Artikel ini ditulis sebagai jawaban dari pertanyaan Ikhwan yang diajukannya di buku tamu situs alpontren.com yang menanyakan adakah bacaan yang bisa menggantikan sujud tilawah karena kadang-kadang ketika membaca atau mendengar ayat sajdah, kita sedang berada dalam kondisi yang tidak mudah atau sulit untuk melakukan sujud? Jazakallah
Al Qalyubi (w. 1069 H) menulis,
( فَرْعٌ ) يَقُومُ مَقَامَ السُّجُودِ لِلتِّلاوَةِ أَوْ الشُّكْرِ مَا يَقُومُ مَقَامَ التَّحِيَّةِ لِمَنْ لَمْ يُرِدْ فِعْلَهَا ، وَلَوْ مُتَطَهِّرًا وَهُوَ سُبْحَانَ اللَّهِ ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَلا إلَهَ إلا اللَّهُ ، وَاَللَّهُ أَكْبَرُ (حاشيتا قليوبي وعميرة ، ج 3 ، ص 105)
“Alternatif pengganti shalat tahiyyat al-masjid –meskipun dalam kondisi tidak hadats– dapat juga dijadikan sebagai alternatif pengganti sujud tilawah atau sujud syukur. Alternatif pengganti tersebut adalah membaca zikir: subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallahu wallaahu akbar.”
Keterangan di atas menjelaskan bahwa jika kita tidak ingin melakukan sujud tilawah maka sebagai alternatifnya kita dapat membaca zikir “subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallahu wallaahu akbar“.
Pednapat ini diambil dengan metode qiyas. Tepatnya meng-qiyas-kan sujud tilawah dengan shalat tahiyyatul masjid. Orang yang tidak ingin melakukan shalat tahiyyah saat memasuki masjid dapat menggantinya dengan zikir tersebut. Berdasarkan itu kemudian dianalogikan bahwa orang yang membaca ayat sajdah dan tidak ingin sujud atau tidak bisa melakukan sujud karena terhalang oleh kondisi seperti (sekedar contoh) berada di dalam kendaraan maka ia dapat menggantinya dengan zikir di atas.
Mengingat pendapat hukum di atas diambil berdasarkan qiyas terhadap shalat tahiyyatul masjid, maka sebaiknya kita melihat pendapat ulama mengenai penggantian shalat tahiyyah al-masjid dengan zikir dimaksud.
Al-Qalyubiy mengutip al-Gazaliy menulis:
قَالَ فِي الْإِحْيَاءِ : يُكْرَهُ دُخُولُ الْمَسْجِدِ عَلَى غَيْرِ طُهْرٍ ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُتَطَهِّرًا ، أَوْ لَمْ يُرِدْ التَّحِيَّةَ بِالصَّلَاةِ فَلْيَقُلْ : سُبْحَانَ اللَّهِ ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ، وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ ، وَاَللَّهُ أَكْبَرُ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ كَمَا فِي الْأَذْكَارِ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ رَكْعَتَيْنِ : زَادَ ابْنُ الرِّفْعَةِ : وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ . (حاشيتا قليوبي وعميرة ، ج 3 ، ص 154)
“Al Ghazaliy (450 – 505 H) –dalam al-Ihyaa`- mengatakan, memasuki masjid dalam kondisi tidak suci adalah makruh. Jika seseorang tidak dalam kondisi suci atau tidak menginginkan shalat tahiyyah al-masjid maka sebaiknya dia membaca “subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallahu wallaahu akbar” sebanyak empat kali. Hal yang sama juga dijelaskan dalam al-Adzkaar. Karena zikir ini sebanyak empat kali setara dengan (keistimewaan) shalat dua rakaat (sunnah). Ibnu Rif’ah (645 – 710 H) menyarankan penambahan bacaan “walaa hawla wa laa quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘azhiim.”
An-Nawawiy (631 – 676 H) dalam al-Adzkaar mencatat.
