sudah cukup memberikan ketenangan bagi pemberi sedekah bahwa ia tidak akan merugi, karena Allah S.w.t menilai usaha dan keikhlasannya.
Dasar Pertimbangan Prioritisasi: Bukan Diskriminasi
Menurut al-Ghazaliy, tidak semua orang yang membutuhkan memiliki kualitas atau kondisi yang sama. Ada kelompok tertentu yang dapat memanfaatkan bantuan tersebut dengan lebih baik, seperti orang bertakwa, ulama (baca orang yang konsen dengan pengembangan dan penyebaran keilmuan, khususnya disiplin ilmu keislaman), atau mereka yang menjaga harga diri meski hidup dalam kesulitan, dan mereka yang memiliki keterbatasan untuk produktif. Memberi kepada orang-orang seperti ini dapat meningkatkan nilai tambah sedekah atau zakat itu.
Dengan panduan pemberian sedekah atau zakat di atas, al-Ghazaliy tidak sedang ingin menggagas ide diskriminasi, tetapi sebuah upaya untuk memastikan bahwa pemberian tersebut efektif, bermanfaat, dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Alasan utama di balik panduan ini adalah agar sedekah dan zakat dapat memberikan dampak maksimal, baik secara spiritual maupun sosial.
Beliau mendorong agar sedekah dan zakat dikelola secara bijaksana dengan mempertimbangkan manfaat jangka panjang dan dampak positifnya yang luas melebar. Dengan demikian, panduan ini lebih bersifat strategis dan menjaga keadilan daripada diskriminatif.
Sebagai penutup, perlu digarisbawahi bahwa apa yang dikemukakan oleh Al-Ghazaliy tidak menggeser kriteria 8 (delapan) kelompok penerima zakat yang ditetapkan oleh ayat 60, surat al-Ma`idah, tetapi memperkaya cara pandang dalam distribusi zakat agar lebih efektif dan berdampak. Ia menekankan pentingnya prioritisasi dalam distribusi zakat sesuai dengan tujuan utama dari zakat itu sendiri, yaitu membersihkan harta, membantu yang membutuhkan, dan mendukung pertumbuhan sosial serta spiritual.
Untuk itu harus dibedakan antara “Kriteria Penerima Zakat” dengan “Kriteria Penentuan Prioritas Penerima Zakat”. Yang kedua ini yang sedang disampaikan oleh al-imam al-Ghazaliy.
Tulisan ini pengembangan dari sebagian konten buku Maw’izhah al-Mu`minin ―lihat di sini― yang ditulis oleh Muhammad Jamaluddin al-Qasimiy Ad-Dimasyqiy, salah satu buku ringkasan Ihya` ‘Ulumiddin karya al-imam al-Ghazaliy.