Kausalitas dan Tawakal: Menyelaraskan Kehendak Allah

Kausalitas dan Tawakal: Menyelaraskan Kehendak Allah

Salah satu aturan/hukum yang Allah tetapkan dalam kehidupan ini (sunnatullah) adalah hukum sebab dan akibat (kausalitas). Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini tidak terjadi secara kebetulan, tetapi mengikuti aturan yang ajeg (sistemik) dan didasari oleh hikmah yang mendalam. Hukum ini tidak hanya berlaku dalam tatanan alam, tetapi juga dalam hukum syariat dan kehidupan manusia.

Hukum Sebab dan Akibat sebagai Sunnatullah

Hukum kausalitas, atau hukum sebab-akibat, dalam konteks ajaran Islam dapat dipahami sebagai aturan Tuhan yang mengatur bagaimana setiap perbuatan manusia, baik yang positif maupun negatif, akan mendatangkan konsekuensi atau akibat yang sesuai dengan sifat perbuatan tersebut. Dua ayat berikut menjadi dasar tentang eksestensi hukum kausalitas dalam aturan Allah, Tuhan semesta alam:

“Maka siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Surah Az-Zalzalah, 99:7)

Begitu pula sebaliknya, jika seseorang berbuat buruk, dia akan menerima akibatnya:

“dan siapa mengerjakan keburukan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Surah Az-Zalzalah, 99:8)

Allah telah menetapkan bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki sebab yang mengantarkan kepada akibat. Kesuksesan, kejayaan, maupun kemunduran suatu peradaban tidak terjadi begitu saja, tetapi merupakan hasil dari tindakan dan pilihan yang dilakukan sebelumnya.

Nabi Muhammad s.a.w. telah mengajarkan bahwa kehidupan ini memiliki konsekuensi atas setiap tindakan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, beliau memperingatkan lima dosa besar yang jika dibiarkan, akan mendatangkan bencana bagi suatu kaum:

أقبل علينا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فقال يا معشرَ المهاجرين خمسُ خِصالٍ إذا ابتليتم بهنَّ وأعوذُ باللهِ أن تدركوهنَّ لم تظهَرِ الفاحشةُ في قومٍ قطُّ حتَّى يُعلِنوا بها إلَّا فشا فيهم الطَّاعون والأوجاعُ الَّتي لم تكُنْ مضت في أسلافِهم الَّذين مضَوْا ولم ينقُصوا المكيالَ والميزانَ إلَّا أُخِذوا بالسِّنين وشدَّةِ المؤنةِ وجوْرِ السُّلطانِ عليهم ولم يمنَعوا زكاةَ أموالِهم إلَّا مُنِعوا القطْرَ من السَّماءِ ولولا البهائمُ لم يُمطَروا ولم يَنقُضوا عهدَ اللهِ وعهدَ رسولِه إلَّا سلَّط اللهُ عليهم عدوًّا من غيرِهم فأخذوا بعضَ ما في أيديهم وما لم تحكُمْ أئمَّتُهم بكتابِ اللهِ تعالَى ويتخيَّروا فيما أنزل اللهُ إلَّا جعل اللهُ بأسَهم بينهم (رواه ابن ماجه عن عبد الله بن عمر)/p>

Rasulullah s.a.w. datang menghampiri kami (para muhajirin), lalu bersabda:
“Wahai kaum Muhajirin, ada lima hal (yang akan terjadi) apabila kalian diuji dengannya—dan aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak mengalaminya—yaitu:

  1. Jika perbuatan zina merajalela dalam suatu kaum dan mereka terang-terangan melakukannya, maka penyakit menular yang belum pernah terjadi pada umat-umat sebelumnya akan menyebar di tengah mereka.
  2. Jika mereka mengurangi timbangan dan takaran, maka mereka akan ditimpa kemarau panjang, kelaparan, dan kezaliman penguasa.
  3. Jika mereka enggan membayar zakat, maka Allah akan menahan turunnya hujan, dan kalau saja bukan karena hewan-hewan ternak, mereka tidak akan mendapatkan hujan sama sekali.
  4. Jika mereka mengingkari perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan menjadikan musuh dari luar menguasai mereka dan mengambil sebagian dari apa yang mereka miliki.
  5. Jika pemimpin mereka tidak menerapkan hukum Allah, maka Allah akan menjadikan permusuhan dan perpecahan di antara mereka. (HR. Ibnu Majah)

Hadis ini menunjukkan bahwa berbagai bencana sosial, politik, dan ekonomi yang menimpa suatu umat sering kali disebabkan oleh perilaku buruk mereka sendiri. Jika kemaksiatan merajalela, maka dampak buruknya akan kembali kepada masyarakat itu sendiri. Fenomena negatif ini juga bagian dari hukum kausalitas.

Menjaga Keseimbangan Antara Hukum Sebab Akibat dan Tawakal

Sebagian orang mungkin memahami bahwa bertawakal kepada Allah berarti meninggalkan usaha dan hanya berharap pada keajaiban atau keberuntungan. Islam mengajarkan keseimbangan antara usaha dan tawakal. Rasulullah s.a.w. bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغْدُو خِمَاصًا ، وَتَرُوحُ بِطَانًا (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَقَالَ حَسَنٌ صَحِيحٌ)

Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia akan memberi kalian rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi di pagi hari dengan perut kosong dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang. (HR. Tirmidzi)

Hadis ini menegaskan bahwa burung tidak hanya diam di sarangnya menunggu makanan datang, tetapi terbang mencari rezeki, dan Allah memberikan rezeki melalui usaha mereka. Dengan demikian Islam tidak mengajarkan kepasrahan buta, tetapi usaha yang disertai dengan tawakal kepada Allah.