قال بعض أصحابنا : من دخل المسجد فلم يتمكن من صلاة تحية المسجد ، إما لحدث ، أو لشغل أو نحوه ، يستحب أن يقول أربع مرات : سبحان الله ، والحمد لله ، ولا إله إلا الله ، والله أكبر ، فقد قال به بعض السلف ، وهذا لا بأس به (الأذكار ، ج 1 ، ص 32)
“Sebagian teman-teman kami (Syafi’iyyah) berpendapat, “Siapa saja yang memasuki masjid dan tidak sempat melakukan shalat tahiyyatul masjid karena dalam kondisi hadats, sibuk atau karena alasan sejenisnya maka ia dianjurkan membaca “subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallahu wallaahu akbar”.
Sebagian ulama salaf menilai hal ini (maksudnya: penggantian shalat tahiyyah dengan zikir) tidak ada masalah (la ba`s).”
Dalam hukum fiqh, pengakuan ulama Salaf memiliki nilai yang cukup penting dalam membangun hukum. Untuk itu, keterangan an-Nawawiy di atas bahwa terdapat pernyataan laa ba`s dari kalangan Salaf menjadi bermakna.
Mengamati rujukan semua tulisan di atas, tampak bahwa isu legalisasi penggantian shalat tahiyyatul masjid dengan zikir dimaksud merujuk kepada sosok tokoh al-Ghazaliy. Untuk itu mari kita lihat keterangan beliau mengenai hal ini dalam al-Ihya`. Beliau menulis,
ولهذا يكره أن يدخل المسجد على غير وضوء فإن دخل لعبور أو جلوس فليقل سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر يقولها أربع مرات يقال إنها عدل ركعتين في الفضل (إحياء علوم الدين ، ج 1 ، ص 205 ، دار االمعرفة ، بيروت)
“(Karena shalat tahiyyatul masjid adalah sunnah mua`akkadah) maka adalah makruh bagi seseorang memasuki masjid dalam kondisi tidak suci (berwudhu). Jika ia (yang tidak berwudhu masuk juga ke masjid) untuk (sekedar) lewat atau (sekedar) duduk maka ia sebaiknya membaca : “subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallahu wallaahu akbar” sebanyak empat kali karena katanya (yuqaal) zikir ini sebanyak empat kali setara dengan (keistimewaan) shalat dua rakaat (sunnah).”
Perhatikan kalimat “yuqaal” dan seterusnya dalam pernyataan al imam al-Ghazaliy di atas. Kalimat ini menjadi penting dalam argumentasi dan menjadi lebih penting ketika –dengan metode qiyas– kemudian hukum lain dibangun di atas argumen tersebut.
Masih terkait dengan alternatif pengganti shalat tahiyyah dengan zikir tertentu, ash-Shaawiy –seorang ulama dari kalangan Malikiyyah juga mengaitkannya dengan al-Ghazaliy. Beliau menulis,
ذَكَرَ سَيِّدِي أَحْمَدُ زَرُّوقٌ عَنْ الْغَزَالِيِّ وَغَيْرِهِ أَنَّ مَنْ قَالَ : ” سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ ” أَرْبَعَ مَرَّاتٍ قَامَتْ مَقَامَ التَّحِيَّةِ ، فَيَنْبَغِي اسْتِعْمَالُهَا فِي وَقْتِ النَّهْيِ أَوْ فِي أَوْقَاتِ الْجَوَازِ إذَا كَانَ غَيْرَ مُتَوَضِّئٍ .وَأَمَّا إذَا كَانَ فِي أَوْقَاتِ الْجَوَازِ وَهُوَ مُتَوَضِّئٌ فَلَا بُدَّ مِنْ الرَّكْعَتَيْنِ . إنْ قُلْت فِعْلُ التَّحِيَّةِ وَقْتَ النَّهْيِ عَنْ النَّفْلِ مَنْهِيٌّ عَنْهُ فَكَيْفَ يُطْلَبُ بِبَدَلِهَا وَيُثَابُ عَلَيْهَا ؟ قُلْت : لَا نُسَلِّمُ أَنَّ التَّحِيَّةَ وَقْتَ النَّهْيِ عَنْ التَّنَفُّلِ مَنْهِيٌّ عَنْهَا ، بَلْ هِيَ مَطْلُوبَةٌ فِي وَقْتِ النَّهْيِ وَفِي وَقْتِ الْجَوَازِ ، غَيْرَ أَنَّهَا فِي وَقْتِ الْجَوَازِ يُطْلَبُ فِعْلُهَا صَلَاةً وَفِي وَقْتِ النَّهْيِ يُطْلَبُ فِعْلُهَا ذِكْرًا(حاشية الصاوي على الشرح الصغير ، ج 2 ، ص 180)
“Guru kami, Ahmad Zarruq menceritakan dari al imam al-Ghazali dan lainnya bahwa orang yang membaca “subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallahu wallaahu akbar” sebanyak empat kali maka bacaan tersebut dapat menempati posisi shalat tahiyyah al-masjid.
