وجهُ نصْبِ ما بعْدَ بَانَ

Alasan Nasahab Kata Setelah Baana

Beberapa santri yang mengkaji buku-buku fiqh kadang-kadang menemukan isykaal mengenai alasan ke-nashab-an kata yang berada setelah kata “bana (بان)“.

Keterangan ustadz al-ustadzin, syaikh Ali asy-Syabramallisiy (997 – 1087 H / 1588 – 1676 M) yang dikutipnya dari dari al-imam as-Suyuthi (849 – 911 H / 1445 – 1505 M) berikut diharapkan dapat membantu mengurai isykal tersebut.

Sebagai contoh, kalimat yang akan dibahas adalah status kata imra`atan dalam kalimat:

بَانَ إمَامُهُ امْرَأَةً أَوْ كَافِرًا مُعْلِنًا

“Imamnya ternyata wanita atau nonmuslim yang menyatakan kekufurannya secara terbuka (declare)”

As-Suyuthi memaparkan, setidaknya terdapat 3 (tiga) pendapat mengenai alasan ke-nashab-an kata imra`atan di atas, yaitu:

  • Kata imra`atan ber-i’rab nashab karena kedudukannya sebagai maf’ul bih dari kata bana.
  • Kata imra`atan ber-i’rab nashab karena statusnya sebagai hal.
  • Kata imra`atan ber-i’rab nashab karena kapasitasnya sebagai khabar bagi kata bana. Pendapat ini meyakini bahwa bana adalah salah satu dari akhwat kana.

Menurut as-Suyuthi, ketiga pendapat tersebut tidak memiliki alasan yang tepat. Beliau membeberkan sisi kelemahan pendapat masing-masing seperti berikut:

  1. Kata bana adalah fi’l lazim atau kata kerja intransitif sehingga tidak memerlukan maf’ul bih (obyek). Ke-lazim-annya dijelaskan oleh beberapa kamus arab, di antaranya kamus ash-Shihah.
  2. Kata imra`atan tidak bisa menjadi hal karena 2 (alasan):
    1. hal harus berupa kata musytaqq (derivative noun), sedangkan kata imra`atan adalah kata jamid (primitive noun).
    2. jika ia dijadikan hal, maka maksudnya menjadi “imamnya terungkap saat dalam kondisinya sebagai wanita”, padahal maksudnya tidak demikian.
  3. Jumlah akhwat kana terbatas sebagaimana dirincikan oleh pakar bahasa arab Abu Hayyan dan beliau tidak memberikan informasi bahwa ada komunitas arab yang memasukkan bana sebagai salah satu akhwat kana.

Setelah menyatakan ketiga pendapat di atas tidak memiliki alasan yang kuat, as-Suyuthi menawarkan pendapatnya. Menurutnya, kata imra`atan di-i’rab nashab karena statusnya sebagai tamyiz yang dikonversi dari fa’il, sebagaimana dalam contoh kalimat:

طَابَ زَيْدٌ نَفْسًا أي طابتْ نفسُ زيدٍ

Dengan begitu, kata bana dan kata sesudahnya diasumsikan menjadi:

بَانَ إمَامُهُ امْرَأَةً أَيْ بَانَتْ أُنُوثَةُ إمَامِهِ

Berikut adalah teks as-Suyuthi yang dikutip oleh Ali asy-Syabramallisiy dalam Hasyiyah-nya saat menjelaskan teks al-imam ar-Ramliy dalam Nihayah al-Muhtaj.

ذَكَرَ السُّيُوطِيّ عَنْ بَعْضِهِمْ أَنَّ بَانَ مِنْ أَخَوَاتِ كَانَ وَرَدَّهُ.  وَعِبَارَتُهُ فِي دُرِّ التَّاجِ فِي إعْرَابِ مُشْكِلِ الْمِنْهَاجِ :
وَقَعَ السُّؤَالُ فِي هَذِهِ الأيّام عَنْ وَجْهِ نَصْبِ ” امْرَأَةٍ “، فَذَكَرَ السَّائِلُ أَنَّ مُدَرِّسِي الْعَصْرِ اخْتَلَفُوا:

  1. فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ إنَّهُ مَفْعُولٌ بِهِ،
  2. وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ إنَّهُ حَالٌ،
  3. وَمِنْهُمْ مِنْ قَالَ إنَّهُ خَبَرُ بَانَ عَلَى أَنَّهَا مِنْ أَخَوَاتِ كَانَ.

