Pernikahan wanita hamil akibat zina dalam 4 (empat) madrasah pemikiran hukum Islam
1. Apa hukum pernikahan wanita yang hamil akibat hubungan zina ?
Jawab :
Mazhab | Hukum | Argumen |
|
|
|
|
|
|
Kalangan Hanabilah, di samping mensyaratkan pernikahan wanita hamil akibat zina dilakukan setelah kelahiran bayinya, juga menambahkan syarat pernyataan taubat secara terbuka atau terbukti (tsabata) bertaubat.
2. | Dengan asumsi mengikuti pendapat yang mengizinkan menikahi wanita hamil akibat zina, apakah izin ini hanya terbatas diberikan kepada lelaki yang menjadi ayah biologis dari janin yang dikandungnya atau bersifat terbuka, termasuk kepada lelaki lain?
Jawab : Dengan asumsi mengikuti pendapat yang mengizinkan menikahi wanita hamil akibat zina, maka izin ini bersifat terbuka. Baik kepada lelaki yang menyebabkan kehamilan dengan cara zina (ayah biologis) maupun lelaki lain. |
3. | Masih dengan asumsi mengikuti pendapat yang mengizinkan menikahi wanita hamil akibat zina, apakah siapa pun lelaki yang menikahinya dapat langsung melakukan hubungan suami istri dengannya setelah menikah?
Jawab : Jika lelaki itu adalah ayah biologis dari bayi yang dikandungnya (saat menikah) maka keduanya dapat melakukan hubungan suami istri tanpa harus menunggu kelahiran bayinya. Argumen Hanafiyyah adalah sabda Rasulullah –shalawat dan salam untuknya– yang sudah diungkapkan di atas, “Siapa yang beriman kepada Allah –subhanah wa ta’alaa– dan Hari Akhir maka janganlah air maninya menyirami janin (walad) milik orang lain.” |
Pernikahan Wanita Hamil Akibat Zina dalam Kompilasi Hukum Islam (Indonesia)
Sementara itu, berikut adalah aturan dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Kompilasi Hukum Islam, Buku I, Hukum Perkawinan
Bab VIII : Kawin Hamil
Pasal 53
- Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
- Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
- Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Hubungan nasab (perdata) antara anak di luar pernikahan dengan ayah biologisnya di Indonesia
Kompilasi Hukum Islam, Buku I, Hukum Perkawinan
Bab XIV : Pemeliharaan Anak
Pasal 100
- Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 43
- Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
- Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pada 17 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang menyatakan bahwa anak yang lahir di luar pernikahan tetap memiliki hubungan perdata dengan ayah kandung. Melalui putusan itu, bunyi pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 di atas diubah menjadi:
- Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Putusan itu dilatari permohonan uji materi yang diajukan Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar, penyanyi dangdut asal Sengkang, Makassar yang menikah siri (tidak tercatat di KUA) dengan Moerdiono yang waktu itu Mensesneg RI pada 20 Desember 1993. Dari pernikahan ini lahir seorang anak leki-laki yang diberi nama M Iqbal Ramadhan.
Catatan kaki:
1. |
عن أبي سعيد الخدري ورفعه أنه قال في سبايا أوطاس : ” لاتوطأ حامل حتى تضع ولا غير ذات حمل حتى تحيض حيضة ” (سنن أبي داود, سليمان بن الأشعث أبو داود السجستاني الأزدي, تحقيق : محمد محيي الدين عبد الحميد, دار الفكر, ج 1, ص 654) قال ابن حجر العسقلاني : وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ (التلخيص الحبير في تخريج أحاديث الرافعي الكبير, أحمد بن علي بن حجر العسقلاني, ج 1, ص 322) Abu Sa’id al-Khudriy bercerita bahwa Rasulullah –shalawat dan salam untuknya– bersabda terkait para wanita tawanan perang Awthas (yang kemudian dijadikan budak), “Wanita yang hamil tidak boleh “dikumpuli” hingga melahirkan. Sedangkan yang tidak hamil tidak boleh ‘dikumpuli’ hingga haid satu kali.” Validitas hadis : Hasan menurut Ibn Hajar al-‘Asqalaniy. |
2. |
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّ ” رَجُلًا تَزَوَّجَ امْرَأَةً، فَلَمَّا أَصَابَهَا وَجَدَهَا حُبْلَى، فَرُفِعَ ذَلِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَجَعَلَ لَهَا الصَّدَاقَ وَجَلَدَهَا مِائَةً “، هَذَا حَدِيثٌ مُرْسَلٌ (السنن الكبرى, أبو بكر البيهقي, تحقيق : محمد عبد القادر عطا, دار الكتب العلمية، بيروت, ج 7, ص 255) Status hadis : Mursal. |
3. |
عَنْ رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ قَالَ عَامَ خَيْبَرَ: ” مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَسْقِيَنَّ مَاءَهُ وَلَدَ غَيْرِهِ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَأْخُذَنَّ دَابَّةً مِنَ الْمَغَانِمِ فَيَرْكَبَهَا حَتَّى إِذَا أَعْجَفَهَا رَدَّهَا فِي الْمَغَانِمِ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَلْبَسْ ثَوْبًا مِنَ الْمَغَانِمِ حَتَّى إِذَا أَخْلَقَهُ رَدَّهُ فِي الْمَغَانِمِ “. (صحيح ابن حبان بترتيب ابن بلبان, محمد بن حبان الدارمي البُستي, تحقيق : شعيب الأرنؤوط, مؤسسة الرسالة, بيروت, ج 11, ص 186) Validitas hadis : Shahih. |
4. |
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتِ اخْتَصَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِى وَقَّاصٍ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فِى غُلاَمٍ فَقَالَ سَعْدٌ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِى عُتْبَةَ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ عَهِدَ إِلَىَّ أَنَّهُ ابْنُهُ انْظُرْ إِلَى شَبَهِهِ وَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ هَذَا أَخِى يَا رَسُولَ اللَّهِ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِى مِنْ وَلِيدَتِهِ فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى شَبَهِهِ فَرَأَى شَبَهًا بَيِّنًا بِعُتْبَةَ فَقَالَ : هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ الْوَلَدُ لِلْفِرَاَشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ وَاحْتَجِبِى مِنْهُ يَا سَوْدَةُ بِنْتَ زَمْعَةَ . (متفق عليه. واللفظ لمسلم. صحيح مسلم, مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري, دار الجيل بيروت ودار الأفاق الجديدة, بيروت, ج 4, ص 171) Latar belakang kisah: |
5. |
عَنْ عَائِشَةَ , قَالَتْ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ زَنَى بِامْرَأَةٍ فَأَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا أَوِ ابْنَتَهَا , قَالَ: لاَ يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلاَلَ إِنَّمَا يُحَرِّمُ مَا كَانَ بِنِكَاحٍ. (سنن الدارقطني, علي بن عمر بن أحمد البغدادي الدارقطني, تحقيق : شعيب الارنؤوط، حسن عبد المنعم شلبي، عبد اللطيف حرز الله، أحمد برهوم, مؤسسة الرسالة، بيروت, ج 4, ص 401) |
6. |
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : ” وَلَا يُفْسَخُ نِكَاحُ حَامِلٍ مِنْ زِنًا ، وَأُحِبُّ أَنْ تُمْسَكَ حَتَّى تَضَعَ. (الحاوى الكبير, الماوردى, دار الفكر, بيروت, ج 3, ص 22) |