Seyogyanya alternatif zikir ini digunakan pada waktu larangan shalat sunnah (mutlak –dalam mazhab Syafi’i dikenal dengan istilah ‘waktu makruh shalat’. Penj) atau dalam waktu jawaaz (waktu boleh shalat sunnah) tetapi saat tidak dalam kondisi suci.
Sementara jika (orang itu memasuki masjid) di waktu jawaaz dan dalam kondisi berwudhu maka seharusnya melakukan shalat tahiyyah al-masjid (bukan menggantinya dengan berzikir).”
(terjemah tidak diteruskan untuk mempersingkat)
Semakin jelas bahwa ide alternatif zikir sebagai pengganti shalat tahiyyah merujuk kepada pernyataan al imam al-Ghazaliy dalam al-Ihya`. Beliau juga menjelaskan bahwa orang yang berpendapat seperti itu dikarena zikir dimaksud sebanyak empat kali setara (dari sisi keistimewaan) dengan shalat (sunnah) dua rakaat.
Kata yuqaal dalam keterangan al-Ihya` mengisyaratkan dua hal:
- Ada riwayat dari Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa zikir dimaksud setara dengan shalat dua rakaat dari sisi keistimewaaan atau fadhilah.
- Riwayat tersebut tidak valid. Ini dapat dilihat dari redaksinya yang menggunakan bentuk kalimat pasif (fi’l mudhaari’ bentuk majhul).
Sayangnya, tidak semua ulama Syafi’iyyah menerima pendapat di atas. Al-Syabramallisiy (997- 1087 H) mengutip fatwa Ibnu Hajar al-Haytamiy saat ditanya mengenai alternatif pengganti sujud tilawah dalam bentuk zikir ini.
Berikut fatwa al-Haytsamiy (909-973 H) yang diambil dari Hasyiyah al-Syabramallisiy,
وَقَدْ سُئِلَ الْعَلامَةُ حَجّ عَنْ قَوْلِ الشَّخْصِ ( سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَك رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ ) عِنْدَ تَرْكِ السُّجُودِ لآيَةِ السَّجْدَةِ لِحَدَثٍ أَوْ عَجْزٍ عَنْ السُّجُودِ كَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَنَا هَلْ يَقُومُ الإِتْيَانُ بِهَا مَقَامَ السُّجُودِ كَمَا قَالُوا بِذَلِكَ فِي دَاخِلِ الْمَسْجِدِ بِغَيْرِ وُضُوءٍ أَنَّهُ يَقُولُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلا إلَهَ إلا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ إلَخْ فَإِنَّهَا تَعْدِلُ رَكْعَتَيْنِ كَمَا نَقَلَهُ الشَّيْخُ زَكَرِيَّا فِي شَرْحِ الرَّوْضِ عَنْ الإِحْيَاءِ ؟ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ : إنَّ ذَلِكَ لا أَصْلَ لَهُ ، فَلا يَقُومُ مَقَامَ السَّجْدَةِ : بَلْ يُكْرَهُ لَهُ ذَلِكَ إنْ قَصَدَ الْقِرَاءَةَ وَلا يَتَمَسَّكُ بِهَا فِي الإِحْيَاءِ . أَمَّا أَوَّلا فَلأَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِيهِ شَيْءٌ , وَإِنَّمَا قَالَ الْغَزَالِيُّ : إنَّهُ يُقَالُ إنَّ ذَلِكَ يَعْدِلُ رَكْعَتَيْنِ فِي الْفَضْلِ . وَقَالَ غَيْرُهُ : إنَّ ذَلِكَ رُوِيَ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ , وَمِثْلُ هَذَا لا