فَقُلْت: لَا يَصِحُّ وَاحِدٌ مِنْ هَذِهِ الثَّلاَثَةِ،

  1. أمَّا الأَوَّلُ فَلأَنَّ فِعْلَهُ لَازِمٌ لَا يَنْصِبُ الْمَفْعُولَ بِهِ، قَالَ فِي الصِّحَاحِ: بَانَ الشَّيْءُ وَتَبَيَّنَ اتَّضَحَ وَظَهَرَ وَأَبَنْتُه أَنَا وَبَيَّنْتُه أَظْهَرْتُه.
  2. وَأَمَّا الثَّالِثُ فَبَاطِلٌ قَطْعًا؛ لأَنَّ أَخَوَاتِ كَانَ مَحْصُورَةٌ مَعْدُودَةٌ قَدْ اسْتَوْفَاهَا أَبُو حَيَّانَ فِي شَرْحِ التَّسْهِيلِ وَالِارْتِشَافِ، وَذَكَرَ كُلَّ فِعْلٍ عَدَّهُ قَوْمٌ مِنْهَا، وَلَمْ يَذْكُرْ أَنَّ أَحَدًا عَدَّ مِنْهَا بَانَ.
  3. وَأَمَّا الثَّانِي فَيَكَادُ يَكُونُ قَرِيبًا، لَكِنْ يُبْعِدُهُ أَنَّ امْرَأَةً لَيْسَ بِمُشْتَقٍّ وَلاَ مُنْتَقِلٍ. وَشَرْطُ الْحَالِ أَنْ يَكُونَ مُشْتَقًّا مُنْتَقِلاً، وَيُبْطِلُهُ أَنَّ الْحَالَ قَيْدٌ لِلْعَامِلِ، وَأَنَّهُ بِمَعْنًى فِي حَالٍ، وَهُوَ غَيْرُ مُتَّجَهٍ هُنَا إذْ لاَ يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ الْمَعْنَى بَانَ فِي حَالِ كَوْنِهِ امْرَأَةً، وَإِنَّمَا الْمَعْنَى بَانَ أنَّهُ أَمَّهُ امْرَأَةٌ، وَيُوَضِّحُ ذَلِكَ قَوْلُهُ: أَوْ كَافِرًا فَإِنَّهُ لَيْسَ الْمَعْنَى بَانَ فِي حَالِ كُفْرِهِ، فَقَدْ يَكُونُ إنَّمَا بَانَ بَعْدَ إسْلَامِهِ، وَإِنَّمَا الْمُرَادُ بَانَ أَنَّهُ أَمَّهُ كَافِرٌ.

وَإِذَا بَطَلَ ذَلِكَ فَالْمُتَّجَهُ أَنَّهُ تَمْيِيزٌ مُحَوَّلٌ عَنْ الْفَاعِلِ كَطَابَ زَيْدٌ نَفْسًا، وَالتَّقْدِيرُ بَانَ مِنْ جُمْلَةِ أَحْوَالِهِ كَوْنُهُ امْرَأَةً : أَيْ بَانَتْ أُنُوثَةُ إمَامِهِ. فَإِنْ قُلْت: فَمَاذَا تَصْنَعُ بِقَوْلِهِ بَعْدُ ” أَوْ كَافِرًا ” فَإِنَّهُ مُشْتَقٌّ وَمُنْتَقِلٌ؟ قُلْتُ: هُوَ كَـ”فَارِسًا” فِي قَوْلِهِمْ ” للهِ دَرُّهُ فَارِسًا ” فَإِنَّهُمْ أَعْرَبُوهُ تَمْيِيزًا لِلْجِهَةِ وَمَنَعُوا كَوْنَهُ حَالاً. اهـ – حاشية الشبراملسي


وهل أصبح الفكر الإنساني عقيمًا فلا يقدم الأدوات التي تخضع للشرع وتحقق المقصود دون مواربة أو التواء؟ والجواب على ذلك هو أن البديل موجود، ولكن ما ينقصنا هو إرادة الخلاص من الحرام، والتوجه إلى ما هو أقوم وأطهر وأسلم. (سامي حسن حمود يرحمه الله)

Apakah pemikiran manusia menjadi mandul sehingga tidak mampu menyediakan tools yang sesuai Syariah dan –dalam waktu yang sama- mampu merealisasikan keinginan mereka, tanpa harus berdalih?
Alternatif selalu ada. Yang kurang adalah goodwill untuk menghindar dari yang haram, menuju ke alternatif yang lebih lurus, lebih bersih serta lebih aman." (almarhum Sami Hasan Hamud)