Hadis ini juga mengisyaratkan bahwa seseorang diperbolehkan mencari tambahan rezeki melebihi apa yang sudah dimilikinya. Ini tidak bertentangan dengan konsep tawakal.

Ada yang berargumen bahwa hadis ini justru membuktikan bahwa tawakal berarti hanya mengambil secukupnya tanpa menabung atau menyimpan lebih untuk hari esok, karena burung tidak menyimpan makanan untuk keesokan harinya. Namun, argumen ini dapat dibantah bahwa yang dijadikan pegangan dalam hadis tersebut bukanlah soal burung tidak menabung, melainkan usaha burung dalam mencari rezeki dengan pergi di pagi hari dan pulang di sore hari setelah bekerja keras mencari makanan. (Ahkam al-Qur’an, Ibn al-‘Arabiy, jil. 3, hal. 448)

Keseimbangan yang antara usaha dan tawakal semakin ketara dalam jawaban beliau s.a.w. berikut:

قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : أُرْسِلُ نَاقَتِي وَأَتَوَكَّلُ ؟ قَالَ : اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ (رواه ابن حبان عن عَمْرِو بْنِ أُمَيَّةَ -صحيح)

Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Apakah aku dapat melepas untaku dan bertawakal?” Beliau menjawab, “Ikat, lalu bertawakal!” (H.R. Ibn Hibban)

Hadis ini menegaskan bahwa tawakal bukan berarti meninggalkan usaha atau bersikap pasif.

Demikian juga dalam konteks perubahan umat Muslim menuju kebaikan, ia tidak hanya memerlukan usaha aktif dalam menjalankan perintah Allah, tetapi juga harus diimbangi dengan usaha pencegahan yang kuat, yakni dengan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh-Nya. Keberhasilan umat tidak hanya bergantung pada tindakan positif, tetapi juga pada kemampuan untuk menghindari hal-hal yang bisa menyebabkan kelemahan dan kemunduran.
Allah S.w.t. melalui Rasulullah s.a.w. juga mengingatkan kita untuk tidak hanya fokus pada tindakan positif, apalagi yang serba duniawi, tetapi juga untuk menghindari segala bentuk keburukan yang bisa mengarah pada kehancuran.

Artinya, hukum sebab-akibat dalam Islam mengajarkan kita untuk mengombinasikan usaha aktif dengan pencegahan yang penuh kesadaran, serta tawakal kepada Allah setelah berusaha. Sebagai umat yang beriman, kita harus menjaga keseimbangan antara berusaha memperbaiki diri dan menghindari segala hal yang dapat mengurangi keberkahan hidup, sambil selalu meyakini bahwa hasil akhir ada di tangan Allah.

Dalam sebuah hadis yang dinilai dha’if oleh imam Asy-Syafi’iy, diceritakan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda,

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُـمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَيَنْزِعُهُ شَيْئٌ حَتَّى تَرْجِعُواْ إِلَى دِيْنِكُمْ

Jika kalian melakukan jual beli dengan cara al-‘inah, mengikuti ekor sapi (sibuk bertani tanpa peduli urusan umat), puas dengan pertanian, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, dan Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian. (HR. Abu Dawud)

Imam Asy-Syawkaniy menjelaskan bahwa kehinaan ini terjadi karena umat Islam meninggalkan dakwah dengan bijak dan nasehat baik, termasuk berjihad dalam pengertian yang luas, yang seharusnya menjadi sarana untuk menjaga kehormatan agama dan kejayaan Islam. Jika umat hanya fokus pada urusan duniawi tanpa peduli terhadap kemuliaan agamanya, maka Allah akan membiarkan mereka dikuasai oleh bangsa lain.

Pelajaran dari Perjuangan Nabi s.a.w.

Nabi Muhammad s.a.w. sendiri tidak mengabaikan hukum sebab akibat dalam dakwahnya. Sejak awal dakwahnya, beliau selalu mencari strategi yang tepat, termasuk mencari perlindungan dari suku-suku yang dapat membantunya menyebarkan Islam.

Contoh lain yang menunjukkan bagaimana Rasulullah s.a.w. menghormati hukum sebab akibat adalah hijrahnya ke Madinah. Beliau tidak hanya mengandalkan mukjizat, tetapi menyiapkan segala sesuatu dengan matang:

  • Mempersiapkan kendaraan dan bekal perjalanan.
  • Menunjuk Ali bin Abi Thalib r.a. untuk menggantikan posisi beliau di tempat tidurnya guna mengelabui kelompok kafir Quraisy.
  • Memilih jalan yang tidak biasa ditempuh orang agar jejaknya sulit diikuti.
  • Menyewa seorang penunjuk jalan yang handal meskipun dia non-muslim.
  • Bersembunyi di gua Tsur selama tiga hari untuk menghindari kejaran musuh.

Semua ini menunjukkan bahwa Rasulullah s.a.w. tidak menggantungkan diri hanya pada keajaiban, tetapi mengikuti hukum sebab akibat yang telah Allah tetapkan.

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi akal, logika, dan sunnatullah pada alam. Allah telah menetapkan sebuah aturan bahwa segala sesuatu terjadi melalui sebab dan akibat, dan siapa yang mengabaikannya akan menghadapi dampak buruk.

Seorang muslim harus memahami bahwa perubahan tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi melalui usaha yang sungguh-sungguh. Dalam waktu yang sama menyandarkan diri kepada Allah dengan tawakal. Tawakal adalah sebuah kewajiban nyata bagi umat muslim, namun tidak segalanya lalu berhenti hanya di tawakal. Jangan melawan sunnatullah!


فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا

"Jangan kalian mengikuti hawa nafsu (kecenderungan diri) karena ingin menyimpang dari kebenaran" (Q.S. An-Nisaa`, 135)