حُجَّةَ فِيهِ بِفَرْضِ صِحَّتِهِ فَكَيْفَ مَعَ عَدَمِ صِحَّتِهِ . وَأَمَّا ثَانِيًا فَمِثْلُ ذَلِكَ لَوْ صَحَّ عَنْهُ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَكُنْ لِلْقِيَاسِ فِيهِ مَسَاغٌ ; لأَنَّ قِيَامَ لَفْظٍ مَفْضُولٍ مَقَامَ فِعْلٍ فَاضِلٍ مَحْضُ فَضْلٍ ، فَإِذَا صَحَّ فِي صُورَةٍ لَمْ يَجُزْ قِيَاسُ غَيْرِهَا عَلَيْهَا فِي ذَلِكَ . وَأَمَّا ثَالِثًا فَلأَنَّ الأَلْفَاظَ الَّتِي ذَكَرُوهَا فِي التَّحِيَّةِ فِيهَا فَضَائِلُ وَخُصُوصِيَّاتٌ لا تُوجَدُ فِي غَيْرِهَا . ا هـ . وَهُوَ يَقْتَضِي أَنَّ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدَ لِلَّهِ إلَخْ لا يَقُومُ مَقَامَ السُّجُودِ وَإِنْ قِيلَ بِهِ فِي التَّحِيَّةِ لِمَا ذَكَرَهُ ( نهاية المحتاج – وفيه حاشية الشبراملسى, ج 2, ص 94 , طباعة مصطفى الحلبي )
Al-‘allamah HJ (Ibnu Hajar al-Haytamiy) pernah ditanya tentang seseorang yang membaca “sami’naa wa atha’naa ghufraanaka rabbanaa wa ilaykal mashiir” saat dia tidak melakukan sujud tilawah ketika membaca ayat sajdah karena hadas atau tidak mampu sujud sebagaimana kebiasaan yang berlaku di masyarakat kita. Apakah melakukan zikir tersebut dapat mengganti posisi sujud tilawah, sebagaimana pendapat mereka (ulama) tentang orang yang masuk ke masjid tanpa wudhu dapat membaca “subhanallah walhamdulillah wa laa ilaaha illallahu wallaahu akbar” (sebagai alternatif pengganti shalat tahiyyatul masjid) dengan alasan zikir tersebut setara dengan shalat (sunnah) dua rakat seperti yang dikutip oleh syaikh Zakariya al-Anshariy dalam buku Syarah ar-Rawdh (lengkapnya, Asnal Mathalib Syarh Rawdh ath-Thalib) dari buku al-Ihya`?
Ibnu Hajar al-Haytamiy menjawab,
Hal itu (penggantian sujud tilawah dengan zikir sami’naa …) tidak memiliki dasar (dalil) sama sekali. Dengan demikian zikir sami’naa tidak dapat mengganti posisi sujud tilawah. Bahkan itu makruh jika tujuannya adalah qira`ah (membaca al-Qur`an). Keterangan dalam al-Ihya` tidak dapat dijadikan pegangan. Alasannya:
- Pertama, Tidak ada satupun dalil mengenai itu (maksudnya, mengenai penempatan zikir subhanallah … sebagai alternatif pengganti shalat tahiyyatul masjid). Al-Ghazaliy hanya mengatakan, “Katanya (yuqaal) bahwa zikir tersebut setara dengan shalat sunnah dua rakaat dalam hal keistimewaan. Sementara itu, ulama selain al-Ghazaliy mengatakan bahwa penggantian tersebut didasarkan kepada riwayat sebagian ulama Salaf (merujuk kepada keterangan al-Adzkar. Pen). Hal-hal seperti ini (maksudnya: yuqaal dan riwayat sebagian ulama Salaf) –dengan asumsi keduanya valid- bukan merupakan argumen syar’i. Apalagi jika jika ternyata informasi “yuqaal” dan informasi “diriwayatkan oleh sebagian Salaf” tersebut tidak valid (shahih).
