Tanpa bermaksud mengagungkan keberadaan pesantren dengan aktifitas pendidikan akhlak, fenomena tawuran antar pelajar saat ini sepatutnya dilihat sebagai akibat dari kurangnya pendidikan akhlak keagamaan yang diberikan oleh pihak sekolah umum negeri dan swasta. Fenomena ini sudah nyaris akut karena sudah mulai pada tahap kejahatan tertinggi dalam peradaban budaya manusia, yaitu membunuh.
Para pemegang kebijakan pendidikan di Indonesia sepatutnya mau membuka diri dan berjiwa besar mengakui bahwa ini adalah akibat dari marginalisasi pendidikan agama atau pendidikan moral keagamaan. Betapa mahalnya harga resiko pengagungan terhadap pendidikan umum.
Dalam skema pikir remaja, tidak ada istilah bahwa nyawa melayang adalah sebuah pelajaran berharga untuk berhenti tawuran dan bertaubat, kembali kepada jalan yang lurus, yaitu mengejar prestasi. Sebaliknya, balas dendam atas kematian teman adalah wujud loyalitas yang harus dijunjung tinggi.
Setelah semuanya, selayaknya pemegang kebijakan mengambil keputusan berani yang didasari oleh idealisme bahwa pendidikan harus berakhir pada perbaikan karakter.
Sayangnya, alih-alih menyadari ini sejak dulu, yang terjadi adalah penetapan hari Sabtu sebagai hari libur sehingga jam pelajarannya dipindahkan di 5 (lima) hari yang lain, yang akibatnya para pelajar pulang semakin siang, bahkan ada yang baru tiba di rumah pukul 19.00 malam, terhitung sejak pukul 06.30. (Profesor aja gak belajar segini lama).
Runyamnya, praktek pendidikan di Indonesia ini toh semakin diperkeruh dengan komersialisasi pembelajaran. Dari sekedar guru yang cari “tambahan” dengan membuat les di sekolah, ekstra kurikuler, hingga lembaga bisnis bimbel yang masuk sekolah (kalo’ emang maunya bisa lolos UN, kenapa sekolah gak dibubarkan saja, lalu diganti dengan wajib bimbel. Toh bimbel selalu memiliki jurus tokcer untuk menjawab soal-soal ujian dengan cepat dan tepat dibandingkan cara yang diajarkan di sekolah).
Mungkin pemegang kebijakan punya ketakutan bahwa memulangkan para pelajar lebih awal seperti sekolah zaman dulu akan mengakibatkan kokosongan waktu yang berpotensi digunakan untuk tidak semestinya.
Di sisi lain, lamanya rentang waktu belajar ternyata hanya menciptakan pelajar-pelajar yang tidak memiliki rasa sosial.
Bagi pencari keuntungan, momok UN yang selalu ditiup-tiupkan oleh sekolah dan bimbel bisa semakin meraih keuntungan. Yang terakhir ini selalu berakhir pada logika materialisme.
Dulu orang tua kita, sepulang sekolah belajar di madrasah. Mereka pulang sekolah di waktu zhuhur. Tiba di rumah istirahat makan dan mandi lalu berangkat kembali ke madrasah, belajar ilmu agama (baca: belajar mendidik karakter). Kita merindukan madrasah-madrasah seperti ini. Meski mereka –para pengambil kebijakan pendidikan yang pendidikan luar negeri dan mempunyai otak encer– menilai rendah eksistensi madrasah-madrasah tersebut, kenyataannya selayaknya mereka layak berterimakasih karena keberadaan madrasah-madrasah itu di era dulu dan sekarang telah membantu meringankan tugas pemerintah membina anak bangsa. Sayangnya, rentang waktu belajar yang semakin panjang, apalagi setelah keluarnya kebijakan libur hari Sabtu telah membunuh dan menutup secara perlahan pendidikan tradisional madrasah di siang hari.
Mau apa sih sebenarnya kita belajar? Kalau hanya karena selembar kertas ijazah, lalu bekerja, lalu balik modal maka sungguh naif motivasi pembelajaran kita.
Harus ada keberanian untuk mengambil keputusan bahwa pendidikan agama dan akhlak harus mendapat porsinya yang layak. Layak dalam pengertian sesuai keseimbangan hidup, yang itu kebutuhan duniawi dan ukhrawi. Jika ini maka setidaknya 50% berbanding 50%. Ini yang disebut layak. Bukan layak dalam arti sekedar penghias di antara pelajaran-pelajaran yang lain. Hanya 2 jam dalam satu minggu, di mana 1 jam dimaksud sama dengan 45 menit.
Jika pengambil kebijakan tidak mampu memberikan pendidikan keagamaan secara baik, maka biarkan penyelenggaraan pendidikan keagamaan itu diserahkan kepada masyarakat. Jika ini disepakati, maka kurangi dong jam pelajaran di SMP dan SMA atau setara keduanya, agar penyelenggara pendidikan agama bisa melakukan peran mereka secara maksimal dan mencapai targetnya. Tentu saja bukan target menjadi “teroris”.
Mau kemana sebenarnya? Atau apakah penulis yang picik?