- Kedua, dengan asumsi informasi “zikir subhanallah … setara fadhilah shalat sunnah dua rakaat” itu valid dari Rasulullah –shalawat dan salam untuknya– maka tidak ada peluang untuk melakukan qiyas karena penempatan lafazh (zikir) yang kurang istimewa menempati posisi pekerjaan yang istimewa adalah murni anugerah dari Allah (ta’abbudiy). Jika penyetaraan itu valid untuk satu kasus maka tidak berarti kemudian ia tidak boleh dijadikan dasar qiyas (ash al-qiyas) untuk kasus lain (seperti dijadikan dasar untuk mengqiyaskan zikir sami’naa … setara dengan sujud tilawah)
- Ketiga, lafazh-lafazh (zikir subhanallah dan seterusnya) yang mereka sebutkan sebagai alternatif pengganti shalat tahiyyatul masjid adalah zikir-zikir memiliki keistimewaan dan keunikan tersendiri yang tidak dijumpai dalam zikir lain (seperti zikir sami’naa …). Untuk itu tidak boleh ada penyamaan antara zikir subhanallah … dengan zikir sami’naa …).
Demikian kutipan dari Ibn Hajar al-Haytamiy. Jawaban Ibnu Hajar ini berimplikasi bahwa zikir subhnallah … tidak dapat mengganti posisi sujud tilawah meskipun hal itu katanya bisa berlaku sebagai pengganti shalat tahiyyah al-l masjid berdasarkan apa yang dijelaskannya.”
Sampai sini dapat dicermati bahwa telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah sendiri mengenai apakah sujud tilawah dapat diganti dengan alternatif zikir dimaksud atau tidak.
Kesimpulannya,
- Pembahasan mengenai zikir sebagai alternatif pengganti sujud tilawah dihubungkaitkan dengan masalah zikir sebagai alternatif pengganti shalat sunnah tahiyyah al-masjid. Artinya mereka yang mengatakan sujud tilawah dapat diganti dengan zikir subhallah hingga seterusnya membangun alasannya dengan menganolagikan (qiyas) zikir dimaksud sebagai pengganti shalat tahiyyah.
- Mayoritas ulama Syafi’iyyah dapat menerima pemberlakuan qiyas ini. Sementara itu, sebagian yang lain seperti al-Haytami menolak analogi tersebut. Bahkan beliau tampaknya menolak legalisasi zikir sebagai alternatif pengganti shalat tahiyyat, yang notabenenya adalah ashl al-qiyaas dari legalisasi zikir sebagai pengganti sujud tilawah.
- Lebih dari itu, Ibnu Hajar al-Haytsamiy tampak menolak validitas dalil al ashl, yaitu dalil yang digunakan untuk membangun hukum diizinkannya mengganti shalat sunnah tahiyyat dengan zikir subhanallah hingga seterusnya. Hal ini terlihat dari keraguan beliau terhadap validitas atau keshahihan informasi “yuqaal“.
- Jika dikaitkan dengan validitas dalil maka kecenderungannya memang seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Haytsamiy.
- Al-imam al-Gahazaliy –yang dalam hal ini sering dijadikan rujukan oleh kalangan Syafi’iyyah generasi selanjutnya, dengan “gaya pemikiran fiqh-nya” yang khas- tampaknya ingin mendorong setiap orang yang masuk masjid agar memberikan penghormatan kepada tempat ibadah tersebut. Beliau menginginkan, jika tidak bisa dengan shalat sunnah tahiyyat paling tidak berzikir dan jangan sampai tidak melakukan penghormatan sama sekali terhadap masjid.
- Keputusan hukum yang ditarik oleh al-Ghazaliy mengenai zikir alternatif pengganti shalat tahiyyatul masjid ini di kemudian hari -oleh sebagian ulama Syafi’iyyah lain generasi selanjutnya- dijadikan sebagai “model” untuk menarik kesimpulan baru bahwa zikir yang sama –atau zikir lain seperti samii’naa hingga seterusnya- dapat mengganti posisi sujud tilawah atau sujud syukur.
Ketika mempelajari masalah ini, penulis menemukan kesalahan (kecil) dalam al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah yang memberikan catatan bahwa Ibnu Hajar yang dimaksud di atas adalah Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy. Ini tidak benar. Ulama Syafi’iyyah yang menolak eksistensi zikir sebagai alternatif pengganti tahiyyatul masjid, sujud tilawah, atau sujud syukur adalah Ibnu Hajar Al Haitsamiy atau Al Haytami (penulisan namanya bisa menggunakan taa` atau tsaa`).
Semoga Allah selalu memberikan kasih sayangNya untuk semua ulama yang disebutkan di atas dan memberikan manfaat ilmu mereka kepada kita. Rahimahumullah.